Besok Buruh Demo Lagi
Besok buruh akan demo lagi. Mungkin sebagian orang bertanya, kenapa selalu demo? Kenapa tidak diam dan bersabar saja? Bukankah ada pemerintah yang mengatur?
Mari kita lihat apa gerangan yang membuat buruh demo lagi?
Sebanyak 350 buruh di unit kerja Wuzhou, bagian dari PT Huadi, “dirumahkan”. Tiba-tiba. Tanpa surat resmi. Tanpa perundingan. Hanya pesan WhatsApp dari leader masing-masing. Perlu dicatat, frasa “dirumahkan” tidak dikenal dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Artinya, ini bukan kebijakan sah. Ini adalah PHK terselubung, ini akal-akalan perusahaan untuk mangkir dari kewajiban membayar pesangon.
Dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia, segala bentuk kebijakan yang menyangkut nasib buruh, terutama yang berdampak pada kelangsungan kerja dan penghidupan, tidak bisa diputuskan sepihak oleh perusahaan. Ada prinsip penting yang harus dijalankan terlebih dahulu: perundingan dan kesepakatan bersama antara pihak manajemen dan buruh, bisa melalui forum bipartit bersama serikat buruh.
Prinsip ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa setiap perubahan atau penetapan kebijakan kerja harus melalui kesepakatan bipartit, antara buruh dan perusahaan. Bahkan dalam PP yang lebih baru, yaitu PP No. 36 Tahun 2021, semangatnya tetap sama. Perusahaan tidak bisa seenaknya mengubah struktur upah atau kondisi kerja tanpa diskusi dan persetujuan dari buruh.
Artinya, dalam kasus PT Huadi, ketika perusahaan mengumumkan rencana “merumahkan” buruh dalam rapat internal yang hanya dihadiri pihak manajemen dan para leader, tanpa melibatkan perwakilan buruh secara resmi, maka prosedur hukum telah dilanggar. Apalagi, keputusan tersebut disampaikan tanpa surat resmi dan tidak dibicarakan dalam forum bipartit, padahal serikat buruh SBIPE sudah mengirimkan surat permintaan perundingan sejak 25 Juni.
Perlu dipahami, buruh bukan mesin produksi yang bisa dinyalakan dan dimatikan semaunya. Mereka adalah manusia yang bekerja, menghidupi keluarga, dan dilindungi oleh undang-undang. Jika setiap perusahaan bisa secara sepihak menghentikan kerja buruh tanpa kesepakatan dan tanpa kejelasan hak, maka hukum kehilangan maknanya. Negara kehilangan fungsinya sebagai pelindung rakyat.
Nah, apa yang bisa dilakukan buruh selain turun ke jalan? Sebab diam berarti menerima. Dan menerima berarti menyerah pada ketidakadilan.
Yang lebih menyakitkan, pengumuman bahwa buruh akan dirumahkan datang bersama “tawaran” upah Rp1 juta. Satu juta rupiah untuk menutup hidup satu bulan. Untuk membayar listrik, sewa rumah, beli susu anak, dan beras yang makin mahal. Iniji nilai hidup buruh di mata perusahaan?
Mencuri Upah Pokok
Bukan cuma merumahkan buruh secara sepihak, PT Huadi juga tidak membayar gaji pokok sesuai aturan pemerintah. Ini adalah pencurian yang dilakukan terang-terangan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sudah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar Rp3.657.527 melalui Keputusan Gubernur Nomor 1423/XII/2024. Itu adalah angka minimum yang wajib dibayar perusahaan kepada setiap buruh. Tapi kenyataannya, buruh PT Huadi hanya menerima Rp3.500.000 sebagai gaji pokok. Ada selisih Rp157.257 setiap bulan. Dan ini sudah berlangsung selama 6 bulan. Artinya, setiap buruh telah kehilangan Rp945.162 hanya dari kekurangan gaji pokok selama Januari hingga Juni.
Sekarang kita hitung dampaknya lebih luas. PT Huadi memiliki 1.985 buruh yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Kalau semua mengalami hal yang sama, maka total gaji yang dicuri perusahaan dari seluruh buruh selama 6 bulan adalah sekitar: Rp1.876.146.570 (Satu miliar delapan ratus tujuh puluh enam juta rupiah). Itu bukan uang kecil. Itu adalah hak buruh yang bekerja setiap hari, menghadapi risiko kecelakaan, bahkan kehilangan nyawa.
PT Huadi bukan perusahaan kecil. Ini perusahaan besar, penanaman modal asing dari Tiongkok. Tapi mereka tidak hanya merumahkan buruh tanpa dasar hukum. Mereka juga membayar upah di bawah standar, menahan hak lembur, melanggar keselamatan kerja, dan bahkan melarang kebebasan berserikat.
Mencuri Upah Lembur
Tidak cukup dengan mencuri upah upah pokok, perusahaan juga mencuri upah lembur buruh. Mari kita hitung. Kawan saya, Bayu Harianto, adalah salah satu buruh yang bekerja di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia. Setiap hari, ia bekerja selama 12 jam. Dalam sebulan, ia masuk kerja selama 20 hari. Itu artinya, Bayu menghabiskan 240 jam waktunya untuk bekerja setiap bulan. Bayu menerima gaji pokok sebesar Rp3.500.000, ditambah Rp100.000 tunjangan masa kerja dan Rp400.000 tunjangan kehadiran. Total pendapatan bulanannya menjadi Rp4.000.000. Jumlah ini seharusnya menjadi dasar untuk menghitung upah lembur.
Aturannya jelas. Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 102 Tahun 2004, upah lembur dihitung per jam:
– Total gaji dibagi 173 jam kerja normal : Rp4.000.000 ÷ 173 = Rp23.121 per jam
– Jam lembur pertama dibayar 1,5 kali lipat.
Jam lembur berikutnya dibayar dua kali lipat. Jika dihitung, upah lembur Bayu untuk 80 jam kerja tambahan per bulan seharusnya:
– Jam pertama: 1,5 × Rp23.121 = Rp34.682
– 79 jam berikutnya: 2 × Rp23.121 × 79 = Rp3.656.118
– Total lembur per bulan: Rp3.690.800.
Artinya, total gaji dan lembur yang seharusnya diterima Bayu adalah Rp7.690.800 per bulan. Namun, kenyataannya jauh berbeda.
Alih-alih menghitung berdasarkan jumlah jam kerja sebenarnya, perusahaan menggunakan istilah insentif shift untuk membayar kelebihan jam kerja, yang tidak sesuai hukum. Dengan istilah insentif shift, mereka hanya membayar “uang lembur” sebesar 40% dari gaji pokok Bayu, yaitu: 40% × Rp3.500.000 = Rp1.400.000.
Bayu hanya menerima Rp1,4 juta untuk kerja lembur selama 80 jam. Itu berarti lebih dari Rp2 juta dari kerja kerasnya setiap bulan tidak dibayar. Dan ini terjadi bukan hanya sekali dua kali. Selama 22 bulan, Bayu terus bekerja dalam sistem shift 12 jam. Setelah itu, selama 19 bulan berikutnya, ia bekerja dalam sistem kerja reguler panjang: mulai pukul 07.00 hingga 19.00, atau pukul 07.00 hingga 17.00, tanpa istirahat mingguan yang layak.
Setelah Bayu di PHK pada Desember 2024, Bayu bersama Serikat Buruh Industri Pertambangan & Energi (SBIPE) melakukan perhitungan upah lembur. Hasil perhitungan SBIPE menjadi dasar pelaporan ke Dinas Perindustrian dan pengawas ketenagakerjaa. Mereka lalu memeriksa langsung catatan kerja Bayu dan menghitung berapa besar upah lembur yang seharusnya dibayar.
Hasilnya, PT Huadi masih berutang sebesar:
– Rp83.278.849 kepada Bayu.
– Rp33.391.068 adalah hak Bayu dari lembur selama 22 bulan kerja shift 12 jam.
– Rp49.887.781 adalah hak Bayu dari lembur selama 19 bulan kerja reguler panjang tanpa hari libur.
Perusahaan tak pernah menghitung kelebihan jam kerja itu sebagai lembur. Mereka menggunakan istilah insentif shift. Bayangkan ada 1.985 buruh yang mengalami hal serupa Bayu. Jika rata-rata buruh upahnya dicuri Rp.60 juta saja, maka perusahaan telah mencuri Rp.119.100.000.000 (seratus sembilan belas miliar seratus juta rupiah). Jumlah yang sangat besar bagi kehirupan buruh.
Perusahaan Bersiap Kabur, Buruh Terancam tak Dibayar
Setelah merumahkan 350 buruh di unit kerja Wuzhou, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia akan segera mengambil langkah serupa terhadap 600 buruh dari unit kerja Ya Tai. Ini jelas indikasi serius dari rencana sistematis untuk menghentikan operasi dan meninggalkan Bantaeng tanpa memenuhi kewajiban terhadap buruh.
Istilah “dirumahkan” yang digunakan perusahaan hanyalah kamuflase licik untuk menghindari kewajiban membayar pesangon dan hak-hak lainnya. Pada kenyataannya, dirumahkannya 350 buruh Wuzhou telah menghentikan total aktivitas produksi di unit tersebut. Jika 600 buruh Ya Tai juga dihentikan, maka seluruh unit produksi PT Huadi akan lumpuh. Dan mereka akan bergegas meninggalkan Bantaeng.
Rencana pelarian ini bukanlah spekulasi. Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi B DPRD Bantaeng, Andi Rita Latippa, perwakilan perusahaan, menyatakan bahwa jika bahan baku dan harga nikel belum stabil hingga Oktober, maka perusahaan akan bubar. Hal serupa juga diucapkan oleh Muhlis dalam rapat tripartit bersama Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng.
Ditambah dengan pola-pola sebelumnya, pencurian upah lembur yang disamarkan dengan istilah insentif shift, upah pokok yang tidak disesuaikan dengan UMP 2025, hingga penggunaan istilah “dirumahkan” untuk menghindari PHK resmi, jelas bahwa perusahaan telah menyusun strategi jauh-jauh hari untuk lari dari tanggung jawabnya.
Buruh tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi korporasi yang memiliki segala perangkat kekuasaan: dan kemampuan bermain di ranah hukum, hingga akses pada aparat keamanan yang bisa digunakan untuk menekan, membungkam, bahkan mengintimidasi gerakan buruh.
Pemerintah, wajib turun tangan secara tegas dan aktif. Segera lakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap aktivitas dan keuangan PT Huadi. Bekukan izin operasional sementara hingga hak-hak buruh dipenuhi. Gunakan kekuasaan negara untuk mengamankan aset perusahaan sebagai jaminan pembayaran upah, pesangon, dan kewajiban lainnya.
Karena jika pemerintah tidak hadir sekarang, maka dalam waktu dekat ribuan buruh bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan hak-haknya, setelah puluhan bulan diperas tenaganya dan diabaikan nyawanya.
Jadi, jika besok buruh kembali turun ke jalan, mari berikan dukungan. Mereka sedang berjuang menuntut tetes keringatnya yang dicuri perusahaan, berjuang agar anak-anak mereka bisa tetap makan, agar keadilan tetap punya makna.
Hidup buruh!

Penggiat lingkungan asal Bantaeng, tinggal di Jakarta. Buku favorit Kepulauan Nusantara. Film favorit “Naga Bonar”
Leave a Reply