Banyak yang menanti datangnya Ramadan dengan suka cita, tetapi sedikit yang menoleh pada Muharam—bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang sejatinya juga suci.
Dalam diamnya, langit pernah memerah; sejarah pernah menjerit. Namun, mengapa kita tidak tahu? Atau barangkali, memang tidak pernah benar-benar diberi tahu?
Muharam lewat begitu saja di antara iklan diskon dan hitung mundur tahun masehi, seolah waktu hanya berputar pada kalender dunia, bukan pada makna.
Padahal di bulan inilah, umat diajak untuk merenung, berpuasa, dan mengingat kembali luka yang mengajarkan cinta dan keteguhan.
Pada 10 Muharam, hari Assyura, terpahat tragedi di Padang Karbala. Bukan sekadar tragedi sejarah; ia adalah nyala abadi tentang cinta yang tak mengenal batas. Di tengah padang tandus dan haus yang menggigit, cucu kinasih Nabi Muhammad, Husain bin Ali, berdiri bukan sebagai pencari kekuasaan, melainkan sebagai penjaga prinsip.
Ia memilih jalan yang sunyi, tetapi terang: mempertahankan keadilan, menjaga kehormatan, dan menegakkan kebenaran, meski harus dibayar dengan nyawa.
Tragedi Karbala mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati, bukan tentang memerintah dari atas singgasana, tetapi tentang berani berkorban demi umat, demi nilai yang lebih besar dari hidup itu sendiri.
Namun pertanyaannya, benarkah dunia benar-benar mengenal Husain? Jika kita sungguh mengenalnya—bukan sekadar namanya—mungkinkah bulan Muharam kita isi dengan kemeriahan dan pesta seolah tak ada luka yang diwariskan sejarah?
Husain bukanlah tokoh biasa, ia adalah cucu Nabi yang disebut-sebut sangat mirip dalam rupa dan perilaku, yang tak pernah luput dari pelukan kasih Rasulullah. Ia adalah buah hati dari Fatimah Az-Zahra, wanita pemimpin para penghuni surga. Dalam dirinya mengalir darah kenabian dan jejak cahaya wahyu.
Maka mengenang Husain bukan sekadar mengenang seorang syuhada, tetapi mengenang prinsip hidup yang diwariskan langsung dari rumah kenabian—tentang cinta, keberanian, dan kejujuran yang tak tergadaikan.
Aneh rasanya, bagaimana bulan yang dimuliakan Allah dan disucikan Rasulullah, bisa berlalu tanpa gema di hati umat. Muharam nyaris tak disebut, tak dirayakan dengan makna, bahkan tak dirasakan kehadirannya.
Seolah ia hanyalah nama di kalender, bukan pintu menuju kesadaran sejarah dan spiritualitas. Padahal, dalam lembar-lembar awal kalender Hijriyah inilah, umat Islam diajak untuk merenung, bukan bersorak, atau berpesta. Ada luka yang harus dikenang, ada nilai yang harus dihidupkan.
Ketika gema Ramadan menggema di mana-mana, mengapa Muharam hanya terdengar sunyi?
Mungkin karena kita terlalu sibuk menyambut tahun baru, tetapi lupa bahwa di baliknya ada peristiwa agung yang semestinya membentuk cara kita memandang hidup, mati, dan makna perjuangan.
Cinta Nabi pada Husain tiada bertepi. Dalam peluk Nabi, ia tertawa manja, Husain kecil, cahaya yang mulia, “Ya Allah, aku mencintainya,” sabda yang nyata, “Maka cintailah ia, dan yang mencintainya juga.”
Di atas punggung sujud yang lama, Husain memanjat, Nabi tak menolaknya. Salat pun ditangguh demi cinta. Sujud pun menjadi taman keluarga.
“Al-Hasan dan Al-Husain, pemuda surga,” sabda itu bukan pujian semata, tetapi titah cinta, warisan semesta. Bahwa darah mereka bukan darah biasa. Dan jika cinta itu pernah hidup dalam sujud, maka Husain adalah rintihnya yang paling jujur. Jika air mata adalah bahasa kasih, maka Karbala adalah kisah cinta yang tak pernah habis.
Bulan Muharam bukan sekadar angka yang membuka tahun, ia adalah tanda yang membuka ingatan. Tentang pemimpin yang gugur demi keadilan, tentang darah suci yang menulis ulang arti keberanian.
Namun kini, sunyi terasa menggantung di langit Muharam. Tak banyak yang bertanya, tak banyak yang bertafakur. Padahal Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Husain dariku, dan aku dari Husain.”
Apa makna sabda ini, jika kita sendiri berlalu tanpa menoleh pada jejak langkahnya? Maka barangkali, Muharam datang bukan untuk dirayakan, melainkan untuk didengarkan.
Ia datang dengan bisikan pelan:
“Renungilah aku. Dengarkan ceritaku. Hidupkan maknaku.”
Karena selama kita masih diam di hadapan sejarah, selama itu pula luka Karbala belum benar-benar sembuh. Dan selama itu pula, mungkin kita belum sepenuhnya mengerti arti mencintai Nabi.

Lahir di Jeneponto 1994. Seorang ibu dari do’a bernama Divyannisa Isvara Gauri, sekaligus seorang fisioterapis yang aktif melayani masyarakat, terkait dengan Rehabilitasi dan Edukasi Ergonomi. Ia menempuh pendidikan di Poltekkes Kemenkes Makassar (D3 Fisioterapi) dan melanjutkan ke jenjang S1 di Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Bagi Wahdat, dunia kesehatan bukan sekadar profesi, tapi ruang pengabdian yang ia jalani dengan hati. Di sela-sela pekerjaannya, ia merawat dan membesarkan anaknya dengan penuh cinta, dua peran yang saling menyempurnakan. Kini, bermukim di Bantaeng bersama keluarga kecilnya.
Leave a Reply