Di seperdua malam saya masih terjaga, sembari kucegat agar tidak terjebak jauh lebih pengecut! Mengingat momen bagai sekelabat waktu yang hendak kuatur dan kutata kembali. Tetapi yang terjadi hanya rindu sebelanga yang saya harus relakan dan terlewati begitu saja.
Di tengah gamang dan bekas selebrasi rindu yang kusisihkan, kutemukan diksi penguat dan pengingat dalam sebuah laman.
Seolah tertukar dan tertakar, sama yang hendak saya tuangkan pada narasi ini: setiap pertemuan dan perpisahan membawa pelajaran. Pelajaran tentang bagaimana memperlakukan orang lain, bagaimana memandang dunia, dan bagaimana menyikapi diri sendiri.
Ketika seseorang berani merajut makna dalam setiap pertemuan dan perpisahan, dia sebenarnya sedang belajar menjadi lebih bijaksana.
Bisa jadi, dalam merajut makna ini, kita menemukan diri kita sendiri. Kita menemukan kekuatan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, kita menemukan harapan yang sempat kita kira hilang, kita menemukan cinta yang mungkin selama ini kita cari-cari.
Dalam setiap pertemuan dan perpisahan, kita menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
Apakah ini naluriah saja dalam usia yang mengalami berbagai fase kehidupan? Mulai dari masa muda hingga dewasa, dan memiliki banyak pengalaman yang dapat digunakan untuk memandu dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
Saya mengutip sebuah istilah, bahwasanya usia hanya angka-angka. Entah menjadi motivasi atau menolak tua? Agar masih terlihat usia awal pubertas? Hem.
Betapa “Jelita” (Jelang lima puluh tahun) segala dinamika hidup telah dilalui dengan segala konsekuensi.
26 April 2025 bertempat di Hotel Kirey. Suasana itu hadir memasuki tiga dekade. Di sebuah ruangan yang membawa kita di sebuah titimangsa SMA terulang, walau semuanya hanya coba mengembalikan sejenak saja indahnya kisah klasik di sekolah.
Mengingatkan kembali masa itu, saat bolos, ketika izin ke toilet tetapi nongkrong di kantin pojok belakang. Menulis surat cinta, lalu tertambat ke hati orang lain, ada pula yang jatuh cinta dalam hati dan putus dalam hati, bagai mengejar badai dan rindu yang terlarang!
Semua terasa bagai kemarin kita lewati, berusaha melawan lupa, tetapi sungguh kisah kasih dan klasik di sekolah—kata Obbie Messakh dalam syair lagunya—di sudut sekolah tempat berjanji, ingin jumpa denganmu walau mencuri waktu. Berdusta pada guru.
Acara mengalir begitu saja, dijadwalkan pukul 18.30, satu persatu hadir, dari lintas lima daerah, di antaranya teman seangkatan dari Soppeng, Pangkep, Makassar, Jeneponto, Bulukumba, dan Selayar. Bahkan ada yang menunda liburan bersama keluarga dan menunda agenda lainnya demi menghadiri Halal bi Halal Smapat angkatan 95.
Tidak harus formal. Hanya Sekapur sirih dari salah seorang yang kami anggap sebagai kebanggaan, yakni karib Ahmad Yani. Dengan sebuah harapan sederhana, “Sikapaccei, sipakainga’, sipakrikongang, nakimassing appakatau,”
Sekuntum nilai, sebagai alumni angkatan 1995. Beliau menambah dan menambatkan, dengan saling melengkapi satu dengan yang lain, menghampar sebuah sabana pada setiap angkatan, mengajak, dan meraih kesuksesan, saling men-support, mengapresiasi, segala potensi dan profesi sesama seangkatan.
Ya, tiga puluh tahun yang lalu, melengkapi usia yang terbilang cukup matang. Menabur nilai kebaikan, kebersamaan yang sampai saat ini terjalin. Tiada sekat, semua terasa dekat.
Kemudian salah seorang guru hadir dengan turut khidmat. Yang sangat kami kenali, disegani dengan edukasinya yang masih menempel diingatan kami, membawa suasana tidak seperti biasanya.
Mewejang pada suasana yang juga membumbui kisah kenakalan kami, dan beberapa siswa yang berprestasi. Sampai ada tambahan kurikulum kala itu, hingga membuat kami merasakannya baru sekarang, bagaimana budaya disiplin yang cukup kami rasakan saat itu.
Barulah kami tersadar, merasakan siuman di sebuah titipan waktu dan masa prosesi perjalanan hidup, lalu terasa hikmah di balik semua itu, terjewantah pada karir/prosesi kami masing-masing. Sungguh, betapa dulu menganggap aturan sekolah kala itu kadang membuat kami menggerutu terlalu ketat dan mengatur kami.
Disertai tawa yang dulunya kami tidak pernah berani lakukan tertawa lepas seperti burung di angkasa. Menyimak dengan saksama. Sosok bapak guru ini, kami sapa dengan sebutan Pak Basri, guru olahraga, yang sampai sekarang masih dengan karakternya yang kuat.
Suasana berlanjut, wajah-wajah itu masih kukenali, meski dua tiga di antaranya masih meraba-raba nama. Lantaran tiga dekade baru bersua, malam ini tampak ceria masih terasa seperti dulu. Tetiba kami saling merunut, betapa semua tiada diduga dan disangka, sederet profesi dan potensi begitu beragam, kata seorang letting/karib sudah lengkap dengan prestasi dan profesi.
Ada pejabatnya, sebagian di antara kita menanjak dengan karir yang menopangnya sebagai guru dari SD sampai Guru SMA, ada pula kepala puskesmasn, kemudian terhitung profesi sebagai abdi pembela dan penjaga negara dalam hal ini polisi dan tentaranya, perawat, bahkan penjelajah lautan (pelayaran).
Ada juga yang mengabdi kembali ke tanah masa kecilnya. Ada yang di dunia perbankan dan kantor pajak. Dan seorang teman yang menghasilkan tenaga kerja andal, dengan integritas dan tentunya kapasitas serta kualitas, meniti karirnya dia sebuah Balai Latihan Kerja (BLK).
Apakah saya berlebihan? Tentunya tanpa harus saya beri jawaban dan alasan secara klarifikasi nan klasik pula. Tidak ketinggalan pula, pengusahanya, satu hal lagi membanggakan kita semua tentunya. Teman yang pernah duduk sebangku, sekelas kita di angkatan 95, menyebar pula berjuang di tanah rantau, menjadi kepala desa yang penuh integritas, pengusaha di tanah paling jauh di tanah timur Papua. Bahkan menjadi kebanggaan bersama ada kawan, saudara kita akan dipinang dengan gelar doktor.
Bagai melengkapi rusuk yang hilang, kemudian “assiama” di malam Halal-bi Halal Smapat angkatan 95, diramu sederhana, tanpa harus melebihi keinginan dan ekspestasi. Betapa terasa rindu itu belum terbayarkan. Menunggu momen selanjutnya terulang dengan lebih khidmat.
Moment maaf memaafkan kali ini, saya menemukan sebuah filosofi bahwa menjabat bukan semata jemari tangan, namun jiwa, batin menerima segala kekurangan, kesalahan, tanpa harus ada menyimpan luka, selain keharuan tiada bisa saya uraikan lagi, hanya dengan narasi sederhana ini.
Memaafkan yang khilaf, melepas tak berbekas kiranya ada sayatan melukai hati, yang pernah ada, melupakan hal sepele yang pernah secara manusiawi membuat kadang ada luka yang tanpa kita sengaja, baik tingkah laku atau perkataan.
Sesekali saya terdiam, mencoba tidak tegang di hadapan mereka saat memandu, menikmati, menenun diri, melintasi khayali.
Semua lebur dalam sebuah ikatan, menjadi bannang pangjai (benang pengikat/penjahit). Passiamakkang sesama satu kelas, satu meja, satu nilai kearifan di usia kita yang terbilang tidak muda lagi.
Dulunya kita seragam putih abu-abu, sesama lepasan sebuah almamater di sebuah sekolah menengah atas bernama SMA 4 Bantaeng.
Masa pergolakan, penentuan dan tantangan, menuju masa depan, dengan terasa kesakralannya. Di sanalah pertama kali merasakan hijrahnya masa remaja ke tingkatan bernama dewasa, dengan penuh khidmat, demi menerima sebuah lembaran sakral bernama ijazah.
Teringat sebuah peristiwa yang sungguh menegangkan. Ketika itu, begitu mendebarkan, dinantikan dengan segala harapan disertai doa.
Ketika saatnya telah tiba, menuai yang kita tabur selama tiga tahun, dengan rasa bercampur aduk, ada yang penuh kecemasan tidak lulus demi bernama ijazah terakhir, sebuah hal yang sakral dan terindah kala itu tepatnya tahun penamatan 1995.
Kidung kemesraan menguatkan yang berserak menjadi titik kumpul tanpa harus dipandu. Bukan hanya kemesraan berharap jangan cepat berlalu semata bertemu begitu saja. Detik memantik akhir, durasi seakan tiada hendak cepat usai. Belum lengkap cerita satu dengan lainnya, seketika rindu dan peristiwa kembali bertepi di labirin waktu.
Sesi foto-foto pastinya tidak mau dilewatkan, yang akan memenuhi beranda tentunya. Dari foto serius, ganti gaya, hingga swafoto (selfie) menjadikan jejak waktu dan kejadian, melengkapi usia kita yang kadang lupa bahwa kita mulai menuju gerbang setengah abad.
Ya, begitulah adanya atas nama usia hanya angka-angka. Jiwa, pikiran, batin tidak tertular dan tertolak. Justru sebagai terapi, dan tetap menghasilkan kualitas diri.
Sebagaimana penemuan masa bakti usia diangka 40-an menanjak lebih. Kujeda kembali euforia itu, sembari menyulam dan menenun diri, secara realitas dengan segala kualitas hidup, menemukan dan menentukan sebuah kebahagiaan, bukan semata bersenang-senang.
Saya kembali merenung jauh, setiba di rumah merasakan gagap dan gugup sendiri pada suasana di momen kali ini, seolah mengintimidasi.
Tetiba Vi menegur di tengah riuh, dengan lirih berucap, “Biarkanlah ramai itu pergi, dan sunyi menguatkanmu, jangan abai pada sebuah sabda-Nya, bahwa semua akan kelak kembali, meski tak serupa dengan momen atau suasana ruang dan waktu berbeda.”
Saya masih merasakan suasana hati, pikiran pada momen yang membuat kembali termenung jauh. Dengan menyusuri malam di sebuah laman, bagai terhubung dengan istilah argoritma, memiliki padanan yang sepertinya seakan mirip, walau tidak seiring waktu yang sama, bahwa merajut makna hidup melalui pertemuan dan perpisahan. Karena di setiap pertemuan dan perpisahan, kita belajar dan tumbuh.
Di setiap detak jam dan aliran pasir waktu, ada pertemuan dan perpisahan yang melintas dalam hidup. Entah itu pertemuan dengan teman baru, atau perpisahan dengan orang yang telah lama kita kenal. Lalu, bagaimana kita dapat merajut, melengkapi indahnya kebersamaan, menanggung rindu yang dalam setiap pertemuan dan perpisahan tersebut?
Masing-masing membawa cerita, pelajaran, dan perasaan yang berbeda. Berharap esok kita kembali siuman, di tengah kesibukan yang menjeda rajutan benang silaturahmi itu terjalin dengan penuh cinta.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply