Suatu hari, seorang teman bertanya pada saya, “Menurut kamu, apakah penting sering unggah foto mesra atau kegiatan pribadi di media sosial?” Pertanyaan ini terlihat sederhana, tapi sebenarnya cukup dalam dan mengajak kita untuk berpikir ulang tentang cara kita menggunakan media sosial setiap hari.
Sebagai pengguna aktif media sosial, terutama Facebook, saya melihat bahwa orang-orang punya kebiasaan yang berbeda-beda. Ada yang menjadikan media sosial sebagai semacam buku harian digital, tempat mencatat momen-momen hidup secara terbuka. Ada juga yang lebih memilih menunjukkan sisi profesional atau hal-hal yang netral.
Ada pula tipe formal-serius, mereka biasanya lebih suka mengunggah aktivitas yang bersifat profesional seperti seminar, rapat, kegiatan organisasi, atau saat sedang mengajar. Mereka menjaga citra sebagai orang yang aktif dan produktif.
Secara umum, saya melihat beberapa tipe orang di media sosial (subjektivitas tanpa dasar ilmiah); ada tipe personal-ekspresif, mereka ini sering membagikan momen-momen pribadi seperti foto dengan pasangan, anak, keluarga, saat jalan-jalan, makan bersama, dan sebagainya. Untuk mereka, media sosial adalah tempat berbagi kebahagiaan dan membangun kedekatan.
Terakhir, ada tipe pembuat konten, mereka Ini adalah orang-orang yang aktif membuat konten karena ada tujuan tertentu, misalnya ingin dikenal, membangun branding pribadi, atau bahkan mendapatkan uang dari media sosial.
Ada lagi tipe tematik atau santai. Orang-orang ini mengisi akun mereka dengan hal-hal ringan seperti foto hewan peliharaan, tanaman, makanan, atau pemandangan. Tidak terlalu personal, tapi tetap terasa hangat.
Untuk pertanyaan kawan saya di atas, saya kembali dulu ke dasar, sebenarnya apa sih fungsi media sosial bagi kita para medsosmania? Jawabannya bisa sangat luas. Tetapi pada initinya media sosial dibuat untuk memudahkan kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan membangun relasi.
Namun, dalam perkembangan zaman, media sosial juga menjadi tempat untuk menunjukkan eksistensi diri. Sayangnya, dalam proses ini, muncul juga fenomena yang disebut oversharing disorder.
Apa itu oversharing disorder? Oversharing disorder adalah kebiasaan membagikan terlalu banyak informasi pribadi di media sosial, bahkan sampai hal-hal yang seharusnya cukup diketahui diri sendiri atau orang terdekat saja.
Dalam beberapa kasus, oversharing bisa terjadi karena seseorang merasa butuh perhatian, validasi, atau ingin terlihat “sempurna” di mata orang lain.
Beberapa contoh oversharing disorder yang sering saya lihat: misalnya curhat berlebihan tentang masalah rumah tangga, konflik dengan pasangan, atau drama keluarga, atau mengunggah foto atau cerita orang lain (termasuk anak atau pasangan) tanpa persetujuan.
Bisa juga terlalu menjelaskan masalah kesehatan atau keuangan pribadi secara rinci di media sosial. Selanjutnya, ini yang paling penting juga kita cermati adalah membuat unggahan yang sebenarnya bersifat sangat pribadi, tapi dipublikasikan ke ruang publik bukan ruang privat atau teman.
Awalnya mungkin terlihat sepele, tapi oversharing disorder bisa membawa dampak yang serius, seperti risiko keamanan karena orang banyak bisa menyalahgunakan informasi yang kita bagikan.
Saat ini banyak kegiatan fising telah menjadi bentuk penipuan online dengan informasi pribadi. Hal lain adalah privasi terganggu: Bukan hanya privasi kita, tapi juga orang-orang terdekat bisa ikut terdampak. Akan ada persaingan sosial yang tidak sehat, sering terjadi membandingkan hidup dengan orang lain bisa menimbulkan rasa iri, rendah diri, bahkan stres. Lebih parah adalah sumber cyberbullying. Saat informasi pribadi diunggah tanpa kontrol maka boleh jadi akan dijadikan bahan olok-olokan atau serangan oleh pihak lain (netizen).
Tidak ada yang salah dengan membagikan momen pribadi. Kadang itu adalah bentuk kebahagiaan, bentuk syukur, atau sekadar ingin dikenang. Tapi kita perlu menyadari batasannya. Tidak semua hal harus diketahui orang lain. Ada bagian dari hidup kita yang lebih baik jika tetap menjadi milik pribadi.
Berhati-hati di media sosial bukan berarti paranoid. Tapi lebih kepada sikap dewasa dan sadar diri bahwa dunia digital tidak selalu aman dan bersahabat. Jangan sampai kita jadi terlalu bergantung pada pujian atau perhatian dari orang lain, sampai-sampai merasa tidak cukup kalau belum mendapat like atau coment. Hidup kita tetap berharga, bahkan tanpa harus selalu diumbar ke publik.
Jadi, perlukah mengumbar kehidupan pribadi di media sosial? Jawabannya kembali ke diri masing-masing. Tapi satu hal yang pasti: lebih baik membagikan secukupnya, daripada menyesal di kemudian hari. Wallahu a’lam.
Kredit gambar: Linkedin.com

Lahir, 12 Februari 1975 dari pasangan H. Andi Passalowongi Daeng Ngipu dan Hj. Rahmatiah, memulai studi S-1 di UNM/IKIP 1993-2000, Pascasarjana Unismuh 2007-2010. Menjadi guru sejak 2006. Saat ini mengajar di SMAN 6 Barru sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Bergelut aktif di ranah literasi sejak 2010 dengan menggerakkan gerbong literasi guru dan remaja Kab. Barru lewat beberapa organisasi kepenulisan seperti Yasbic, Agupena, dan Perpustakaan Iqra Takanitra. Menulis di beberapa flatform media sosial, dan menjadi dosen luar biasa di Universitas Muhammadiyah Barru dan ITBA ALgazali Barru. Telah menulis beberapa buku: Bunga Rampai Bahasa Indonesia (2015), Catatan Seorang Guru (2016), Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara (2016), Kumpulan Cerpen Arajang ( 2017), Antologi Gurusianer Bicara Literasi (2017), Pesan-pesan Berkarakter dalam Kearifan Lokal Nusantara (2018), Cerita Rakyat La Patau (2018). Kumpulan Cerpen Ata Mana (2019), Ayo Tulis dan Terbitkan Bukumu (2019), Kumpulan Esai bersama Yang Digugu dan Ditiru (2019), Kumpulan Esai bersama Guru Melawan Pandemik (2020), Melihat ke dalam Diri (2022), Kota Penulis Ilagaligo (2022), dan Buku Dwibahasa Makkereta Api Baru (2023). Mottonya adalah “Panta Rei” sebuah filosofi Yunani yang berarti mengalir, terus berubah, terus bergerak sampai di perhentian terakhir.
Leave a Reply