Jejak Air Mata Leluhur

Atas nama buyut dan cicit nan luhur, ada yang semesta mempertautkan sekian puluh tahun sanak terpisah. Kini, sepertinya akan assiama kembali bagai sediakala. Para ayah, kakek kita masing-masing membangun silaturahmi yang kuat.

Kukutip dari sebuah laman, tentang mutiara dan air mata. Sebagai pembuka narasi sederhana ini, bahwa di dasar laut yang dalam, terdapat sebuah kisah yang menginspirasi tentang anak kerang yang menghadapi cobaan yang tak terduga. Ia merasa sakit dan terluka ketika sebutir pasir tajam masuk ke dalam tubuhnya yang merah dan lembek. Air mata pun jatuh, dan ia mengeluh pada ibunya.

Sang ibu, dengan air mata mengalir, berkata dengan lembut, “Anakku, Tuhan tidak memberikan tangan pada kita, bangsa kerang, untuk menolongmu. Namun, jangan menyerah pada cobaan ini. Ini adalah lorong transendental yang akan mengubahmu.”

Anak kerang merenung, terpikir oleh kata-kata bijak ibunya. Ia memutuskan untuk mengikuti nasihat ibunya, kendalikan emosinya, dan bertahan dalam kesulitan. Ia mengeluarkan getah perutnya untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang menggigit. Rasa sakit tak pernah hilang sepenuhnya, tapi ia terus berjuang.

Tidak harus menjadi mutiara. Cukup merekahkan kelopak bunga kehidupan. Bahwa hidup ini mengajari diri mengenali duri-duri dinamika kehidupan dan manusia. Hanya kerelaan, atau kepasrahan. Agar lebih kuat menelan, meski itu pahit dari segala “belo-belona lino” (dinamika hidup dan dunia).

Harapan setiap insan tidak sama. Semua punya naluri, hasrat, emosi yang menghiasi setiap jejak dengan segala risiko dan konsekuensi yang dihadapinya. Begitulah perjuangan seorang yang saya samarkan namanya: Naiwa.

Kali ini, harinya tidak seperti biasa, berjubel agenda pada rutinitas selain ibu rumah tangga, juga sebagai pengajar di sebuah sekolah dasar. Setelah usai denting waktu pulang ke rumah, jeda istirahatnya terbilang semenit kembali mengurusi sebuah TPA. Lelah belum pulih, kembali menafkahi jiwanya yang memang begitu kuat menopang.

Air mata itu jatuh di ujung kakinya. Tetapi nasihat ibunya menguatkannya. Lempengan jiwanya hampir rapuh, di tengah riuh tepukan dan ricuhnya manusia. “Kuatlah, jangan menyerah, sebab kau adalah pembuat sejarah,” pesan ibunya.

Bertahun-tahun berlalu, dan sesuatu yang luar biasa mulai terjadi. Di dalam dagingnya yang pernah luka, sebuah mutiara mulai terbentuk. Semakin lama, mutiara itu semakin besar dan mengkilap. Air mata yang pernah ia curahkan berubah menjadi berharga.

Kita telah memilih jalan itu. Tetaplah berjuang dan menjalani lorong transendental penderitaan, kita tidak hanya menghasilkan mutiara berharga dalam diri kita sendiri, tetapi kita juga menjadi inspirasi bagi orang lain.

Tibalah saat perjamuan rumpun dimulai, sekelabat awan menafkahi perjalanan kita, menyusuri lembah tebing, jalan licin, berkerikil, dan berlubang. Serra suara alam menyambut kedatangan cucu seorang yang dilupakan oleh sejarah. Ya, Ma’dunda. Sebuah nama yang memberi kami asupan nilai. Dari seorang anak bernama Pama’ dengan anak-anaknya, yang kini hendak menyusuri jejak leluhur.

Rumpun nan rimbun. Sanak saudara berteduh dalam kehangatan, kebahagiaan. Sekian puluh tahun baru bersua dan menginjakkan kakinya di tanah leluhurnya bernama Pa’bumbungang.

Hujan menerjemahkan isi perjamuan, tatkala serumpun duduk bersila menyusuri lorong waktu, mengurainya satu persatu hasil perburuan silsilah. Kusaksikan tiga orang berbeda generasi, antara purina (om) dan kamanakanga (ponakan) sibuk menyusun nama-nama dan bagan keluarga.

Dudung tampak serius mendengar seorang anak muda bernama Azhlan meruntut pencariannya selama ini. Dibantu oleh seorang perempuan yang juga keponakan dari Puspita Sari. Mereka menguatkan kita semua untuk silaturahmi keluarga ini, bukan sekadar arreja-reja (pesta) tapi di sini ada harapan, mimpi atas nama leluhur, yang sekian lama disembunyikan kebesarannya.

Kusaksikan mata Naiwa juga berkaca-kaca, saya tak hendak menegur. Ada keharuan tak bisa diucapkan. Di sebuah rumah Tata’ Saleng mereka accidong landang a’rapang-rapang. Dim ana sebelumnya kami singgah di rumah sanak bernama Rusli, sebagai bagian agenda hari itu.

Dari ruang tamu hingga mengambil posisi berjejer higga sampai ke lego-lego. Semua mengalir, tidak ada strata sosial, jabatan. Menjadi satu pasiamakkang (penyatuan rumpun keluarga).

Setelah sekian lama. Sedikit demi sedikit menemukan jejak leluhur. Sampai pada tingkat ketujuh, tapi bagi kami, Puspita, dan Azhlan berusaha tidak sampai ke sana dulu. Karena data kami masih minim. Cukup seorang kakek panutan kami bernama Pama’ bin Ma’dunda dulu sampai, nama misteri di atas seorang kakek yang sering disebut sama orang tua kami dulu bernama Serang.

Cukup sampai di situ, kami seakan tercegat sebuah catatan sejarah di sebuah literatur yang dituliskan oleh si pencatat dan pencatut pemenang kala itu. Atau mungkin saja buyut kami kalah telak dan mudah mengalah demi kemaslahatan.

Di antara pepohonan, rimbun dan suara alam. Makam tempat mukim terakhir buyut kami masih menyimpan aura dan kehebatannya. Itu menurut keyakinan kami saja sebagai keturunannya. Tanpa harus euforia meninggikan derajat dan cerita para kakek kami, om, tante, dan sepupu yang turun temurun diceritakan bagai kehebatan mereka masa dulu.

Antara 1903 menurut seorang Rafli dari Fakultas Sastra Daerah Universitas Hasanuddin. Saat sebuah temuan kami bertulis lontara yang mulai buram, kabur oleh tumpukan zaman dan lumut. Jejak nisan itulah kami merasa bahwa buyut kami bukan juga orang sekadar hadir di Bumi Bantaeng yang katanya sarat dongeng itu.

Ditambah pembacaan Azhlan. Sambil menerjemahkan dalam bahasa latin sebuah temuan tulisan lontaran “Bala/balla/ballang
Assalamualaikum iya ha la lo ku bu ru
Ma pa lu ta lu bu lang sa’bang A llo na sattu na lassu lu ma sa ka ja jo si ya ra”. Dan menemukan tahun tertera di tulisan lontaran tersebut dua versi antara 1753-1903
.” Dan sama seperti Rafli tahun 1903.

Apakah kita dikibuli, atau sengaja untuk menggeser cerita pada tikungan tajam sejarah? Agar hilang dan menjadi sisa kenangan “dongeng” buyut kami semata? Sampai akhirnya kami antara meyakini dan prediksi saja. Bahwa pada tulisan lontara bilang mungkin ada nama kakek-kakek kami tidak dimasukkan sebagai suatu pemangku adat. Entahlah!

Kami melanjutkan berziarah saja. Sambil menutur pada batin kami semua yang hadir, bermunajat keharibaan-Nya. Menghaturkan rasa terima kasih pada semesta, memberikan kami kesempatan dalam beberapa petunjuk, informasi, cerita jejak leluhur kami hari itu, 23 februari 2025 di antara penghujung Sya’ban. Makam itu kami temukan.

Rimbun daun dan buah kopi, serta jejak sejarah pabrik kopi zaman kompeni di pertigaan gerbang pintu Desa Pa’bumbungang. Salah satu sepupu yang kebetulan ikut boncengan seribu andai dan rapangna bertanya. Saya jawab sederhana, inikah jejak dari kita napak tilas jejak leluhur Daeng.

Ada banyak hal tak terduga, Daeng Naiwa’ dengan segala ruang waktunya menjalani proses selama ini. Kita berusaha semaksimal mungkin, meski kebenaran tak mutlak kita temui dan penuhi. “Begitulah proses Daeng,” jawabku singkat menyemangatinya.

Hidup adalah perjalanan dan petualangan. Jika stagnan hanya satu titik, maka kita masih punya titik yang lain. Hadapi setiap persoalan, maka kitalah pemenangnya walau kita sering mengalah untuk hal sepele. Hehe. Daeng Naiwa’ tersenyum mengusap air matanya.

Nalar kita gunakan untuk menakar, bukan asal saja tanpa dasar dan cocoklogi.

Perbincangan kami berlanjut di ruang chat dengan Puspita Sari, atau dengan Azhlan. Dan satu frekuensi, tanpa tendensi kita saling melengkapi setiap pencarian di setiap laman, beberapa buku sejarah Sulsel dan Bantaeng. Meski titik terang sedikit terkuak. Tapi kami belum menjadikan itu data konkrit.

Daeng Naiwa’ menyela kaki, setidaknya kita bangga dan haru atas usaha kita menyatukan keluarga, meski tak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap masa ada orangnya, Daeng. Setiap orang ada masanya. Jawaban itu menghapus jejak kecewa, atau rasa tak enak, dan beberapa pikiran berkecamuk.

Kita telah lampaui semua itu. Kita telah di sini. Ya, di tengah rumpun pa’gompoang parumpungang, sipammanakang ru sallo-sallona sisa’la wattu surang sikalerei padahal sikambanijaki di pa’bijanga. Se’re re cera’ dujului boheta, uwa’tta. Sanggenna mange ri angkaniakangi kakekta cucuna ia nikua Pama bin Ma’dunda, Ma’dunda bin Serang.

Hingga hari berikutnya, kami menemukan kembali titik terang, referensi yang sekian lama ada, namun kami baru tahu. Kami mendengar, menyimak dan menyibak tabir-tahur sekian lama ini.

Pindu Naping dan dilengkapi kata “Baa” oleh Om Rahman siang itu di kampung Kampala Kec. Eremerasa. Semakin kuat dan rasa haru kami. Bahwa benar bukan berarti pembenaran utuh. Tetapi ada jejak kisah, tutur bahkan kelongna kakek dari ayah kami, yang sempat Pindu Naping saksikan sendiri.

Dari perawakan, hingga syair dendang nyanyian kakek buyut kami “begini dendangnya:

bayang-bayangku ri je’ne
tontongangku ri carammeng
lio-liona
tallasa’ tena matea

teako mandang ri je’ne
anrannuang ri carammeng
lannya’ rasanya
tena tommo kacinikang.

Kami terdiam memasuki ruang waktu, tidak pernah menyangka Kakek Pama’ mampu menyusun kata, kalimat dalam syair yang kuat, sarat makna struktur bahasa.

Sebuah kekuatan,harapan, serta keresahannya terhadap keadaan kala itu. Ungkapan rasa getir dengan membuat syair nyanyian seperti itu.

Siang merambati, matahari meredakan suasana. Daeng Ahmad sebagai tetua kali ini menguatkan kami semua dan menjaga silaturahmi, menjadi tujuan bersama demi nama leluhur, dan segala budi luhur atas pengabdiannya semasa titah dan tahtanya.

Sumber gambar: bp.blogspot.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *