Pama’ Bukan Pramoedya

Pama’ bukan Pramoedya. Selain beda zaman, ada paten dan telaten. Pram dengan segala kehebatan penanya. Pama’ dengan pelana kudanya, serta tuturnya.

Kalau Pram menulis, Pama’ mengaplikasikannya. Pram memerdekakan pikirannya, Pama mengalami, mengayomi, dan menjalani dinamika perjalanan sunyi.

“Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia,” kata Pram.

Pram benar. Ia bukan Nelson Mandela yang ditindas, dipenjara, lalu pada akhirnya menang dan kemudian memaafkan semua. Begitu juga ia bukan si hitam yang ditindas oleh si putih. Pram dipenjara bukan oleh yang beda kulit dengan dirinya. Sebagaimana Pram nyatakan dalam suratnya, “kulit cokelat menindas kulit cokelat.”

Apa hubungannya dengan seorang Pama’? Yang jauh dari dunia sejarah mereka. Meski peradabannya lebih punya kuasa kala itu. Bukan mau menyamakan dari judul dan tema narasi yang sama.

Sebuah peristiwa, yang kemudian juga dijebak dalam tahanan era 1963, kalau tidak salah. Masa gejolak tanpa jelas kesalahannya yang fatal bernama Baharu (anaknya). Hanya karena sebuah prinsip. Diadili dengan jelas kesalahan dan hak pembelaan. Sampai akhirnya sebuah peluru menembus bagian tubuhnya. Dan itulah keadilan menurut mereka.

Loemi ampelaki sikuntu le’ba langjari tanra se’rea rupa tau iyami antu to’do pulina (prinsip idealisme, sesuai kata perbuatan). Meski Pama’ bukan Pram. Tapi idealismenya mirip walau tak sama.

Serupa meski tak harus mirip. Pama’ dan anaknya Baharu bukan Pram. Kalau istilah Pram saya sadur sebagai penguat dan pengingat, dari segala peristiwa yang sepi dari kisah. Karena pencerita telah dibungkam dan disogok kala itu. Percakapan di tengah gerah sejarah dan kecamuk yang hanya bisa menuangkannya dengan bait doa bahkan air mata seorang Puspita (salah satu cucu) yang hendak menahan gejolaknya, berusaha tegar dalam pikirannya yang kalut mencari dan merasakan bagaimana kakek buyut bernama Pama’ ini terhuyung menuju ke tepi pengasingannya.

“Saya sejak subuh tadi yg berputar putar di kepalaku, bagaimana perasaannya kakek Pama’ saat rumahnya dibakar oleh gerombolan dan di paksa menyingkir.” Semakin berkelindan. Hanya sekadar mengenang.

Dia bukan tipikal bertahan untuk menang, tapi mendermakan segalanya agar semua kembali ke jalur yang lebih lurus. Dia punya cara, dalam diam dia buat semua agar usai memburu hal duniawi dan materi, apalagi identitas! Yang hanya membuat kelak bertikai tak kunjung usai.

Pram bertaruh dengan penanya. Serta cukup berapi-api, sedangkan Pama’ memilih menepi dalam ramai. Pram tampil dengan sastra dan penanya. Pama’ juga terampil dengan sastra tuturnya.

Ri rapangna, “Sikatutui, teako siranggaselai. Manna boko lampangku kuerang rapangmami simpung takkubagea mae ri pinagka’ku.” (cukup saya saja mengalami ruang waktu yang pelik, jangan sampai turunannya).

Rotasi waktu, menguatkan kita semua bagi yang menjadi “pinangka’na“. Depan gerbang ada banyak bayang-bayang dan pintu sejarah agar lebih menjadi penunjuk arah. Hukum semesta akan menata lebih luas, agar generasi tidak merasa mudah puas saja. Tapi segera bangkit mencari, menyusuri kisahnya.

Lalu dr. Rian menemukan sebuah era pada Jurnal Belanda sebuah periode. Disinyalir bahwa Pama’ pada era kerajaan dan sesiapa menjabat kala itu mungkin ada di antaranya: Kr. Panawang (1877 – 1913), Kr. Pawiloi (1913 – 1933), Kr. Mangkala (1933 – 1939), Kr. Manappiang (1939 – 1945) Indonesia merdeka.

Di sana kami mencari periodisasi. Tapi sebuah temuan manuskrip kesepakatan pemerintah Hindia Belanda di Bantaeng dengan Karaeng Bantaeng, Sulewatang, dan Adat Sampulonrua. Salah satunya ada Jannang Mappilawing, Sa’bara namanya. Cuma itu tahun 1924. Apakah itu nama lainnya? Tapi tahunya berbeda dengan era beberapa raja pada saat itu.

Kita tidak harus terjebak di tengah pusaran imajinasi sendiri. Manuskrip di atas melengkapi literasi sejarah buyut kami sendiri. Sembari mencari jalur lain. Biar menemukan secercah hamparan jejak yang bisa memvadilasi. Percakapan kami antara dr. Rian dan Puspita terkait penyusurannuang kesekian kali ini.

Cukup pelik saat mengulik. Sebagaimana Pama’ bukan Pram dengan senjatanya meluncurkan peluru tajam lewat tinta dan kertas, dia tuangkan segala pikirannya. Sementara Pama titah dirinya dia menderma. Melupakan kekuasannya dan Pakkalumanynyangna menghindari konflik yang berkepanjangan. Pama tidak sefamiliar gaya Pram yang terang-terangan melawan bersama Jurus mautnya, punya data sejarah serta kepatuhannya terhadap pemikirannya untuk menuliskannya. Bukan asal menunggu rilis.

Tidak pamer. Tapi punya nyali menghadapi semua gempuran hidupnya. Dia bukan Pram, bersama meriam dendam sejarah yang dialaminya. Tapi Pama’ punya kedalaman menjahit luka dan dukanya sendiri. Walau tanpa pena dan kertas. Dia dikenal umumnya tau nakaluki nyamang serta kajannanganna tanpa harus tenar.

Selaput duka sejarahnya nanar. Tanpa harus mencari suaka kebenaran. Semua telah kelar.

Saya menyelami keduanya. Pram, seperti Pama’, sama-sama menginginkan keadilannya. Walau Pama Bukan Pramoedya dengan lugas dan tegas meluncurkan senjata idealismenya, mengukirnya dengan realitas pada candunya pikiran dia tuangkan dalam buku. Pama tidak harus vulgar menebar, tetapi Pama, di atas dupa membakar kisahnya dengan khidmat.

Tidak mudah memang untuk memaafkan, Begitu juga hendak diluapkan seorang Pama’. Pram meneruskan, “Sudah terlampau pahit menjadi korban dan saksi hidup dari hukum di negeri kita sendiri.” Begitu pula Pama bertahan pada situasi yang rumit dan genting.

Negara yang sepatutnya menjamin, melindungi, namun justru memalak dan merogoh lebih dalam ke saku kita yang isinya sudah mereka rampas. Pama’ merasai itu dengan getir dia menyingkir dari tanah leluhurnya menuju ke sebuah kampung, Paranga namanya, letaknya di antara dua bukit menjalani hidup masa krisis sosial dan hukum yang dikoyak-koyak tersisa nisannya.

Hukum berkeadilan yang sepatutnya melindungi, justru bersekongkol, membabat, membiarkan kita dibantai gerombolan kriminal. Mengaburkan sejarah lama. Membuat sejarah baru yang penuh rekayasa.

Keduanya bertipikal. Suasana dan kejadian tidak sama pula, mirip tapi tak serupa. Entah apakah hidup sezaman? Atau Pama’ jauh lebih duluan merasakan kekacauan sebuah tatanan sosial dan kedaulatan hukum di masa kakaraenganga ri Bantaeng kala itu, kemanusiaan yang telah dikendalikan pihak koloni? Entahlah.

Kepada harapan, nyali kita terjual. Sebuah kemanusiaan tertimpali pelaku sejarah baru. Perangai bangsa dan kearifan sebuah tanah bertuah. Juga kehilangan petuah.

Pama’ apakah seperti Mandela? memaafkan atas kesewenang-wenangan terhadap diri dan kepada rakyatnya. Hanya saja dia mengalah. Tapi tanpa berstatus menyerah.

Pama’ juga bukan Pramoedya yang begitu kekeh dengan idealismenya yang bukan receh. Dia memilih jalan sunyinya dengan mencukupkan dirinya. Melawan dengan caranya sendiri dalam persona tak berbaca oleh kami.

Masa kolonial, masa gerombolan serta masa kerajaan (kakaraenganga) luput dari catatan. Semua buyar, samar bin kabur. “Le’ba kajariangmi, anre Kulle nanisassali surang sisa’ssali”. Punna nia’kija pallewainna assurangko ammenteng ri se’re garisi nijului battua rinakke.” (Berpegang teguhlah, tidak perlu saling menyesali pada garis keturunan dariku). Kurang lebih seperti itu mungkin.

Sebelum Jannang Ta Mejo Pama sebagai pemangku awal menurut beberapa sumber yang kami dapatkan. Tersemat sebagai Jannang Mappilawing yang sering disebut. Sebagaimana telah tertuang di narasi sebelumnya tentang sejarah yang butuh pendalaman lagi. Konon di periode Kr. Panawang menurut hasil wawancara dari sumber yang menceritakan, meski samar disebutkan tahun periode kala itu.

Kesalahan fatal minim literasi menulis, hanya mengukir, Dan kini kami merasakan bagaimana dibabat habis oleh sebuah sejarah yang dirilis mulus pemenang,menghilangkan jejak sejarah sesungguhnya.

Begitulah Pama’ bukan Pramoedya. Dia tahu diri akan posisinya dan kesadaran hakikinya, untuk melepas semua identitas melekat kepadanya.

Prinsip yang berbeda. Dengan tujuan yang sama. Jika melihat problematika, dialektika politik yang sampai sekarang masih ditemukan, tipikal seperti zaman kekuasaan yang mengadili tanpa hak pembelaan, mengusir sesama anak bangsa sendiri. Politik propaganda. Mudah terhasut saling membantai satu dengan lainnya.

Mereka menghadapinya dengan caranya sendiri. Pama’ punya naluri dan nurani, Pramoedya punya imajinasi menjadikan kisahnya, tertuang di narasi-narasi situasi masa ketidakadilan itu berlangsung.

Buah kopi Pa’bumbungang hangus dijarah para pecandu perampok berkedok. Rasa pahitnya masih terasa di langit-langit dan tenggorokan. Nama Pa’bumbungang nyaris tanpa sejarah dan catatan. Betapa mekar bunga dan biji kopi Bantaeng dinamakan, yang ternyata lumbungnya membumbung di Pa’bumbungang.

Sebagaimana Pram mengalami peran terhadap psikis dan mentalnya. Pama’ menuai diri dengan meletakkan singga sananya, merawat sisa kenangan di pikirannya, kalut bercampur gejolak.

Pama’ mungkin teaji nipuji-puji, erokna’ji nipa’rijongang. Pramoedya kembalinya dari pulau melanjutkan membakar tembakau dan memainkan tuts mesin ketiknya. Dan berhasil melampaui zamannya.

Sementara Pama’ menyusuri risalahnya dengan khidmat tanpa harus melibatkan untuk ikut bersengketa melawan.

Dirinya sudah tuntas atas segala kekuasaan jannangna dan nakalukinna kanyamangngang. Kesamaan tekad, bulatnya pendirian. Kokohnya akar pijak idealisme dan prinsip. Meski bedil-bedil mengepung, desingan peluru menyusur sampai nyasar, di tubuh anak dan keluarganya oleh sebuah konspirasi.

Dia punya kendali, di antara harapan dan kenyataan. Atas nama trahnya dia bertahan tidak gegabah, untuk tidak ikut terjebak sengketa sesama saanak saudara. “Pada jiwa yang tenang terbaring sosok penuh misteri sebagai jannang pemangku adat Sampuloa Angrua.”


Comments

2 responses to “Pama’ Bukan Pramoedya”

  1. Hasmawati S. Pd / Naiwa Avatar
    Hasmawati S. Pd / Naiwa

    Masya Allah… Semangatlah selalu mencari menelusur dan menuangkan dengan tinta diatas kertas putih, agar kelak anak cucu kita, akan tahu dan bangga, bahwa buyutnya, adalah org hebat di masa dan eranya, walaupun itu di Hong cerita dan sejarahnya.

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Siap Kak. Makasih apresiasinya selalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *