“Jalan terpendek menuju masa depan kadang justru yang paling becek, paling curam, dan tidak masuk peta.”
— Petuah dari batu besar di tepi Sungai Maesa, katanya.
Aku menulis bukan karena hidupku penting, tapi karena masa kecil di Kampong Masigi terlalu absurd untuk dibiarkan menguap begitu saja. Di sanalah segalanya dimulai: sepatu robek di jalan kebun, ambisi jadi ninja yang kandas di tangan PR matematika, dan Ibu Hj. Siti Sajrah yang selalu hadir sebagai penegak hukum tak tertulis.
Kalau kau lahir dan besar di kota, mungkin cerita ini terdengar seperti dongeng atau adegan dari film petualangan anak-anak. Tapi bagi saya, Irham, anak kampung yang dulu lebih dikenal dengan panggilan Rohan, dan kadang oleh orang-orang tersayang dipanggil Indang, ini adalah kisah nyata bukan cerita fiksi. Ini kenyataan yang lecet-lecetnya masih terasa yang membentuk siapa saya hari ini.
Saya lahir tahun 1993, di sebuah tempat bernama Kampong Masigi, juga dikenal sebagai Kampong Kajang. Kampong Masigi, karena di sinilah masjid pertama di Desa Benteng Malewang dibangun, Masjid Nurul Hidayat yang berdiri tenang sebagai pusat kehidupan kampung dan semesta kecil kami. Sedangkan disebut Kampong Kajang karena kakek kami berasal dari Kajang dan memilih menetap di sini. Maka lengkaplah kampung kami dengan sejarah dan silsilah menetap bersama kami, diam-diam, tapi membentuk kesederhanaan.
Jangan bayangkan gedung tinggi atau jalan beraspal di sini. Kami tinggal di rumah kayu dua kamar, sederhana tapi hangat, tepat di belakang Masjid Nurul Hidayat. Rumah itu, yang dindingnya kadang berderit tertiup angin malam, adalah tempat pertama saya mengenal tawa, tangis, dan cinta.
Ambo’ saya adalah seorang petani. Tangannya kasar, tapi pelukannya selalu membuat saya merasa paling aman di dunia. Amma’ saya, ibu rumah tangga yang sabarnya seluas kebun kopi dan kebun langsat yang Ambo’ garap. Mereka berdua tidak punya banyak harta, tapi cukup cinta dan keteguhan untuk membesarkan saya dengan penuh kasih.
Waktu kecil, hidup saya berputar hanya di sekitar bambu dan sandal bekas. Apa mainan paling keren menurut saya saat itu? Tentu saja tembak-tembakan dari bambu kecil, lengkap dengan peluru kertas basah! Kalau kena jidat, sakitnya bisa bikin hati bertobat sebentar tapi besoknya main lagi. Mobil-mobilan kami juga luar biasa: terbuat dari potongan bambu, bannya dari sandal jepit bekas yang dibentuk bulat. Kalau bisa jalan lurus tanpa miring, itu sudah prestasi nasional bagi kami!
Sekolah? Awalnya saya sekolah di SDN 229 Gattareng, sampai kelas 3, tapi setelah itu, entah karena nasib atau keinginan belajar yang menggelegak, saya hijrah ke SD Inpres Ganting, Desa Labbo, Tompobulu, Bantaeng. Nah, di sinilah kisah heroik kami dimulai.
Setiap pagi, kami, rombongan bocah-bocah kecil berjalan kaki dari Malewang ke Ganting. Bukan lewat jalan poros yang biasa, karena itu lebih jauh. Kami lebih suka lewat jalur alternatif yang kami sebut ma’rung naung yang lebih menantang daripada naik roller coaster.
Meski harus melewati kebun warga, melompati batu-batu gunung, menyebrangi Sungai Maesa, dan mendaki tebing yang miringnya bisa bikin orang dewasa berpikir dua kali. Katanya kemiringan 50 derajat, tapi rasanya seperti menaklukkan Gunung Everest setiap hari!
Bayangkan saja: anak kelas 4 sampai 6 SD, tas besar, sepatu penuh lumpur, berkeringat seperti habis ikut lomba panjat pinang, tapi kami nikmati.
Setiap hari, perjalanan itu jadi rutinitas dan petualangan seru. Kadang ada yang jatuh tergelincir di tebing, lalu ketawa duluan baru ditolong. Pernah satu kali, si Corang, nama aslinya Yusran Zainur, nyaris tercebur karena mau ambil buah nangka di pinggir sungai. Subran bilang, “Jangan sombong, nanti sungai marah,” eh benar saja, kepleset, hilang sepatu satu, hilang pula harga diri. Ketawa kami pecah seperti suara piring jatuh di dapur.
Kami, saya, Corang, Subran (kalau di tempat bermain namanya Subo’), Akbar, Asse (atau Syamsinar), Risnawati adalah pasukan utama. Namun, di belakang kami ada pasukan kecil: Iccang, Imran, Gusti, Saenal, Eka, Farida Hidayanti, dan Isna Irnawati. Mereka ini adik-adik kelas yang juga ikut dalam ritual perjalanan ajaib itu.
Kami seperti rombongan semut yang tak kenal lelah: berangkat pagi-pagi, pulangnya siang menjelang sore sambil singgah dulu di Liku’ Pasara, tempat favorit kami menyeburkan diri di Sungai Maesa’. Satu-satunya tempat di dunia di mana semua masalah bocah hilang, begitu kaki menyentuh airnya, termasuk hilang beban PR Matematika.
Kami sebenarnya hanya meneruskan tradisi. Ya, kami berjalan kaki karena mengikuti jejak para senior kami sebelumnya. Anak-anak kampung sebelum kami juga menempuh rute yang sama ke sekolah. Mereka yang pertama kali “menaklukkan” tebing dan menyebrangi Sungai Maesa’. Setiap kali kami lewat, seakan ada jejak-jejak kaki mereka yang membisikkan, “Ayo, jangan manja. Kami dulu lebih dulu melewati ini!” Dan benar saja, cerita-cerita dari kakak-kakak kelas yang sekarang sudah dewasa makin menyemangati kami untuk terus kuat dan pantang menyerah.
Kami menempuh jalan itu setiap hari sampai tahun 2005. Setelah kami lulus, tongkat estafet pun diteruskan oleh adik-adik kami, generasi baru pejuang sekolah yang tetap setia lewat jalur “ma’rung naung” jalur yang tidak sepopuler Google Maps, tapi di hati kami, itulah jalur utama menuju masa depan.
Kini, ketika saya melihat anak-anak sekolah diantar mobil atau naik ojek ke sekolah dengan seragam rapi dan rambut klimis, saya tersenyum. Mereka mungkin tidak tahu rasanya punya sepatu yang penuh lumpur dan celana basah karena berenang di sungai. Tapi bagi saya dan teman-teman masa kecil, itu semua bukan sekadar kenangan itu warisan jiwa petualang yang akan kami bawa seumur hidup.
Dan setiap kali ada yang bertanya siapa saya sebenarnya, saya jawab dengan bangga: “Saya Irham, tapi dulu mereka memanggilku Rohan atau Indang, masa kecil saya adalah harta yang tak bisa dibeli: tentang kesederhanaan, tentang setia pada jejak, dan tentang berjalan kaki bersama teman-teman, menuju mimpi yang perlahan kami bangun, satu langkah kecil setiap hari.”
Kredit gambar: Republika

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.
Leave a Reply