Menyambut 10 Muharam 1447 H
Di tanah ladang tempat aku menanam harapan dan menggali hikmah dari bumi, aku menulis ini. Menjelang 10 Muharram 1447 Hijriyah. Hatiku terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena hasil panen yang sedikit, atau cuaca yang tak menentu, tapi karena bayangan Karbala terus menyapa kesadaranku.
Karbala, sebuah nama yang menyimpan duka dan keberanian dalam satu tarikan napas. Di sanalah, 1385 tahun yang lalu, sebuah tragedi besar mengguncang langit dan bumi. Perang yang tidak seimbang secara jumlah, tapi menggetarkan sejarah sepanjang zaman. Di padang tandus Nainawa itu, cucu Rasulullah Muhammad saw, Imam Husain bin Ali, berdiri dengan tegap bersama keluarganya dan segelintir sahabat yang setia, menolak tunduk pada kebatilan Yazid bin Muawiyah.
Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, ia adalah api yang terus menyala dalam dada orang-orang yang masih peduli pada nilai kebenaran dan keberanian. Setiap kali aku menggenggam tanah untuk menanam, aku teringat tanah Karbala yang menerima darah para syuhada. Tanah yang menjadi saksi keteguhan, kesetiaan, dan pengorbanan tanpa batas.
Perang Karbala bukan hanya peristiwa masa lalu, ia adalah cermin bagi setiap jiwa hari ini. Karena itu dikatakan, “Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala.” Kalimat ini bukan sekadar simbol, tapi sebuah peringatan bahwa pertarungan antara haq dan bathil terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Di ladang kami yang sunyi, di pasar, di ruang-ruang sekolah, bahkan di dalam hati sendiri pertempuran itu hadir, memaksa kita memilih: di pihak kebenaran atau kezaliman?
Sebagai petani muda, aku melihat Karbala seperti benih yang ditanam Imam Husain dengan darah dan air mata. Benih yang hari ini tumbuh menjadi pohon perlawanan, menginspirasi jutaan manusia untuk hidup dengan harga diri, menolak kebungkukan di hadapan tirani. Karbala mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah bertahan hidup, tapi hidup dengan bermakna, meski harus berakhir dengan kematian.
Di antara para syuhada Karbala, ada satu nama yang selalu mengguncang hatiku setiap kali aku mendengarnya: Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi. Dia datang ke Karbala sebagai musuh, komandan pasukan yang bertugas menghadang Imam Husain.
Namun, dalam detik-detik akhir menjelang Asyura, gelisah merayapi jiwanya. Ia melihat kebenaran tak terletak di singgasana Yazid, tapi di kemah kecil yang dikepung ribuan pasukan. Hati Hurr bergetar, dan ia memilih keberanian yang lebih besar dari medan perang mana pun: keberanian untuk meninggalkan barisan kebatilan dan berbalik arah menuju kebenaran, meski harus menanggung malu dan kematian.
Di hadapan Imam Husain, Hurr memohon ampun. Dan seperti matahari yang menyambut embun pagi, Husain memaafkannya dan menerima dia sebagai pejuang. Hurr akhirnya gugur di medan Karbala, tapi namanya kekal sebagai simbol bahwa tidak ada kata terlambat untuk memilih jalan yang benar.
Kisah Hurr adalah kisah tentang hati yang masih hidup. Di zaman ini, mungkin banyak dari kita yang seperti dia terjebak dalam sistem yang salah, tunduk pada tekanan dan kebiasaan, tapi masih punya nurani yang bicara. Dan seperti Hurr, kita punya kesempatan untuk berpaling. Asalkan keberanian dalam hati lebih besar dari ketakutan di pikiran.
Kini, dalam menyambut 10 Muharram 1447 H, aku tidak sekadar mengenang Karbala sebagai peristiwa sedih. Aku menyambutnya sebagai panggilan jiwa. Bahwa di ladang sederhana ini, di tangan-tangan yang mengais rezeki dari tanah, perjuangan itu bisa dilanjutkan. Dengan kejujuran, dengan keteguhan, dan dengan tidak menjual diri pada kemunafikan yang kerap menyamar sebagai kemudahan.
Asyura bukan sekadar hari berkabung. Ia adalah titik balik kesadaran. Ia adalah api yang harus dinyalakan di dada setiap anak muda, agar tidak tumbuh menjadi generasi yang tunduk tanpa tanya. Dan Karbala bukan tempat asing, ia bisa tumbuh di sudut hati kita, saat kita memilih jujur meski rugi, saat kita menolak zalim meski sendirian.
Aku menulis ini di bawah naungan pohon pala yang kutanam empat tahun lalu. Pohon itu dulu kecil, tapi kini akarnya kuat, daunnya rimbun. Semoga semangat Karbala yang kutanam di hati, juga tumbuh seperti itu. Mengakar, menjulang, dan membayangi generasi setelahku.
Selamat datang 10 Muharram. Selamat datang Asyura. Bawa kembali semangat itu ke setiap petani, ke setiap anak muda, ke setiap hati yang rindu keadilan.
Wahai Imam Husain, engkau telah menanam. Kini giliran kami menjaga pohonmu.

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.
Leave a Reply