Accini Allo Baji’

Pak Haji menutup matanya yang sendu karena usia, ibu jarinya ia lipat ke dalam, sedang empat jari lainnya ia jentikkan satu per satu. Telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Bergantian. Berulang. Wajahnya yang teduh, ia tengadahkan ke langit-langit rumah, sembari mulutnya khyusuk mengulang-ulang kata yang teramat pelan untuk saya dengar.

Pak Haji mencoba accini allo baji’. Melihat hari baik. Ia menerka-nerka hitungan dengan jemarinya yang penuh wibawa. Tak ada almanak, tak ada apa-apa. Hanya semilir kesyahduan yang masuk dari kisi-kisi jendela. Ketika hitungannya selesai, ia menyebutkan angka dan hari yang cocok untuk saya melangsungkan hajat. “Innemi allo paling baji’ inne taunga,” pungkasnya. Inilah hari yang paling baik bagimu tahun ini, katanya.

Juliati dkk dalam “Pandangan Islam Terhadap Tradisi Accini’ Allo Baji’: Menentukan Hari Baik dalam Suku Makassar”, yang diterbitkan oleh jurnal Socia Logica, menyatakan bahwa accini allo baji’ adalah kegiatan memilih hari yang dianggap baik ketika akan melakukan sebuah acara yang dianggap sakral, agar supaya kegiatan berjalan lancar tanpa hambatan, seperti lamaran, pernikahan, akikah, panen padi, masuk rumah, membeli kendaraan, dan lainnya.

Lama sekali saya memendam rasa penasaran. Apa makna dari empat jemari yang Pak Haji lipat bergantian itu? Bagaimana pula ia menentukan baik buruknya sebuah hari?

Jauh setelahnya, melalui perbincangan dengan Iwan asal Batulabbu, seorang narasumber yang biasa menerapkan accini allo ini—bahkan oleh kerabatnya sering dimintai pendapat. Ia bercerita, bahwa empat jari ternyata melambangkan empat sifat: tanah, air, angin, dan api. Secara berurutan. Telunjuk melambangkan tanah, jari tengah adalah air, jari manis adalah angin, dan kelingking ialah api.

Accini allo baji’ tidak dilakukan oleh sembarang orang. Ketika seseorang assuro cini allo baji’ (pergi meminta dipilihkan hari baik), maka mereka akan datang kepada tetua adat ataupun orang yang dianggap bisa. Mereka yang bisa accini, biasanya adalah yang pandai dalam hal menghitung bulan Makassar (a’rekeng bulang Mangkasara’) serta makna dari empat filosofi waktu dalam suku Makassar, yaitu wattu butta (waktu tanah), wattu je’ne (waktu air), wattu anging (waktu angin), dan wattu pepe’ (waktu api). Dua hal ini merupakan unsur penunjang dalam melakukan accini allo baji’, sebab keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain (Juliati dkk, 2023).

Setiap orang yang lahir ke bumi, pasti memiliki salah satu dari empat sifat tadi. Kalau Anda bisa menghitung bulang Mangkasara’, dengan melihat peredaran bulan dan benda langit di bumantara (sibanggi bulanga berarti tanah, rua banggi bulanga bermakna air, tallu banggi bulanga ialah angin, patambanggi bulanga sama dengan api, dan di hitungan kelima, kembali lagi awal), hingga diperoleh tanggal yang dikehendaki, maka akan mudah bagi Anda melihat sifat diri.

Jika belum bisa menghitung bulan Mangkasara’, narasumber saya biasa melihat kalender. Jadi kalau di rumah ada kalender, dan di bawah tanggal Masehinya ada tulisan pon, wage, kliwon, legi, dst, itulah yang dimaksud. 1 pon berarti sibangngi bulanga, 2 wage bermakna rua bangngi bulanga, 3 wage sama dengan tallu bangngi bulanga, 4 kliwon berarti patambangngi bulanga, dan seterusnya. Anda bisa melacak tanggal lahir Anda, dan melihat sendiri sifat yang melekat, mencocokannya dengan filosofi dari appa’ wattu.

Orang yang hendak menikah dan ingin accini allo baji’, kata narasumber saya, akan ditelusuri terlebih dahulu tanggal lahirnya dan tanggal lahir calon pasangannya. Jika tanggal lahirnya menunjukkan sifat tanah, dan tanggal lahir pasangannya menunjukkan sifat api, maka tanggal pernikahan yang dipilih harusnya yang bisa mendamaikan keduanya, yaitu air. Karena hanya air yang mampu menyuburkan tanah, dan hanya air pula yang bisa memadamkan api. Hari angin akan dihindari karena angin sifatnya mengobarkan api, sedangkan api hanya akan membuat api semakin besar.

Dalam proses accini allo baji’ ini, misalnya sebagai contoh akan melaksanakan acara pernikahan. Maka tetua akan memulai accini (menerawang) hari apa saja yang dianggap baik dalam bulan ini dan beberapa bulan ke depan. Ketika telah mendapatkan hari yang dimaksud, kemudian dikaitkan dengan waktu-waktu baik dalam filosofi waktu Mangkasara’. Sehingga pada akhirnya ditemukan kesepakatan bahwa hari tersebut adalah hari yang baik untuk melaksanakan kegiatan, misalnya, acara baik dilaksanakan tanggal sekian bulan ini, itu adalah hari Minggu, waktu air, insyaallah dingin-dingin pa’maika (Juliati dkk, 2022).

Dalam konteks inilah, sebagian masyarakat meyakini bahwa semua hari adalah baik, tapi ada hari-hari tertentu yang dipandang jauh lebih baik dari yang baik. Nah, jika bisa ada opsi, tentu pilihan mestilah dijatuhkan pada yang lebih baik itu.

Saya meyakini betul, Tuhan telah mengatur semesta sedemikian rupa hingga  ia bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam. Manusia bukan satu-satunya faktor, bukan pula pusat semesta. Hingga mereka harus sering-sering menengadah ke atas, mengamati benda-benda langit sebagai penanda, lalu menafsirkan dan memaknainya, agar kita bisa hidup sebaik-sebaiknya di muka bumi. Seperti kata petitih, Tuhan selalu menyertaimu… kamu hanya perlu memperhatikan.

Sumber gambar: makyzz on Freepik


Comments

2 responses to “Accini Allo Baji’”

  1. Saya suka apa yang bapak tulis saya sepakat bahwa tidak ada hari yang tidak baik namun ada hari yang lebih baik.dan sesuai pakta hari yang dianggap lebih baik yang dipilih orang orang tertentu maka akan membawah dampak positif yang dapat menguntungkan dan dapat membawah keberkahan.

    1. Ikbal H Avatar

      Terima kasih, Pak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *