Hari pertama sekolah khususnya di Kabupaten Bantaeng tahun ini, diwarnai oleh imbauan yang tak biasa: ayah diminta mengantar anak ke sekolah. Note, sosok “ayah” sebagai pelambang, tetapi bisa disubtitusi dengan sosok lelaki lain di sekitar anak, misal paman, kakek atau kakak laki-laki.
Imbauan ini langsung menuai reaksi luas di media sosial. Ada yang memuji sebagai langkah inspiratif membangun peran ayah dalam pendidikan anak, tapi tak sedikit pula yang mencibirnya sebagai sekadar pencitraan tanpa menyentuh akar persoalan sebenarnya.
Lalu, apakah imbauan ini memang hanya seremonial, formalitas, tren ataukah ini awal dari perubahan yang lebih besar?
Memahami Makna Simbolik di Balik Imbauan
Jika dilihat dari sudut positif, imbauan ini sesungguhnya punya makna simbolik yang dalam. Selama ini, keterlibatan ayah dalam urusan pendidikan anak sering kali dianggap nomor dua. Ayah adalah pencari nafkah, sementara ibu yang lebih “wajib” hadir di lingkungan sekolah.
Padahal, kajian psikologi dan pendidikan menunjukkan bahwa kehadiran ayah dalam kehidupan sekolah anak berdampak signifikan pada tumbuh kembang, rasa percaya diri, dan prestasi belajar anak.
Maka dari itu, imbauan “ayah antar anak di hari pertama sekolah” adalah simbol kehadiran peran ayah, tidak hanya sebagai penyedia materi, tapi juga sebagai pendamping emosional dan sosial. Sebuah pesan kuat: ayah juga bertanggung jawab atas masa depan anak, bukan hanya ibunya.
Pro Kontra yang tidak Perlu Dibesar-besarkan
Namun di sisi lain, kritik terhadap imbauan ini juga perlu didengar. Banyak warganet mempertanyakan urgensinya. Apakah ayah yang bekerja di ladang atau di proyek bangunan, bisa serta-merta meninggalkan pekerjaannya, hanya untuk satu hari yang disebut “simbolik”? Bagaimana dengan keluarga yang tidak memiliki ayah? Atau rumah tangga dengan kondisi ekonomi atau sosial tertentu yang membuat kehadiran ayah mustahil?
Kekhawatiran itu valid. Namun, perlu dipahami bahwa kata “imbauan” berbeda dengan “kewajiban”. Ini bukan aturan yang memaksa, tapi ajakan moral. Kritik sosial harus diarahkan bukan pada niat baik gerakan ini, tapi pada sistem yang belum mendukung kesetaraan peran pengasuhan di akar rumput.
Momentum Membangun Narasi Baru tentang Ayah
Yang menarik, diskursus ini membuka peluang emas untuk kita semua: membongkar stereotip lama soal peran ayah. Selama ini, ayah digambarkan jauh dari dunia sekolah, dari dunia emosi anak-anak. Momen ini bisa jadi pintu awal untuk mendorong lebih banyak program edukasi ayah, kelas parenting yang menyasar laki-laki, bahkan kurikulum sekolah yang tidak bias gender dalam pengasuhan.
Daripada hanya meributkan pro dan kontra di media sosial, kita seharusnya bertanya lebih jauh: apa yang bisa kita lakukan, agar imbauan ini tidak berhenti jadi simbol semata?
Kesimpulan: Dari Hari Pertama ke Hari-Hari Selanjutnya
Hari pertama sekolah memang hanya sehari. Tapi jika dari satu hari itu ada anak yang merasa bangga, karena ayahnya menggandeng tangannya ke gerbang sekolah. Jika dari satu hari itu ada ayah yang tersadar, betapa pentingnya kehadirannya—maka itu sudah layak disebut keberhasilan.
Mari kita tidak cepat menyimpulkan niat baik, sebagai gimmick politik atau sekadar pencitraan. Tapi juga mari kita dorong, agar gerakan ini tidak berhenti di baliho atau unggahan medsos. Karena pendidikan bukan hanya urusan ibu, dan perubahan sosial tidak akan pernah terjadi tanpa ayah yang ikut turun tangan.

Penyuka sepi yang mudah jatuh cinta pada aksara yang indah.


Leave a Reply to Ranca Cancel reply