Mudik Spritual

Seiring bentangan waktu beputar, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, Ramadan manakah paling berbekas pada jiwa di sepanjang umur kita. Pertanyaan reflektif ini berkelindan di hari-hari akhir Ramadan. Sudahkah kita menyantap lezatnya hidangan Ilahi di bulan suci itu. Bukankah Ramadan serupa hadiah Tuhan kepada manusia, agar kembali pada eksistensinya.

Bulan nan suci itu telah berlalu. Bulan yang banyak mengajarkan tentang diri. tak perlu mencari jauh cahaya Ilahi, cukup membuka mata hati. Batin manusia serupa mikrokosmos, segenap alam semesta mukim di dalamnya. Pencarian ke dalam, adalah perjalanan panjang penuh liku dan duri. Ramadan datang serupa medium  yang melejitkan para pejalan merasakan percikan Ilahi di dalam batinya.

Bagi pecinta, hidup tak lebih dari sebuah pencarian kekasih di dalam batinnya. Hidup tanpa menyalami ke dalam, serupa hidup kebablasan. Mudik spiritual menuntut seseorang kembai ke dalam dirinya, setelah sebelumnya meninggalkan rumah, menoreh kesuksesan ragawi. Upaya menyelami diri dengan jalan spritual, seperti dilakukan di hari-hari Ramadan, tidak lain mendidik diri agar perlahan-lahan melepaskan dimensi material, yang lebih cenderung  pada laku hewani dan kemelekatan duniawi.

Bulan puasa telah berlalu, hari Eid pun tiba, bak Majnun menemukan singgasana cinta-Nya, sementara kita masih tersesat, entah sampai kapan kita menemukan cinta-Nya. Tatkala sang fajar menyingsing, sejumput manusia berkumpul di tanah lapang. Derai air mata mengiringi perpisahan sang kekasih. Tak cukup waktu, hanya sebulan bercengkerama dengan kekasih.

Kepergian sang kekasih, mengajarkan, jika waktunya sudah tiba, perpisahan adalah keniscayaan. Bukankah kehidupan serupa dengan mudik ke kampung abadi. Tanpa kita sadari, perpisahan dari satu peristiwa ke peritiwa lain telah kita lewati sebelumnya. Mulai perpisahan kita di alam ruh, alam rahim, dunia, dst. Rumi berkata, “Kau telah melakukan perjalanan panjang, tetapi akhirnya kau akan kembali ke rumahmu:Tuhan.”

Setelah melewati madrasah rohani Ramadan, roh kembali mendominasi diri setelah tertawan oleh jasad yang kotor. Jiwa manusia kembali fitra seperti dahulu kala, setelah diliputi materi dan ego diri. Ibadah puasa adalah cara Roh mendidik tubuhnya agar menjadi makhluk spiritual. Mengutip kitab Matsnami, Rumi menabalkan, “Andai kau amat menginginkan mikraj melintasi kehidupan, ketahuilah kau punya kuda kencang di medan puasa.”

Selama manusia masih fase perjalanaan, keterasingan terus melanda jiwanya. Bagi seorang terasing, dunia adalah tempatnya. Lalu kapankah keterasingan itu berujung? Bagaimana mungkin kita bisa pulang, jika masih berada di rumah keterasingan. Momen yang dirindukan sang pecinta, manakala pulang ke kampung abadi. Selama manusia berada di alam materi, selama itu pula terus mengalami keterasingan.

Sesungguhnya, asal muasal manusia adalah makhluk rohani. Nilai-nilai ketuhanan azali dalam dirinya, maka alam dunia membuat manusia terasing, jauh dari nilai ketuhanan itu. Kerinduan manusia pada kampung azalinya, dengan sendirinya, manusia berusaha membebaskan diri dari tawanan materi melalui jalan spritualitas.

Kisah-kisah klasik banyak mengisahkan tentang perjalan rohani orang terdahulu. Dari mereka kita mengetahui, sesungguhnya kampung abadi kita kembali ke alam hakikat manusia. Alam dunia yang kita huni dan segala kenikmatanya, laiknya buih di lautan. Berkat keharmonisan angin dan ombak, buih di laut terlihat indah. Di balik keindahan buih membentang samudera luas yang dipenuhi mutiara berkeliau.

Pada perpektif sufi, buih tak lain adalah dunia yang tergantung oleh angin dan ombak di lautan. Sedangkan lautan adalah ilmu yang berasal dari para wali Tuhan, lalu, di mana mutiara yang menjadi esensi dari manusia itu sendiri? Menemukan esensi diri sendiri, kita mesti menjadi astrolab diri sendiri. Itulah mengapa kemudian mengemuka kata “siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”

Berangkat dari kesadaran mengenal diri, melalui laku syariat, maka seorang hamba akan melihat ke dalam wujud dirinya sendiri. Waktu ke waktu dirinya akan melebur dengan Tuhan, beserta keindahanya yang mutlak. Upaya memperoleh kesadaran diri memerlukan usaha keras dan serta kehendak Ilahi. Maka, bagi seorang pejalan rohani, tak ada cara, selain melakukan penyucian jiwa atau pembersihan diri tazkiyah an-nafs.

Mendidik diri dengan laku-laku syariat, serupa membersikan diri dari sekotah daki yang telah mengulit, mendarah daging, bahkan menulang pada diri. Semenjak hamba tertawan di alam materi, manusia berusaha keras melepas kemelekatannya. Selama hamba terawan oleh hafsu dan egonya, selama itu pula, hamba mesti terus mendidik dirinya dengan latihan-latihan rohani atau riyadhah.

Kerinduan manusia pada kampung abadi mengantarkannya pada derita. Penderitaan akan dialami setiap orang yang ingin sampai kepada-Nya. Mustahil, sesuatu diraih tanpa adanya derita. Sebuah kisah menceritakan derita  Siti Maryam saat melahirkan seorang Isa. Seandainya Maryam tak merasakan derita itu, maka ia tak akan pernah sampai pada pohon yang penuh berkah. Rasa sakit itulah membuat Maryam menuju pohon penuh berkah. Pohon yang mulanya begitu kering, seketika berubah menjadi subur dan berbuah.

Keberadaan wujud di muka memiliki batas waktu. Tugas manusia tak lain berupaya keras, terus menerus mengitari cahaya keagungan Tuhan tanpa henti dan kecil hati. Pada gilirannya, Tuhan akan menyerap dan menjadikan manusia bukan apa-apa. Sebab, bagaimana pun Tuhan tak bisa dipahami oleh akal manusia.     

Kredit gambar: Republika.
      
         
       
            


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *