Kitalah Penghancur Buku yang Sebenarnya

Pagi ini, masih merenungi peringatan Hari Buku Nasional, 17 Mei 2025, saya tiba-tiba kembali merenungkan buku, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, karya Fernando Báez. Buku ini pernah saya baca dan miliki, tetapi karena satu dan lain hal sudah tidak lagi bersama saya.

Buku tersebut menyajikan gambaran mengerikan tentang berbagai bentuk penghancuran buku sepanjang sejarah—dari kebakaran perpustakaan Alexandria yang legendaris hingga kehancuran perpustakaan di Baghdad akibat invasi Amerika.

Namun, yang paling mengejutkan dalam buku ini adalah penegasan bahwa penghancuran buku tidak hanya disebabkan oleh perang atau bencana alam, tetapi lebih sering dipicu oleh alasan ideologis. Bahkan dalam perang, yang seharusnya bersifat fisik dan teritorial, ada pertempuran ideologis yang mendalam.

Kekuasaan, dalam banyak kasus, menggunakan perang sebagai sarana untuk menghancurkan lawan ideologis mereka, termasuk dengan cara menghapus literatur yang dianggap mengancam. Buku-buku menjadi medium pertarungan ideologi—ketika kekuasaan merasa terancam, maka buku yang menyalurkan ide-ide tersebut harus dibungkam, dihancurkan, atau dilarang.

Fenomena ini tidak terbatas pada sejarah dunia. Di Indonesia, kita juga pernah menyaksikan peristiwa bibliosida—penghancuran buku secara sistematis—baik oleh negara maupun kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks Orde Baru, misalnya, buku-buku yang berbau kiri, yang sering dikaitkan dengan paham komunisme, banyak yang dilarang. Penulis-penulis dengan ideologi yang bertentangan dengan rezim sering kali mengalami represi, termasuk melalui pembakaran buku atau pemusnahan karya-karya mereka.

Bahkan, kelompok masyarakat yang berbeda aliran atau paham sering melakukan sweeping terhadap buku-buku atau tokoh-tokoh buku yang dianggap mengancam stabilitas ideologi mereka. Hal ini memperkuat tesis Fernando Báez bahwa mayoritas penghancuran buku dilakukan dengan kesadaran ideologis yang mendalam.

Saya tidak ingin mengulangi analisis yang sudah banyak dibahas tentang bibliosida dari perspektif ideologi, karena pembahasan ini sudah cukup luas di media maya jika kita mengetikkan nama Fernando Báez atau kata “bibliosida”. Sebaliknya, saya tertarik untuk melihat penghancuran buku dari sudut pandang yang mungkin lebih dekat dengan kita, sebagai pembaca dan masyarakat: bahwa penghancur buku yang sebenarnya adalah kita sendiri.

Mengapa kita? Tentu saja, ini bukan karena kita secara fisik membakar atau merusak buku. Namun, kita secara tidak sadar berkontribusi pada penghancuran buku dalam bentuk yang lebih subtil, tetapi lebih luas dampaknya. Kita sering membeli buku dengan harapan untuk memperkaya diri secara intelektual, tetapi sering kali berhenti hanya pada euforia kepemilikan.

Buku-buku itu bukan lagi alat perubahan atau sarana peningkatan wawasan, melainkan lebih menjadi simbol ambisi yang tidak terwujud. Kita membeli buku, bukan untuk dibaca dan dipahami, melainkan untuk memenuhi sebuah keinginan—keinginan untuk terlihat pintar atau terpelajar, tanpa pernah benar-benar mengupayakan pemahaman yang mendalam.

Dalam konteks ini, kita menjadi penghancur buku itu sendiri. Kita menghancurkan buku bukan karena alasan ideologis, atau ketidaksukaan terhadap isi atau aliran tertentu dalam buku itu, tetapi karena kita tidak pernah benar-benar membaca buku-buku tersebut.

Buku-buku itu terkumpul di rak atau di meja samping tempat tidur, hanya menambah beban fisik dan mental, tanpa pernah ada yang membuka halaman-halamannya. Dalam proses ini, kita sebenarnya membunuh makna yang terkandung dalam buku tersebut—menghancurkan potensi perubahan yang bisa diberikan oleh buku-buku itu.

Sebenarnya, pemerintah juga turut berperan dalam bibliosida ini, meski tidak dalam bentuk pembakaran buku atau larangan ideologi. Ketika pemerintah tidak menciptakan kebijakan yang mendukung agar masyarakat dapat mengakses dan menghargai buku, kita semua turut andil dalam penghancuran buku.

Jika perpustakaan-perpustakaan sekolah dibiarkan kosong tanpa pengunjung, atau jika perpustakaan daerah tidak menarik perhatian masyarakat untuk datang dan membaca, maka kita semua, sebagai bagian dari masyarakat, adalah penghancur buku.

Ketika buku-buku tidak dibaca dan pemahaman atasnya tidak diperjuangkan, kita secara tidak langsung menghapuskan nilai dan fungsi dari buku itu sendiri.

Saya teringat sebuah cerpen anak-anak yang pernah saya baca, tentang sebuah buku yang menangis karena tidak pernah dibaca.

Mungkin, kita adalah penghancur buku yang sebenarnya—kita yang membiarkan buku-buku itu terlupakan di rak-rak kita, kita yang tidak memberi kesempatan bagi buku untuk hidup dalam pikiran dan jiwa kita.

Dengan kata lain, penghancuran buku tidak hanya terjadi dalam konfrontasi fisik atau ideologis yang besar, tetapi juga dalam kebiasaan kecil kita sehari-hari, dalam keputusan untuk tidak membuka halaman-halaman buku tersebut.

Kita, sebagai individu, masyarakat, dan pemerintah, punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa buku tidak hanya menjadi simbol kosong di rak, tetapi benar-benar menjadi alat perubahan dan pencerahan.

Penghancuran buku yang paling berbahaya adalah ketika kita membiarkan buku-buku itu mati dalam keheningan, tanpa pernah ada yang memberi mereka kesempatan untuk berbicara. Wallau alam.



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *