Nenengisme dan Pendidikan Kritis 

Halo, kawan-kawan guru. Pagi ini, saya fix jadi pengikut Nenengisme. Kenapa? Coba resapi postingan Neneng Rosdiyana di Facebook tanggal 10 Maret: 
“Di minimarket, belanja itu cuma datang, pilih barang, bayar, dan selesai. Gak ada obrolan, gak ada tawa, paling cuma kasir yang ngomong. Selamat datang atau terima kasih sudah berbelanja. Tapi di warung tetangga, belanja itu pengalaman sosial. Bisa tanya kabar, bisa ngobrol sebentar, bisa dapat cerita baru, bahkan bisa hutang dulu jika kepepet. Yang satu serba instan, yang satu penuh kehangatan. Jadi, Anda mau jadi ‘customer’ atau kembali menjadi tetangga?”

Atau postingan singkatnya kemarin: 
“Saat petani menyiram tanaman, mereka juga menyiram harapan. Sayangnya, seringkali harapan itu layu, karena kebijakan yang tak berpihak.”

Sungguh dahsyat. Tanpa disadari, Neneng Rosdiyana adalah “New Marxis” yang membumi. Ia tidak hanya bicara tentang teori, tapi juga tentang realitas yang dihidupi oleh rakyat kecil. Dan saya suka. Sebagai pekerja pendidikan, saya justru ingin murid-murid kita menjadi seorang “Neneng” atau ajaran-ajaran Neneng menjadi bagian dari pedagogi kita di ruang kelas. Jangan sampai cara kita mengajar justru membuat anak-anak layu karena tidak berpihak pada kebutuhan belajar mereka. 

Apa yang dilakukan Neneng dalam pemberdayaan masyarakat sesungguhnya adalah salah satu tujuan pendidikan: menciptakan masyarakat yang kritis, kreatif, mandiri, dan tidak tergantung. Masyarakat yang bisa menghasilkan inisiatif berdasarkan sumber daya yang mereka miliki sendiri. Ini adalah sebentuk pendidikan kritis ala Paulo Freire, yang menekankan pentingnya kesadaran kritis dan tindakan transformatif. 

Nenengisme, dalam konteks ini, adalah pendekatan yang progresif. Ia lebih membumi daripada teori-teori Marxis yang seringkali terjebak dalam wacana elit. Ia juga lebih relevan daripada konstruktivisme modern yang kadang terlalu abstrak untuk diterapkan dalam konteks sosial yang nyata. Nenengisme mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi juga tentang membangun hubungan manusiawi, mengasah kepekaan sosial, dan menciptakan ruang untuk bertindak.  Menjadi manusia.

Sekolah sebagai Warung Tetangga

Bayangkan jika sekolah kita seperti warung tetangga dalam analogi Neneng. Bukan minimarket yang serba instan dan impersonal, tapi ruang yang penuh kehangatan, obrolan, dan cerita. Ruang di mana guru tidak hanya mengajar, tapi juga mendengarkan. Ruang di mana murid tidak hanya belajar, tapi juga berbagi pengalaman.  Dalam konteks pembelajaran Indonesia, Nenengisme menawarkan lompatan kesadaran. Ia mengajak kita untuk melihat sekolah bukan sebagai institusi yang hanya mengejar nilai dan kelulusan, tapi sebagai tempat di mana anak-anak belajar untuk hidup, berpikir kritis, dan bertindak untuk perubahan. Ini adalah pendidikan yang menyiram harapan, bukan melayukan mimpi. 

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih sering terjebak dalam logika “minimarket”. Serba instan, serba terstandarisasi, dan kehilangan nuansa manusiawi. Kurikulum yang padat, metode mengajar yang monoton, dan tekanan untuk mengejar nilai seringkali membuat anak-anak layu sebelum mereka sempat tumbuh.  Nenengisme mengingatkan kita bahwa pendidikan seharusnya berpihak pada kebutuhan belajar anak, bukan pada kepentingan sistem. Ia mengajak kita untuk menengok kembali praktik-praktik pedagogi kita dan bertanya: Apakah kita sudah menjadi “tetangga” bagi murid-murid kita? Ataukah kita hanya menjadi “kasir” yang sekadar menyampaikan materi tanpa peduli pada cerita di baliknya? 

Kebijakan Pendidikan yang Berpihak pada Murid

Seluruh kebijakan pendidikan harus berpihak pada kebutuhan murid. Bukan sekadar menggugurkan kewajiban para dewasa di sekitarnya, tapi benar-benar memenuhi kebutuhan belajar mereka. Kita harus bertanya: Apakah kurikulum kita sudah relevan dengan kehidupan nyata? Apakah metode mengajar kita sudah memicu keingintahuan dan kreativitas? Apakah sistem evaluasi kita sudah adil dan mendorong perkembangan, bukan sekadar mengukur kemampuan menghafal? 

Kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada murid hanya akan melahirkan generasi yang kehilangan daya juang. Generasi yang pasif, tidak kritis, dan mudah menyerah. Ini adalah kegagalan besar bagi kita semua.  Pendidikan seharusnya melahirkan generasi yang kritis, kreatif, dan mandiri. Generasi yang tidak hanya mampu menghadapi tantangan, tapi juga menciptakan solusi. Generasi yang tidak hanya peduli pada diri sendiri, tapi juga pada masyarakat sekitar. 
Nenengisme mengajarkan kita bahwa pendidikan adalah tentang pemberdayaan. Ia mengajak kita untuk melihat setiap anak sebagai individu yang unik, dengan potensi dan mimpi yang perlu disirami, bukan dilayukan. 

Belajar dari Petani: Pembelajaran Kontekstual

Seperti yang diingatkan Neneng dalam postingannya seminggu lalu: 
“Belajarlah dari petani, beda cara menggarap ladang, beda cara melawan hama, tapi tidak ada yang merasa hasil panennya paling suci.”

Quote ini sangat sesuai dengan konsep pembelajaran diferensiasi, yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai akar pendidikan bangsa. Setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda, seperti halnya petani yang memiliki cara berbeda dalam menggarap ladang. Tugas kita sebagai pendidik adalah memahami perbedaan itu dan menciptakan ruang di mana setiap anak bisa tumbuh sesuai dengan potensinya.  Diferensiasi bukan sekadar metode, tapi filosofi yang menghargai keunikan setiap individu. Ini adalah inti dari Nenengisme: menghargai proses, menghormati perbedaan, dan menciptakan ruang untuk semua. 

Ajakan untuk Bertindak

Kepada para guru, aktivis pendidikan, dan pengambil kebijakan: Mari kita belajar dari Neneng Rosdiyana. Mari kita jadikan sekolah sebagai tempat di mana anak-anak tidak hanya belajar, tapi juga beraksi. Tempat di mana mereka tidak hanya menjadi “customer” yang pasif, tapi juga “tetangga” yang aktif dan peduli.  Nenengisme bukan sekadar ideologi, tapi panggilan untuk bertindak. Ia mengajak kita untuk menciptakan pendidikan yang menyiram harapan, bukan melayukan mimpi. Pendidikan yang membumi, kritis, dan penuh kehangatan. 

“Saat guru mengajar, mereka juga menyiram harapan. Jangan biarkan harapan itu layu, karena sistem yang tak berpihak.” Finally, saya jadi pengikut Neneng Rosdiyana yang ke 23.065. Saya yakin akan terus bertambah. Selamat bergabung kawan-kawan. Tumbuh bersama Nenengisme. 

Kredit gambar: DigitalmamaID



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *