Egaliter Tanpa Basa-Basi

Inilah pelajaran di negeri yang tak bertanya jabatan. Ia menjadi sesuatu yang mewah untuk orang yang berasal dari tempat saya lahir dan menua: Indonesia. Di sini, di Indonesia inilah saya menemukan para pejabat atau yang merasa orang penting selalu ingin tampil paling depan. Tempat duduk di dalam suatu acara publik pun terasa amat menentukan derajat seseorang. Tidak di depan, merasa kurang penting.

Kereta listrik menjadi moda transportasi kota yang paling populer. Murah, aman, nyaman, mudah di jangkau, serta aman. Commuter line: sudah dikenal jauh sebelum Jabodetabek menggunakannya. “Ular panjang” ini membawa kami melintas dan memotong jantung Kota Tokyo. Tak berapa lama Bandara Haneda hilang dari penglihatan. Dalam hitungan belasan menit sahajalah kami mendengar suara dari pusat informasi bahwa sebentar lagi kami dapat turun di Akabanebashi. Di sana kami akan bermalam untuk beberapa hari lamanya.

Ditelan gerbong commuter line saya merasakan suasana lain. Duduk di samping kiri dan kanan saya seorang pria yang ramah. Saya menduga ia adalah seorang eksekutif atau person yang berjabatan tinggi di tempat bekerjanya. Melalui seorang Kawan, saya tahu bahwa di sana para pekerja level tingi di berbagai instansi pemerintah; mungkin setara dengan eselon 2 dan 3 di Negeri Indonesia sudah terbiasa naik transportasi umum. Banyak di antara mereka yang tak mendapatkan tempat duduk adalah seorang direktur atau komisaris perusahaan. Begitulah kata Kawan saya.

Kita setara! Tak ada kelas manusia di dalam gerbong dan di tempat umum lainnya. Di Jepang, siapa pun yang masuk ke dalam gerbong kereta akan larut dalam kesunyian yang setara. Seorang menteri duduk di pojok kursi tanpa pengawalan, berdampingan dengan buruh pabrik, lansia, mahasiswa, bahkan remaja dengan headphone besar. Tak ada kursi prioritas untuk ego. Tak ada mata yang menelusuri lambang pangkat. Jepang seperti memberi pelajaran diam-diam bahwa ruang publik adalah altar kesetaraan—bukan podium untuk keangkuhan sosial.

Berbeda halnya dengan Indonesia. Di negeri ini, ruang publik masih terlalu sering menjadi panggung sandiwara sosial. Siapa datang dengan mobil mewah, siapa yang berseragam, siapa yang disambut petugas, itu semua menjadi peta kelas yang dijaga ketat. Bahkan dalam musala bandara, tempat yang seharusnya meruntuhkan sekat, ada “ruang VIP” yang lebih wangi, lebih sepi, dan tentu lebih jauh dari jemaah biasa.

Padahal, Indonesia diwarisi budaya luhur yang menjunjung tinggi gotong royong, tepa salira, dan unggah-ungguh. Tetapi warisan itu bagai naskah tua yang hanya dibaca saat upacara adat, tak lagi hidup dalam perilaku sosial sehari-hari. Kata orang, hanya ada di Negeri Dongeng. Dalam realitas kita, egalitarianisme tak pernah tumbuh matang karena terlalu sering dibonsai oleh budaya patronase, senioritas semu, dan kebutuhan untuk selalu “dilihat lebih tinggi”.

Pernahkah Anda menelepon seseorang yang mengenal Anda tapi tidak diangkat lantaran sebelumnya telah tahu bahwa Anda hanyalah kelas bawah belaka? Jangan kecewa. Anda hanya perlu meningkatkan kelas: mungkin dengan sedikit kemapanan ekonomi yang mudah diukur atau jabatan yang mendekati kemegahan citra seorang sukses. Di kendaraan umum ini saya merasa ada dalam masyarakat yang benar-benar setara satu sama lain. Padahal baru kira-kira 30 jam lalu saya berada di kendaraan umum yang isinya adalah orang urban berpenghasilan rendah Sahaja: tak ada kelas elitnya.

Kendaraan umum ini mengangkut manusia yang jiwanya merasa setara. Kontras ini bukan semata soal etiket di kendaraan umum, tapi cermin dari tata batin sebuah bangsa. Profesor Ruth Benedict dalam karya klasiknya,The Chrysanthemum and the Sword, menggambarkan Jepang sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi rasa malu (shame culture) ketimbang rasa bersalah (guilt culture). Artinya, kontrol sosial bekerja karena individu merasa terikat untuk menjaga keharmonisan dengan sesama. Dalam konteks ini, sikap untuk tidak menunjukkan keistimewaan di ruang publik adalah bentuk integritas budaya. Mirip dengan siri’ namun bentuk dan ekspresi yang berbeda adanya.

Sementara itu, Clifford Geertz dalam pengamatannya terhadap masyarakat Jawa menyebut istilah “theater state”—negara dan masyarakat yang berjalan seperti pertunjukan simbolis. Dalam banyak ruang publik kita, simbol-simbol kekuasaan masih dipertontonkan, bahkan dengan cara yang kikuk. Ada rasa enggan untuk menanggalkan status, ada keasyikan untuk terus menonjolkan perbedaan.
Tentu tidak semua orang Indonesia hidup dalam teater status. Tapi kita tahu betul bahwa banyak dari kita yang masih merasa perlu menyebut gelar saat menulis nama di grup WhatsApp RT. Kita tahu ada orang yang tak akan naik KRL jika tak diantar ajudan sampai ke pintu gerbong. Dan kita juga tahu, meski tahu itu tak pantas, kita tetap membiarkannya, karena sudah “biasa”.

Lalu, apa yang membuat Jepang lebih berhasil? Jawabannya mungkin sesederhana ini: mereka tidak sedang sibuk membuktikan siapa mereka di hadapan sesama. Mereka cukup percaya bahwa hormat tak datang dari simbol, tapi dari sikap.
Di negeri ini, mungkin kita masih harus menunggu lebih lama. Atau, mungkin yang perlu dilakukan bukan menunggu, tapi berhenti merasa lebih dulu.

Bacalah 21 Lessons for the 21st Century, karangan Yuval Noah Harari! Ia menulis bahwa tantangan terbesar masyarakat modern bukan sekadar teknologi atau ekonomi, melainkan kemampuan untuk mengatur ego di tengah kehidupan bersama. Jepang, tampaknya, telah lebih dulu menjawab tantangan itu—tanpa banyak pidato, tanpa banyak simbol. Sementara kita, masih sibuk menyusun undangan rapat lengkap dengan daftar gelar, tempat duduk khusus, dan kopi instan dalam cangkir keramik.[]

Kredit gambar: Wexpast


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *