Pusara dan namanya, cerita serial dari legendanya. Kopi dan kekayaannya, dari cerita hingga pustaka yang dia tinggalkan menyimpan seribu rapang-rapang yang masih kami telusuri.
Pustaka tentang istrinya bernama Kr. Sitti, setidaknya kami menemukan jejak dan juga cerita tentangnya. Dengan sekian banyak informasi dan referensi.
Kami juga tidak gegabah menyimpulkan. Butuh lebih jauh, mendalami, menyelami segala sumber dari berbagai data dan informasi.
Lebih dari cukup, atau tidak sama sekali. Jejak Pustaka seorang Pama’ terbilang unik. Membuat kami merasa tertantang mencari dan mengulik.
Di antara belantara sejarah, sebuah bekas rumah, dan batu nisannya sampai pada tutur lisannya. Hanya sepenggal memori tersimpan, telinga mendengar.
Butuh pisau analisis untuk menelisik lebih dalam tentang risalahnya.
Pustakanya hanya meninggalkan pusaka yang tercekat dinding sejarahnya. Berrbuah dilema. Dilema dan derma yang kemudian membuatnya semakin tak tertera secara rinci, ritual dan faktual bercampur, dengan demikian butuh melengkapi dan melingkupi sebuah pustaka, untuk melengkapi sebagai hasil riset, data dan cerita yang terhubung.
Di puncak ketenaran, di lingkup alam Pa’bumbungang yang dititahkan Tuhan, yang strategis, namun jejak pustakanya cukup dramatis.
Di atas bukit tanah kelahirannya, terlihat jelas laut biru menjadi pemandangan menarik, geografi yang penuh filosofi. Kondisi geografis ini, dengan lahan pertanian yang luas, memaksilkan dirinya seorang Pama’ untuk menjadi orang yang dijuluki tau kalumannyangngang.
Dia bukan pelaut, sebagai petani yang mahir, membina peradaban yang berapiliasi dari leluhurnya sendiri. Menanam biji kopi, hingga pada padi yang melengkapi lumbung-lumbung kehidupan sanak saudara dan rakyatnya kala itu. Memiliki identitas dan entitas. pemerintahannya sendiri.
Esai ini berusaha mengeksplorasi jalinan rumit sebuah titipan pustaka, untuk menjadi nilai bagi penguatan hasil penelusuran jejak Pama’. Untuk generasi agar kelak tidak merasa miris tanpa tahu sejarah buyutnya, dan dari garis keberapa pinangkakna (urutan).
Sebagaimana dilansir di sebuah laman tentang Bantaeng. Perihal sejarah Kerajaan Bantaeng dapat mencakup berbagai aspek, seperti hubungan luar negeri, peninggalan arkeologi, dan perkembangan perdagangan dan pertanian. Pustaka ini adalah pusaka.
Teringat masa kanak, remaja dan dewasa sampai sekarang, saya hanya mendengarkan cerita orang tua kami. Sampai pada saat tertentu berusaha masuk ke ruang imajinasi saya. Masih belum juga bisa memahami kemisteriannya, setidaknya bisa saya analogi dan cocoklogikan misalnya.
Tidak juga saya membantah secara frontal. Tapi ada cara lebih bijak dan relevan, untuk mengukirkan sejarah itu sendiri. Disertai dengan sebab akibatnya yang lebih jujur menggunakan metodologi pendekatan ke keluarga, dengan sumber-sumber lainnya.
Meski masih berbuah dan berbunga cerita, bukan asal melengkapi kesejarahan yang juga masih simpang dan siurnya.
Masih butuh lebih dalam dan jauh membuka sebuah portal. Atau menembus dinding sejarah yang tebal. Walau mengoyak-ngoyak pikiran, rasa oleh sebuah dinamika yang harus terjaga secara kultur, agar tidak ngelantur sebuah pustaka.
Hingga pada satu titik, sangat menggelitik, dan butuh trik dalam perjalanan merangkaknya hingga sampai pada sebuah tikungan tajam sejarah sekalipun.
Butuh nyali, mentalitas, dan kualitas diri yang melengkapi secara pustaka.
Peleburan, persemaian garis berkelok yang sifat umumnya manusia mengalami kepasrahan, kemerasaan, yang tidak sesuai jalur pustaka sebagai sains untuk hal-hal yang dianggap mitologis. Hingga menjadi dogma budaya itu sendiri.
Pustaka telah jauh ditinggalkan. Karena berebut trah dan tahta. Lupa menuliskan secara detail.
Bagaimana mungkin, seakurat para penulis Belanda itu? Tanpa kita jujur menceritakan semuanya. Bukankah mereka juga belum tentu benar sebagai pemenang dalam sejarah. Sumbernya juga acak, serta ditambah dari kita sendiri?
Lantas kita diarahkan ke titik sejarah sebenarnya ada pada mereka. Ada narasi, ada pustaka, dan pusaka. Kemudian mereka mengarang, bisa saja sebagai pencatut dan penguat data yang kita manggut-manggut membenarkan semuanya. Kita sebagai objeknya, masih minim meletakkan dasar dan ide awal sebuah sejarah dibangun dengan pustaka. Lalu kita mengadopsi seribu kata dan bahasa mereka sampai saat ini. Seolah mumpuni, penuh filosofi. Padahal pusat kata kita jauh lebih kaya dan kompleks.
Dileburkan, mau tidak mau kita telah kalah dan dipaksanya kita mengikut bahasa dan cerita mereka.
Jika boleh melengkapi pustaka selanjutnya, cerita yang mendahului kata dan peristiwa. Seperti kata Pa’bumbungang yang tercipta tidak asal begitu saja. Serta dialek orang Pa’bumbungang yang begitu menarik punya aksen dan dialek tersendiri.
Pustaka seorang Pama’ misal, akan melengkapi sebuah pusaka. Sejauh penelusuran menghiasi bagai serunai rampai, yang masih bersumber pada kisahnya dari berbagai sumber, tentang kejayaan, kesejahteraan, tau nakaluki kanyamangngang. Hingga pada titik kekuasaan yang pernah diembannya. Meski pusaka dan pustakanya disamarkan dan dikaburkan.
Hamparan di puncak Pa’bumbungang bernama “Tamanga”, jejak peradaban awal yang tersisa kenangan serta cerita. Lumbung yang membumbung menjadi tersisa bekas rumah sejarah yang kehilangan pustakanya.
Pustaka kopi masih menyimpan rindang sejarahnya, menjadi pustaka yang mencukupi titik sejarah itu sendiri. Dengan cerita berurut dalam runut ritual saat panen telah tiba misalnya sebagai warisan.
Belantara waktu, tersusur lalu tergusur dinding peradaban. Beberapa makam yang rebahan ratusan tahun menjadi situs pustaka, membuat kami tidak patah hati nan galau, saat jejak itu masih butuh penelusuran lebih konkrit.
Dengan alur, yang kadang tarik ukur, saling tarik menarik, menjejalajahi sebuah dan rute pustaka yang cukup menarik. Seperti dari garis Pama’ saja untuk selesai ditunaikan.
Sebagai sumber, dan data begitu krusial, bukan asal usul dan usil. Secara pustaka yang mengumpulkan informasi dari setiap penjuru beberapa pustaka itu sendiri. Agar tidak tersesat di simpang jalan yang juga masih butuh pustaka lain, untuk menghitung jarak periode dan bukan sekadar fantasi.
Haruskah mendaur ulang? menyadur dengan jejak yang belum mengurai benang merah?
Bukan merasa harus lebih pintar menentukan alur, cerita, dan sisi lain yang makin marak saling menghemoni. Lantas kelak kita akan menjadi penonton kisah dalam pustaka sejarah kita sendiri dari orang lain.
Mengalah atau menyerah? Seseorang menghubungiku menanyakan tentang suasana yang mengubah dengan memakai jurus “tai chi”. membantu meningkatkan kesadaran diri, kesabaran, pengendalian diri, dan empati. Agar tidak mudah menyerah dan pasrah hanya karena hal berbeda pustaka.
Minimnya pustaka akan mengabiatkan tumpulnya kognitif sains. Secara pengetahuan, bukan membantah yang sudah ada. Namun butuh kebenaran, walau kebenaran secara mutlak milik Sang Penguasa Jagad.
Pustaka cara sains menggunakan sebagai alat untuk hal yang dianggap hanya sebatas cerita. Cerita juga sebagai sumber agar sains bekerja.
Lamat-lamat semua kehilangan jejak pustakanya. Jikalau tidak mampu menempuh jalur riset sebagai pembanding. Agar sejarah tidak oleng pada gelombang amuk badai sejarah yang baru diusung lalu membusung menjadi pustaka sesungguhnya.
Telaga pustaka kehilangan fungsinya, hanya jelaga zaman dan gejolak manusia yang masih suka numpang narsis. Walau pustakanya minim penekuk dan nutrisi literasi.
Pustaka Pama’ di telaga sunyinya, melengkapi derita yang kami tanggung sebagai cucu dan cicitnya. Wajahnya dan perempuan bernama Kr. Sitti ditimpuki pustaka lain.
Kami lantas tidak terjebak. Dan tidak ujuk-ujuk memercayai sebagian hasil riset dan wawancara. Tetapi menjadi sumber pembanding. Pada versi lain untuk menjadi alternatif yang membawa kami ke sumber lainnya.
Lantas apakah kami kapitu-pitu atau piti–piti? Itu sah-sah saja jika ada yang merasa tidak sesuai. Karena interpretasi pembaca tidak semua sama apalagi selera!
Pustaka adalah pengetahuan. Menjadikan kita lebih logis untuk menganalisis. Tanpa penguatan mendasar pada logika sederhana, dan kognitif setiap manusia. Sains akan selalu hadir untuk menjadi pemandu yang real bin konkrit.
Sepertinya Pama’ memang melepas atribut, agar tidak mengundang ribut alias sengketa tak berujung kelak di kemudian hari.
Cara Pama’ adalah mengalah untuk tidak menjadi bias dan polemik pada sesuatu yang telah mungkin dipikirkan dampak atas nama kebesarannya dulu. Saya hanya menghela napas panjang. Terbawa angin senja dan sejarah yang minim pustaka.
Pustaka kemudian kami usung, sepertinya menuai keganjalan. Di tengah perjalanan tepat pada gerimis, ada yang nyaris mengiris, ada yang sinis, sungguh nan miris kiranya.
Beberapa temuan pustaka selain jejak pusaka, kami harus lebih dalam mengulik, menganalisa. Berhati-hati, karena tidak semua memahami. Butuh pengetahuan, atau sicidongang menghamparkan dari apa yang dimaksud dengan pustaka.
Menghindari konflik internal. Selanjutnya saya mereda ueforia, ketika rasa haru biru itu tentang seorang buyut kami bernama Pama’ bin Ma’dunda bin Serang bin Bonto Lempangang. Lantas terjegal dengan sendirinya.
Apakah kami harus berhenti sampai di situ? Kembali jurus tai chi teradopsi, mengalah bukan berarti kalah. Akan tetapi prinsip leluhur terserap secara tidak langsung seakan berbisik di tengah konflik secara internal “sipaloloko, teako gassing erokki attenteng, kanasaba sikiddiajibitu sanna ammaraki puara“.
Luruh seketika, seakan membasuhku cahaya dari sisi lain kemanusiaan yang mulai terkapar dan terkoyak-koyak hanya karena merasa pintar, tidak pintar merasa, merasa paling penting lupa bahwa jauh lebih penting setidaknya berlakon baik walau secuil.
Saling menghargai satu dengan lainnya. Merangkul, bukan duduk berpangku semata, sebab pustaka tidak hanya jatah ujuk-ujuk hadir dan jatuh di keranda! Lantas kita membusung sambil tepuk dada.
“Tanre numakring sirangga sela, tea tongko appandangengtengi parannu rupa tau, katutui sekrea cappa.” Maka pustaka nilai diri dan manusia, menopang menuju titah dan tahta kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pama’ tersenyum, menimang bait-bait doa di pusaranya. Menyaksikan buyutnya berjuang mencari pustakanya, jejak masanya yang juga masih menyimpan beberapa pustaka lainnya untuk kami kembali menyusuri.
Sumber gambar: penerbitdeeppublish.com

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply