Hal-hal baik mesti dirawat. Ia bukan hanya tentang tanaman yang disiram, buku yang diberi sampul, atau rumah yang dibersihkan saban akhir pekan. Ia juga soal tubuh—yang jika tak diajak bicara, bisa diam-diam patah, diam-diam protes. Maka setiap pagi, lutut saya yang sudah lama tak muda, kerap berbicara lirih saat saya memaksanya mengayuh pedal. Seolah ia mengingatkan: rawat aku, agar kau bisa terus jalan.
Namun, tubuh bukan satu-satunya hal baik yang mesti dirawat. Pikiran pun sama. Ia harus dibuat gaduh sesekali, agar tak membatu. Maka saya izinkan ia terus berkecamuk, bertanya, meragu, mencari—sebab pikiran yang tenang terlalu lama bisa jadi tanda ia telah menyerah.
Pagi ini, saya kembali menyapa satu dari hal-hal baik yang telah lama menjadi teman belajar saya: si merah, sepeda lipat tua yang engselnya sudah mulai berdecit, tapi masih setia menanggung jarak dan kesepian. Ia bukan sekadar kendaraan. Ia seperti sahabat lama yang tahu ke mana saya pergi saat lelah dengan rutinitas, ke mana saya menuju saat ingin mendengar suara-suara yang tak terdata dalam grafik dinas atau tabel riset. Ia hafal jalan-jalan tikus menuju kampung yang tak masuk peta wisata, hafal pula warung tua tempat saya biasa menyeduh secangkir kopi hitam dan sejumput. Yang lebih penting dari semua itu: ia tahu jalan pulang, yakni jalan menuju keyakinan saya bahwa belajar tak seharusnya terkurung di ruang kelas. Bahwa sekolah, jika mau jujur, bisa hadir dalam suara ayam jantan, dalam percakapan di pos ronda, atau dalam raut wajah seorang ibu yang menakar air hujan sebelum menanam.
Pagi ini, si merah membawa saya ke arah timur. Udara masih dingin dan belum banyak suara kendaraan. Kabut menggantung di punggung bukit, seperti ingatan yang belum tuntas. Kami melewati sungai, jembatan, nelayan, dan sebuah tanah yang hidup dari kemurahan langit dan keuletan tangan-tangan yang tak banyak bicara. Di sini, kalender panen lebih dihitung dari arah angin dan embun subuh. Dua bulan lalu, tanah ini baru saja merayakan panen raya. Saya sering wara wiri waktu itu. Padi-padi menguning dalam barisan yang nyaris puitik—seperti murid-murid yang berdiri rapi dalam upacara bendera, tunduk bukan karena takut, tapi karena hormat kepada kerja keras.
Panen itu bukan semata hasil kerja mesin. Tapi hasil dari nyanyian lirih yang diucapkan tiap pagi oleh para petani sebelum mereka menapak lumpur: doa, sabar, dan keyakinan. Mereka bukan hanya menanam padi. Mereka menanam harapan—yang tumbuh perlahan, disiram hujan yang tak bisa mereka panggil sesuka hati.
Tapi pagi ini, hamparan itu seperti sedang menahan napas. Ladang-ladang terbentang sunyi, seolah memilih diam daripada berharap sia-sia. Tak ada derak cangkul, tak ada gumam para petani yang biasanya menyapa mentari dengan ayat-ayat pendek dan suara musik dari setelan hape. Yang ada hanya angin malas yang menyeret dingin, dan burung-burung kecil yang hinggap sebentar lalu terbang lagi. Seperti seseorang yang masih duduk di halte lama setelah bis terakhir lewat—menunggu, dalam diam dan pasrah.
Mereka menunggu dua hal yang datangnya tak bisa dipatok dalam kalender musim atau janji pemerintah. Yang pertama: hujan. Air yang jatuh dari langit seperti keberuntungan, yang bisa datang tiba-tiba atau tidak sama sekali. Tapi petani Jeneponto sangat mafhum: hujan bulan Juni seperti puisi Sapardi. Indah, tapi tak bisa diandalkan. Ia turun sebentar, menyentuh tanah sebentar, lalu menguap lagi seperti kenangan. Petani tahu, tak semua cinta bisa diwujudkan, seperti tak semua rintik bisa jadi sungai kecil di pematang.
Yang kedua: kepastian. Kepastian bahwa sawah-sawah itu akan tetap menjadi sawah, bukan diubah perlahan-lahan oleh tikungan logika pembangunan. Bahwa tanah yang dulu ditanami kacang-kacangan dan disiram dengan harapan tak akan tiba-tiba menjadi toko bangunan yang menjual cat tahan panas atau semen cepat kering. Bahwa lahan itu tak akan dicincang oleh jalan raya yang baru—jalan yang lebih lebar, lebih mulus, tapi mengiris pelan-pelan rasa milik petani terhadap tanahnya sendiri.
Kepastian itu adalah barang mewah yang sulit dibeli, bahkan dengan hasil panen terbaik sekalipun. Ia bukan ditanam di ladang, bukan pula bisa dipanen. Ia mesti ditegakkan oleh sistem, dijaga oleh kebijakan, dan dirawat oleh kesadaran bahwa ruang hidup rakyat kecil tak seharusnya jadi korban dari pertumbuhan ekonomi yang hanya terlihat bagus di tiap laporan presentasi.
Saya berhenti di pinggir jalan, tepat di bawah bayangan pohon lontara yang belum sepenuhnya pulih dari musim kering. Matahari belum tinggi, tapi sinarnya sudah seperti ucapan selamat pagi yang terlalu keras. Saya buka botol minum, meneguk pelan, sambil memandangi ujung sawah yang mulai mengering. Di kepala saya, muncul baris puisi lama dari Sapardi: “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.” Tapi pagi ini saya sadar, petani tak hidup dari tabah. Mereka hidup dari air.
Hujan bulan Juni terlalu puitis untuk padi. Terlalu tipis, terlalu sopan, terlalu cepat minta diri sebelum semai tumbuh jadi harapan. Barangkali bagus untuk dikutip di feed media sosial, tapi bukan untuk menumbuhkan batang yang kokoh atau mengisi karung dengan bulir. Petani tahu itu. Mereka tak sekadar menghitung hari; mereka membaca langit dengan naluri, membaca tanah dengan telapak tangan.
Mereka juga tahu bagaimana mengenali janji dari aroma: bau bensin dari mobil yang datang membawa proposal, spanduk yang berkibar seperti doa yang dipaksa, dan suara pengeras dari orang-orang yang cuma datang saat musim menjelang pemilihan. Mereka tahu, lebih baik menunggu. Bukan karena mereka pemalas. Tapi karena mereka bijak.
Cemas mereka bukan lagi pada lumpur atau gulma, tapi pada sia-sia yang menunggu di ujung musim tanam. Air tak turun. Irigasi tinggal peta di dinding kantor kecamatan. Surat-surat perjanjian terlipat rapi dalam map plastik, belum sempat jadi saluran air, apalagi panen. Tapi anak-anak tetap harus sekolah. Tetap harus belajar tentang “sumber daya alam” dari buku teks yang steril dari tanah dan peluh. Mereka harus mengisi pilihan ganda tentang irigasi teknis, tanpa pernah melihat bendung yang kosong atau pipa yang tak pernah dipasang.
Saya mencatat semua itu. Dengan mata. Dengan dada. Dengan perasaan yang entah marah, entah malu. Dan sepeda merah saya pun kembali melaju pelan, menyusuri dusun demi dusun yang pelan-pelan kehilangan suara ayam jantan dan lolongan sapi. Rumah-rumah menjadi lebih sunyi, jalan-jalan menjadi lebih ramai oleh truk dan motor dari luar.
Sepeda ini memang tua, tapi ia tahu jalan yang benar. Bukan sekadar jalan aspal, tapi jalan menuju sekolah yang seharusnya. Sekolah yang tidak menjulang seperti menara gading, tapi menunduk seperti orang tua yang sedang menyemai. Sekolah yang mengajak murid-muridnya menyentuh batang jagung, menyelami aroma lumpur, mendengar curah hujan bukan sekadar angka, dan menakar keberhasilan bukan dari nilai rapor, tapi dari seberapa dalam mereka mencintai tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Pendidikan iklim, sejatinya, bukan sekadar proyek menanam pohon di halaman sekolah atau memisahkan sampah organik dan anorganik di dalam kelas yang berpendingin udara. Ia lebih dari sekadar simbol; ia adalah keberanian untuk membaca tanda-tanda langit, memahami arah angin, meraba retakan tanah, dan mendengar bunyi patah pada batang-batang muda yang kekurangan air. Ia adalah kesanggupan untuk melihat bahwa perubahan iklim bukan hanya wacana global yang jauh di luar negeri sana, tapi sesuatu yang sudah merayap pelan ke ladang-ladang di belakang rumah, ke air sumur yang makin dalam, ke tubuh petani yang makin bungkuk.
Dan iklim pendidikan yang baik, tidak cukup hanya menyuapi anak-anak dengan kurikulum yang kaku dan rapi. Iklim pendidikan seharusnya membebaskan ruang tumbuh, mengajak anak-anak mengasah kepekaan, keberanian, dan kepedulian. Karena dunia yang akan mereka hadapi kelak bukan dunia ideal seperti dalam buku ajar—melainkan dunia yang kian panas, kian bising, kian keruh.
Di sanalah, pendidikan yang berpihak pada kehidupan harus berpijak. Membekali murid bukan hanya dengan hafalan tentang efek rumah kaca, tapi juga dengan keterampilan membaca tanah retak dan mata air yang surut. Bukan hanya mengajarkan tabel curah hujan, tapi mengajak mereka berbicara dengan petani, menyentuh lumpur, menimbang makna panen yang gagal. Sebab pendidikan yang sungguh-sungguh berpihak pada masa depan, adalah pendidikan yang tahu caranya berterima kasih kepada masa lalu—kepada para petani yang lebih dulu mengajarkan cara paling jujur untuk mencintai bumi: dengan menanam, dengan menunggu, dengan tak menyerah bahkan ketika langit kering.
Maka mari kita ajak sekolah-sekolah itu keluar. Keluar dari ruang-ruang kedap suara. Keluar dari pagar-pagar tinggi. Menyatu kembali dengan tanah yang sabar. Karena di sana, pada ladang yang menunggu hujan, di situlah sekolah yang sebenarnya sedang menunggu murid-muridnya datang dan belajar: tentang hidup yang harus dirawat, dan bumi yang tak boleh dikhianati.

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.
Leave a Reply