Ngaji Pedagogi: Jika Guru Berhenti Belajar, Murid Berhenti Bertumbuh

Hanya Guru yang Belajar, yang Berhak Mengajar. Saya ulang sekali lagi, dengan penekanan yang lebih dalam: hanya guru yang belajar, yang berhak untuk mengajar. Kalimat ini bukan sekadar slogan, bukan sekadar rangkaian kata yang enak didengar. Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang oleh siapa pun yang berani menyebut dirinya guru atau sebagai pendidik.

Banyak argumen yang susah dibantah. Kita hidup dalam zaman yang terus bergerak. Perubahan sosial, perubahan iklim, perubahan cara anak belajar, dan disrupsi di berbagai sektor—semuanya menuntut kita untuk menyesuaikan cara kita mendidik. Tidak mungkin kita mengajar anak-anak masa kini dengan cara yang sama seperti sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Karena itu, belajar pedagogi bukan pilihan, melainkan keharusan.

Pedagogi bukan sekadar metode mengajar. Ia adalah jantung pembelajaran—memahami bagaimana manusia belajar, bagaimana anak berkembang, bagaimana lingkungan membentuk pola pikir mereka. Guru yang tidak belajar pedagogi, ibarat nahkoda yang menolak membaca peta dan kompas. Bisa saja ia tetap berlayar, tapi ke mana arah tujuannya, siapa yang tahu?

Menyadari pentingnya keterampilan inti guru, di bulan Ramadan ini, Bidang Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng memfasilitasi kegiatan Ngaji Pedagogi. Sudah berlangsung dua pekan. Waktunya singkat, harapannya yang panjang. Sebuah ruang belajar yang tidak berjarak, di mana para guru bisa duduk bersama, berbagi pengalaman, dan mendengar dari mereka yang telah berhasil menerapkan prinsip utama pedagogi di kelas. Ini bukan forum yang hanya berisi teori-teori kering, tapi pertemuan yang berakar pada praktik nyata di sekolah.

Semua setuju. Kita sepakat dan tahu persis bahwa tidak ada anak yang sama. Setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang berbeda, dengan tantangan yang berbeda, dengan potensi yang berbeda. Satu metode yang berhasil di satu kelas, belum tentu berhasil di kelas lain. Satu pendekatan yang cocok untuk seorang murid, bisa jadi justru menghambat murid yang lain.
Inilah esensi pedagogi—memahami bahwa pendidikan bukan soal menyeragamkan, melainkan soal menyesuaikan.

Seorang guru yang baik tidak hanya datang ke kelas dengan rencana mengajar, tetapi juga dengan kesadaran bahwa ia sedang berhadapan dengan individu-individu yang unik. Mereka yang datang dengan latar belakang berbeda, cara berpikir yang berbeda, dan bahkan kesiapan belajar yang berbeda. Maka pilihannya adalah, mau beradaptasi atau tertinggal?

Ada satu hukum yang tidak bisa dihindari dalam dunia pendidikan: anak-anak selalu berubah lebih cepat daripada sistem yang mendidik mereka.  Dulu, kita mungkin bisa membayangkan kelas sebagai ruang yang seragam—semua murid duduk rapi, mendengar guru bicara, mencatat, menghafal, lalu diuji dengan soal yang sama. Tapi hari ini, dunia sudah berubah. Kawan-kawan guru, teknologi telah mengubah cara mereka belajar. Informasi begitu mudahnya diakses. Gawai bukan lagi sekadar hiburan, tapi juga sumber pengetahuan. Apalagi jika hanya mengandalkan isi kepala dan pengalaman kita sendiri? Jika guru tidak belajar, tidak beradaptasi, maka ia akan menjadi bagian dari sistem yang tertinggal. Dan lebih buruk lagi, ia akan kehilangan relevansi di hadapan murid-muridnya. Atau jauh lebih buruk, akan kehilangan marwah, martabat yang selama ini kita junjung setinggi-tingginya: guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Di sinilah Ngaji Pedagogi menjadi penting. Bukan hanya sebagai forum diskusi, tetapi juga sebagai pernyataan tegas bahwa menjadi guru adalah menjadi pembelajar seumur hidup. Karena sesungguhnya mengajar bukan sekadar menyampaikan, tapi menumbuhkan. Filsafat pendidikan sejak lama mengajarkan bahwa belajar bukan sekadar soal menyerap informasi, tapi soal tumbuh.

Cermatilah temuan Jean Piaget, yang berbicara tentang anak-anak mengalami perkembangan kognitif dalam tahap-tahap tertentu, bahwa setiap anak memiliki irama belajar yang unik. Bacalah Lev Vygotsky yang mengajarkan bahwa lingkungan sosial dan interaksi sangat menentukan bagaimana seorang anak belajar.
Refleksikan ulang Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, tetapi tentang membangun kesadaran dan pemahaman bersama.

Maka, guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi fasilitator pertumbuhan. Jika kita benar-benar memiliki keyakinan kuat bahwa pendidikan mesti berpihak pada murid. Berani menempatkan pembelajaran yang kontekstual sebagai inti pengajaran. Anak-anak harus belajar sesuatu yang relevan dengan hidup mereka. Jika berbicara soal ketahanan pangan, maka pendidikan pangan harus masuk dalam pembelajaran. Anak-anak tidak hanya diajarkan teori tentang pertanian, tetapi juga diajak untuk memahami bagaimana tanah bekerja, bagaimana pola cuaca memengaruhi panen, bagaimana sistem pangan berkelindan dengan ekonomi dan budaya lokal.

Jika berbicara tentang perubahan iklim, maka anak-anak harus diajak melihat bagaimana kehidupan mereka sehari-hari terhubung dengan kondisi bumi. Bagaimana kebiasaan sederhana seperti menghemat air dan mengurangi sampah plastik bisa berdampak besar dalam jangka panjang. Inilah pembelajaran yang mendalam, pembelajaran yang berakar pada realitas, bukan hanya soal mengejar nilai ujian.

Menjadi Guru yang Tumbuh Bersama Murid

Pada akhirnya, menjadi guru berarti terus tumbuh. Kita tidak bisa berharap anak-anak tumbuh menjadi individu yang kritis, adaptif, dan inovatif jika kita sendiri sebagai guru berhenti belajar. Kita tidak bisa menuntut murid untuk beradaptasi dengan zaman, sementara kita sendiri masih terjebak pada metode lama yang semakin usang. Ngaji Pedagogi ini bukan hanya sekadar agenda bulan Ramadan. Ia adalah pengingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang murid yang belajar, tetapi juga tentang guru yang tidak boleh berhenti belajar.
Jadi, jika ada satu hal yang perlu kita ingat hari ini, mungkin ini: Hanya guru yang belajar, yang berhak mengajar.

Kredit gambar: Kompas.Id


Comments

3 responses to “Ngaji Pedagogi: Jika Guru Berhenti Belajar, Murid Berhenti Bertumbuh”

  1. Nurkamilah Avatar
    Nurkamilah

    Tulisan Bapak selalu menginspirasi, menyemangati dan mengkritisi, enak dibaca, ringan tapi sarat makna. Terima kasih Guru.

    1. Usman Djabbar Avatar
      Usman Djabbar

      Terima kasih. Semoga bermanfaat

  2. Alfi Faridian Avatar
    Alfi Faridian

    Ditunggu tulisan yang lain, agar kami para guru senantiasa terbakar semangat untuk terus berkreasi, bwrinovasi mendampingi anak-anak bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *