Yang tak Pernah Guru Ucapkan di Kelas

Hari masih muda, tepat ketika para murid baru kembali mengisi bangku di kelasnya, usai sepekan lebih menikmati libur semester. Saya tengah berjalan di muka deretan kelas, tepat di kelas enam, langkah saya terhenti, ketika riuh teriakan berkumandang membelah kesunyian, entah apa sebabnya, yang jelas saat itu masih jam pelajaran, guru pun masih ada di dalam kelas. Saya mencoba bertambah dekat, mengintip lewat jendela, yang hampir seluruhnya terbalut poster sambil berjinjit, maklum, tinggi badan tak seberapa.

Alih-alih merasa lega, rasa penasaran justru menggelembung tak terbendung. Mata hampa, tak menangkap apa pun. Telinga pun tak memberi kabar apa-apa, hanya gemuruh sorak sorai yang membuncah, di sela-selanya, ada doa mengendap pelan-pelan, ditelan riuh yang membentang. Karena kaki mulai terasa ngeri, eh nyeri maksudnya, beberapa saat berjinjit, maka saya berderap melangkah tak seberapa jauh, menuju pintu, yang tersibak sejengkal, paslah untuk menengok masuk.

Di dalam kelas, tampak murid berpakaian putih-merah, mengangkat selembar kertas tepat di atas kepala, di kertasnya tertulis “tentara”. Masih belum jelas maksudnya apa, sebelum sepenggal kalimat Pak Kasim, guru kelas yang sedang mengajar itu, menamatkan rasa penasaran saya. Rupanya Pak Kasim, sementara menanyai ihwal cita-cita, mimpi anak didiknya itu.
Dari mimpi menjadi dokter, hingga mimpi menjadi pilot, mereka tulis di sepucuk kertas dengan tebal. Lalu, mereka bergiliran membaca tulisan masing-masing.

Ya, awal masuk sekolah, memang momentum pas berbincang dengan anak didik, bagi guru. Dari ngobrol tentang pengalaman selama libur, hingga ngalor ngidul bicara masa depan. Terlalu asyik mencuri pandang, membuat saya terselap, ada ruang lain sedang menanti.

Saya menarik diri ke sudut ruang guru, tak lama pasca menunaikan tugas, rehat sejenak sambil membuka gawai. Jari saya berselancar, menelusuri satu per satu unggahan di media sosial, hingga pandangan saya terpaku pada sebuah unggahan. Unggahan seorang lelaki, sedang melepas pergi kawan karibnya menuju negeri tetangga, mencari hidup layak.
Ia mengabadikannya lewat foto. Cukup panjang catatan pada foto itu ia rangkai, yang paling membekas adalah, betapa cerdas kawannya itu, rajin, berprestasi pula semasa sekolah, tetapi jalan hidupnya tak semulus kemarin, dan bayangannya di masa depan. Di tanah asing, dalam gema kesunyian, ia menapaki hidup yang tak pernah terbayangkan.

Masih membekas riuh anak-anak tadi perihal cita-citanya. Setelah layar ponsel padam, menampilkan kisah kelam, sebuah pertanyaan menyelinap masuk ke benak saya. Sebuah pertanyaan yang tak pernah diucapkan keras-keras oleh guru mana pun di depan kelas, namun, terasa begitu menghantam: “Apakah anak-anak tadi, akan mencapai cita-citanya? Semuanya?”

Pertanyaan itu laksana retakan kecil di dinding ilusi, menyingkap realitas yang jauh lebih kompleks dari sekadar rumus matematika, atau hafalan sejarah. Realitas tentang ketidakpastian, bisa melengkungkan jalan hidup ke arah yang tak pernah dibayangkan, menguji ketahanan di luar batas teori-teori buku. Ada pula keberuntungan, si tamu tak diundang. Juga faktor keluarga, dari dukungan emosional hingga finansial. Hingga ilmu, juga keterampilan penting hari ini, untuk bertarung di kerasnya kehidupan, tak pernah disampaikan guru di kelas.

“Plak…plak…” suara sandal jepit mengalihkan perhatian. Tante, sapaan kami pada penjaga kantin merangkap petugas kebersihan di sekolah, melangkah masuk ke ruang guru, memboyong teh hangat. Sembari menaruhnya di meja inti, di tengah, sekali lagi pertanyaan tentang cita-cita menyeruak. Tapi kali ini, tentang Tante, sambil menilik kerudung lesuhnya.

Saya memang tak pernah mananyakannya langsung, dan barangkali tak akan pernah. Namun, tak sedikit pun saya ragu, bahwa wanita yang kata banyak orang, cerdas semasa sekolah itu, tak pernah menduga berdiri di panggung itu, mengukir kisah tapi jauh dari angan-angan masa mudanya. Jika pun ia menyukai niaga, ia pasti bermimpi membangun usaha raksasa, atau jika ia memang senang kebersihan, ia barangkali bermimpi membangun pabrik sapu.

Tante, yang saya tahu dari rekan guru, katanya tak mau menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, tamat SD, sudah bisa baca dan berhitung menurutnya sudah cukup, tak perlu berprestasi. Buat apa membuang waktu dan biaya, kalau pada akhirnya, kepintaran dan prestasi di atas kertas itu, tak ada artinya di dunia luar. Sebagaimana telah ia alami sendiri, katanya.

Di sekolah, kurikulum menyetir para murid untuk belajar sesuai standarnya. Pelajaran, yang ilmunya barangkali tak cukup berguna, selain tuntutan untuk mencapai nilai tinggi, di semua pelajaran. Saya ulangi, di semua pelajaran. Di sekolah, kesempurnaan merupakan mantra, terus-menerus digemakan. Murid dituntut mencapai nilai tinggi, setinggi langit. Tak boleh ada angka di bawah standar, seolah setiap kekurangan adalah aib.

Bagi institusi ini, kegagalan tak diberi ruang, apalagi toleransi. Setiap lembar ujian, setiap proyek kelompok, setiap kompetisi antar kelas seolah dirancang untuk menyingkirkan satu sama lain, menciptakan ilusi bahwa hidup adalah serangkaian keberhasilan tanpa cela, dan tanpa jeda. Namun, fatamorgana kesempurnaan ini justru menjebak. Ketika dunia nyata di luar gerbang sekolah ternyata jauh lebih kompleks. Di sana, kegagalan bukanlah anomali, tak mesti dihindari, melainkan guru terbaik, pemberi pelajaran berharga.

Sekolah, dengan segala tuntutannya akan nilai, paradoksnya, justru gagal mempersiapkan siswanya menghadapi realitas ini. Kita tidak diajari bagaimana bangkit setelah jatuh, bagaimana merangkul kesalahan sebagai proses belajar, atau bagaimana meninjau ulang sebuah cita-cita, yang mungkin perlu direvisi. Sebaliknya, kita hanya mengenal tekad bulat untuk selalu menang, sebuah mentalitas rapuh, rentan hancur ketika dihadapkan pada kekalahan pertama. Pendidikan formal, terlanjur diamini sebagai peta jalan nan jelas: belajar giat, dapat nilai bagus, masuk universitas idaman, lalu raih pekerjaan impian.

Saya pernah mendengar sebuah kalimat yang arif, ini tak pernah terdengar di bangku sekolah, “Ketika Anda jatuh cinta, sisakan sedikit ruang buat kecewa untuk bernaung.” Kalimat ini, dengan jujur meski pahit menyingkap realitas, tetapi guru enggan ucapkan. Pendidikan formal seolah meracuni kita dengan optimisme buta. Kita diajari, selalu memandang ke depan dengan keyakinan penuh, bahwa setiap usaha akan berbuah manis, dan setiap mimpi pasti tergapai.

Ia gagal mempersiapkan kita untuk kemungkinan terburuk, pada kenyataan bahwa tidak semua pintu terbuka, bahkan setelah mengetuknya berulang kali. Ketika realitas tak seindah yang pernah terlintas, ketika cinta tak berbalas, atau ketika cita-cita tak sempat tergapai, ruang kosong untuk kekecewaan yang tak pernah disiapkan itu tiba-tiba membanjiri, meninggalkan kita terdampar tanpa bekal.

Tante sudah melangkah ke luar, meninggalkan ruang guru, dan kini langkah kakinya tak terdengar lagi. Tapi tak cukup di situ, Tante membangunkan memori kolektif saya, mengingatkan saya dengan seorang teman semasa SMA dulu, namanya Dede. Seorang juara kelas, bergelimang prestasi. Ia memendam mimpi menjadi seorang polisi. Namun, takdir berkata lain, berulang kali percobaan hanya berujung pil pahit. Konon, hingga hari ini, bayang-bayang kekecewaan itu masih membelenggunya, hingga ia masih kerap mengunjungi psikolog, mencari celah cahaya di tengah puing-puing asa yang tak tergapai.

Ia gagal memprediksi, bahwa dunia luar tak akan cukup hanya dengan kecerdasan akademik, tak cukup dengan kefasihan membedah teori gravitasi, atau kemampuan mengingat nama-nama pahlawan. Meski  penting, lamun pengetahuan itu tak cukup mampu jadi bekal bagi murid, untuk berlayar mengarungi samudra kehidupan yang tak selalu tenang.

Cita-cita bukanlah sekadar angka di rekening, tingginya pangkat di tangga korporasi, atau kilau status yang membuat seseorang dipandang. Bukan. Ia sebentuk harapan, tujuan yang membimbing. Sebuah arah yang tak selalu menunjuk pada kemewahan duniawi, melainkan pada esensi makna dan kepuasan. Kesuksesan menggapai cita-cita, sebuah narasi yang kerap disederhanakan di ruang kelas, nyatanya jauh lebih ruwet dari sekadar angka rapor gemilang.

Usai meneguk secangkir teh hangat dan sepotong kue lapis, saya menuju kelas, lagi. Langkah kaki yang membawa saya kembali ke hadapan murid-murid itu terasa ironis, sebab di sanalah, di balik dinding-dinding ruang kelas yang aman, sekolah dalam ambisinya mencetak individu-individu “sukses,” justru kerap luput membekali mereka dengan kemampuan untuk hidup dalam dunia yang kompetitif, kemampuan menghadapi kegagalan, dan kearifan menerima bahwa hidup tak selalu sejalan dengan optimisme.

Saya masuk ke dalam ruangan itu membawa beban pertanyaan: apakah yang saya ajarkan hari ini, benar-benar mempersiapkan mereka untuk dunia yang menunggu di luar sana?

Kredit gambar: Pinterest


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *