Nenengisme dan Pendidikan Iklim: Mitos vs Kesadaran Kritis

“Lucu ya, pohon beringin selamat karena dianggap angker, bukan karena sadar pentingnya pohon untuk lingkungan. Ternyata cara paling efektif menjaga alam bukan lewat pendidikan, tapi melalui mitos dan mistis.”
— Neneng Rosdiyana (Mazhab Nenengisme)

Sepertinya Neneng Rosdiyana benar. Yang menjaga pohon, yang melestarikan hutan, sebaiknya bukan sekolah atau katakanlah pendidikan. Cukup melestarikan dan mewariskan mitos sebanyak mungkin. Postingan Neneng itu, bagi saya, adalah tamparan keras bagi seluruh ekosistem pendidikan. Guru, murid, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, bupati, menteri pendidikan, bahkan presiden—tak perlu berlelah-lelah mengurus pendidikan. Pikir ulang untuk membangun sekolah rakyat apalagi sekolah unggulan garuda. Cukup tanamkan mitos bahwa menebang pohon-pohon tua akan mendatangkan bala, maka hutan akan tetap lestari. Bukankah solusi yang sangat praktis, bukan?

Tapi, di balik kelucuan dan ironi postingan Neneng, ada pertanyaan serius yang menggelitik: Apakah pendidikan atau sebutlah sekolah justru menggerus kesadaran magis yang selama ini menjaga lingkungan? Sosiolog Kuntowijoyo pernah menulis tentang evolusi kesadaran manusia: dari kesadaran magis, mistis, hingga kritis. Menurutnya, kemajuan peradaban ditandai oleh kemampuan manusia untuk berpikir rasional dan kritis. Tapi, di tengah krisis iklim yang makin mengkhawatirkan, apakah kesadaran kritis itu benar-benar membawa kita ke arah yang lebih baik? Entahlah. Tapi membaca situasi akhir-akhir ini, sepertinya fatwa-fatwa Nenengisme bisa dibuatkan naskah akademik untuk panduan bersekolah.

Ketika Mitos Lebih Efektif daripada Pendidikan

Tiga bulan lalu, saya mengunjungi sebuah sekolah di pegunungan. Di depan sekolah itu, terpampang bukit yang masih hijau, dipenuhi rotan dan kayu-kayu asli lokal. Kepala sekolah bercerita, masyarakat setempat masih taat pada aturan tak tertulis: “Jangan mencuri rotan tanpa izin. Jangan mengambil kayu melebihi yang dibutuhkan. Cepat atau lambat, bala akan mendatangimu.” Dan itu bekerja. Hutan tersebut masih tetap terjaga, bukan karena kesadaran ekologis, tapi karena ketakutan atau kepatuhan akan hal-hal mistis.

Saya ingat judul film: Alangkah Lucunya (Negeri Ini). “Lucu ya,” tulis Neneng. Cerita itu membuat saya tertegun lama. Saya pun berefleksi: iya ya, postingan Neneng hampir sama dengan cerita kepala sekolah itu. Hutan masih lestari karena kampung masih diselimuti oleh magis. Tapi, saya juga jadi khawatir. Jika murid-murid di sekolah itu menjadi cerdas, kritis, dan modern, akankah hutan itu tetap bertahan? Atau sekolah justru akan melahirkan aktor-aktor pembalakan liar atau pelaku penebang pohon-pohon berusia tua, menggantinya dengan kebun sawit atau mungkin perumahan atau usaha pariwisata yang mewah? Apakah aktivitas kita di sekolah hari ini justru menjadi akar kebodohan dan menjadi bumerang bagi lingkungan?

Pendidikan Iklim: Antara Kesadaran Kritis dan Kontekstual

Isu pendidikan iklim kini mulai masuk ke sekolah-sekolah. Murid diajarkan tentang pentingnya menjaga pohon, melestarikan hutan, dan mengurangi emisi karbon. Tapi, apakah itu cukup? Neneng Rosdiyana, dengan satire-nya, mengingatkan kita bahwa kesadaran kritis atau menjadi pintar saja tidak selalu efektif. Mitos dan mistis, meski terlihat kuno, ternyata punya daya paksa yang luar biasa.

Mungkin inilah saatnya kita memikirkan ulang pendekatan pendidikan iklim. Alih-alih hanya mengajarkan teori-teori ekologi, mengapa tidak menggabungkannya dengan kearifan lokal? Seperti yang diusulkan oleh pedagogi kritis Paulo Freire, pendidikan harus kontekstual dan relevan dengan realitas masyarakat. Jika di suatu daerah mitos masih efektif menjaga lingkungan, mengapa tidak menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum?

Sekolah Murah, Lulusan Mahal: Ironi yang Menyedihkan

Pengalaman yang jamak terjadi di sekitar kita. Pendidikan saat ini kelihatannya murah, bahkan gratis, tapi sebenarnya menghasilkan lulusan berbiaya mahal. Tak lagi aneh mendengar para orang tua menjual sawah, kebun, hutan, pohon, atau ternak hanya untuk mendapatkan akses terhadap jenis pekerjaan tertentu. Sekolahnya gratis, tapi malah menghasilkan lulusan yang menjadi beban. Padahal, bukankah pendidikan seharusnya bertugas mengurangi beban orang tua, bukan menambahnya?

Idealnya, karena sekolah, seorang murid bisa memiliki puluhan ternak, bisa menghasilkan sesuatu dari ladang mereka, bukan malah dijual atau digadaikan. Pendidikan seharusnya memberdayakan, bukan memiskinkan. Tapi realitanya, banyak lulusan sekolah hanya membawa pulang selembar ijazah atau rapor dengan nilai ciamik, tanpa keterampilan hidup yang memadai. Mereka pintar secara akademis, tetapi tidak kompeten secara praktis. Mereka hafal teori ekologi, tetapi tidak tahu cara menjaga lingkungannya sendiri. Makanya, menjadi penting untuk memastikan bahwa sekolah bukan hanya menghasilkan lulusan dengan selembar ijazah, tetapi juga lulusan yang kritis dan kompeten. Termasuk sadar dan kompeten untuk menjaga lingkungannya. Jika sekolah saja tidak mampu melakukan itu, maka pada siapa lagi kita berharap?

Pendidikan harus kembali ke akarnya: memberdayakan manusia untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab. Seperti yang dibangun Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus “memerdekakan”—bukan hanya dari kebodohan, tetapi juga dari ketergantungan. Murid harus diajarkan untuk tidak hanya menghafal, tetapi juga bertindak. Mereka harus paham bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, masayarakat atau lembaga lingkungan tertentu, tetapi tanggung jawab setiap individu. Atau Teologi Al Maun yang dipakai Kyai Ahmad Dahlan, pendidikan harus mengantar murid menghasilkan aksi untuk masyarakatnya: menjadi rahmat bagi alam semesta.

Sepertinya, pendidikan kontekstual adalah jalan lain yang harus kita ambil. Bukan hanya melahirkan kesadaran kritis, tetapi juga menghidupkan kembali kearifan lokal yang selama ini menjaga lingkungan. Seperti kata Kuntowijoyo, evolusi kesadaran tidak harus meninggalkan yang lama, tetapi mengintegrasikannya dengan yang baru.

Jadi, mari kita akhiri dengan pertanyaan provokatif: Apakah pendidikan modern justru membunuh mitos yang selama ini menjaga alam? Atau, bisakah kita menciptakan pendidikan yang tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga bijak—generasi yang tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga menghargai magis (kearifan lokal)?

Mungkin, seperti kata Neneng Rosdiyana, kita perlu sedikit mitos untuk menyelamatkan dunia. Tapi, mitos saja tidak cukup. Kita butuh pendidikan yang menghidupkan, bukan membunuh. Pendidikan yang tidak hanya mengajarkan, tetapi juga menginspirasi. Pendidikan yang tidak hanya kritis, tetapi juga kontekstual. Karena, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya pohon yang terjaga, tetapi juga manusia yang bijak.

Kredit gambar: Neneng Rosdiyana Facebook


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *