In Memorium Sang Penutur Tabe’ Bija

Pak Safar dan Pak Haris. Mereka berdua adalah nama yang tentunya tidak asing bagi semua insan pendidikan di Bantaeng atau mungkin masyarakat biasa yang ada di Bantaeng. Sayangnya, kedua nama ini sudah berjalan lebih dahulu dan pulang ke kampung abadi di sana.

Di tahun lalu Pak Safar berjalan lebih dulu. Tahun ini, Pak Haris lah yang ikut menyusul dan harus kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Kematian dari kedua orang ini menyisakan banyak memori baik tentang kebaikan mereka dalam tugas maupun bermasyarakat.

Kematian Pak Safar dihadiri ribuan pelayat, bahkan sejak kondisi kritisnya pun sudah mengundang ratusan orang dari Bantaeng memenuhi rumah sakit Bulukumba tiap harinya. Pun kemarin di kediaman Pak Haris di Tanetea. Saya melihat ribuan kendaraan telah terparkir mulai di belokan masuk Tanetea hingga menjelang Birea. Macetnya jangan ditanya lagi. Ketokohan seorang Haris memang serupa magnet, yang bahkan membuat semua sekolah libur sehari untuk mengantar kepergiannya.

Itulah mengapa, meskipun saya pribadi saat ini adalah seorang ASN yang bergerak di jabatan struktural, namun saya tetap mencari cara agar bisa tetap mengabdi menjadi guru/tentor di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun informal. Saya selalu takjub dengan berkah yang didapatkan para guru dalam hidup mereka, entah itu kehidupan sosial, keluarga, kesuksesan dan kelurusan anak-anaknya, bahkan hingga kematian mereka yang di banyak hal menggambarkan akhir yang baik. Anda boleh setuju atau tidak, namun pekerjaan dengan berkahnya yang selangit itu masih dipegang oleh para guru.

Pak Haris meskipun sudah bergerak di jajaran struktural sebagai kepala dinas, tidak pernah tercerabut dari akarnya sebagai seorang guru. Itulah mengapa selama menjadi kadis pendidikan, salah satu hal yang paling senang ia lakukan adalah berkunjung ke sekolah dan berinteraksi dengan murid dan guru di setiap sekolah.

Kesederhanaannya sebagai guru tidak pernah tergerus oleh kilau jabatan kadis yang diembannya. Semua orang yang pernah berinteraksi dengan Pak Haris tentu tahu betul betapa lentur tulang belakangnya untuk membungkuk pada setiap orang yang ditemuinya.
Saya sendiri malah kadang kikuk sendiri saat bertemu dengan beliau dan kami berjabat tangan. Saya sebagai sosok yang lebih muda dan juga bawahannya dalam jenjang jabatan, tentu saja akan menunduk takzim saat berjabat tangan dengan beliau. Yang jadi masalah, kadang menunduknya beliau jauh lebih rendah daripada yang saya lakukan. Bila saya menunduk sekitar 20 derajat, maka Pak Haris akan membalas itu dengan menunduk lebih dari 45 derajat.

Menunduknya beliau ini bukan saja dilakukan pada sesama pejabat atau stafnya seperti saya. Bahkan pada orang-orang yang baru ditemuinya, atau para guru honorer muda yang baru saja menjadi guru, hal serupa akan tetap ia lakukan. Menunduk dan membungkukkan badan dengan tangan menangkup di dada sembari berucap, “Iye terima kasih, Ndi”, atau “Pamit ka pale dulu, Dinda”
Selama 33 tahun menjadi manusia dan 10 tahun menjadi ASN, hanya seorang Pak Haris-lah satu-satunya pejabat yang gemar menunduk dan membungkukkan kepalanya kepada saya dan kepada semua orang tanpa memandang status dan jabatan.

*****
Kerendahan hati dan ketawaduan Pak Haris memang sangat membekas di hati saya. Karena meskipun baru saling mengenal selama kurang lebih 3 tahun, namun karena sering diajak beliau untuk menjadi pengamat komunikasinya, maka sedikit banyak saya sering menyelami isi hati atau mungkin mimpi-mimpi yang dia punya.

Maka dari itu saya sering bertanya, apa masih punya keinginan lain, Pak? Jabatan mungkin? Atau posisi lain? Beliau pun menjawab “Di sini saja sudah lebih dari cukup mi, Nak”. Saya lalu menanggapi, “Keinginan di luar urusan dinas iyya, Pak.” Ia lalu membenarkan posisi duduknya dan berkata, “Mauku tong itu jadi penulis, Ndi. Itumi kenapa saya sering menulis sajak di Facebook-ku”.

Gayung bersambut. Saya yang juga seorang penulis dan pegiat literasi menyambut pernyataannya itu dengan sebuah pikiran, “Kapan lagi bisa dapat kadis yang suka menulis.” Kalau selama ini kita bergerak di akar rumput, mencari bibit-bibit penulis dari kalangan masyarakat biasa, mahasiswa atau anak muda lainnya, sekarang malah 01 dunia pendidikan Bantaeng yang mau langsung jadi penulisnya. Saya lalu membayangkan akan sehebat apa efek yang akan ditimbulkannya pada ribuan guru yang ada di Bantaeng.

Maka mulailah kami menyusun ide-ide tulisan itu. Saya menawarkan agar buku yang dibuat bukanlah buku ala-ala pejabat yang biasanya hanya mengandalkan jasa ghost writer untuk menuliskan kisah si pejabat. Saya tetap meminta agar Pak Haris tetap menuliskan kisah hidupnya semenjak kecil hingga sekarang lewat beberapa catatan di HP-nya yang lalu dikirimkan pada saya melalui chat WhatsApp. Bukti pesan beliau yang berisi tulisan-tulisan kisah hidupnya itu masih tersimpan rapi di HP saya.

Selain menuliskan biografinya, saya juga menyarankan agar ada juga satu bab di dalam bukunya yang khusus menampilkan sajak-sajak Tabe’ Bija yang selama ini sering ia posting di Facebook-nya. Saat mengarsipkan semua sajak itu, total ada lebih dari 80-an sajak yang beliau sudah tulis sejak tahun 2018.

Terakhir, agar tetap melibatkan teman-teman pejabat internal dinas pendidikan dan para Kepsek agar juga ikut nimbrung menulis di buku Pak Haris, maka diberilah saya sebuah surat/catatan sakti berisi nama-nama yang telah beliau tunjuk agar juga ikut menuliskan kesan mereka tentang seorang Haris. Dalam catatan itu beliau menekankan, “Mohon agar menuliskan apa saja yang anda ketahui tentang Haris, bukan tentang Pak Kadis, yang sebenar-benar dan sejujur-jujurnya.”

Kami butuh waktu dua tahun hingga buku itu betul-betul bisa selesai di awal tahun 2024. Isi buku yang berisikan catatan tentang testimoni para Kepsek dan Kabid hanya butuh waktu sekitar dua bulan untuk dirampungkan. Bab buku tentang sajak juga hanya butuh sekitar 4 bulanan untuk diselesaikan. Bab biografi-lah yang paling sulit untuk dituntaskan, karena bab ini memang betul-betul “memaksa” Pak Haris untuk memutar kenangan jauh ke masa kecilnya untuk menuliskannya kembali ke dalam sebuah catatan sederhana.

Kami berdua bersepakat untuk menghasilkan konten tulisan biografi yang tidak datar dan cenderung mengglorifikasi tokoh yang dituliskan. Kami bersepakat untuk membuat biografi yang betul-betul menggambarkan seorang Haris apa adanya.

Dengan semua pemaksaan dan ketekunan Pak Haris jugalah, maka jadilah biografi beliau dalam buku Tabe’ Bija yang isinya renyah dan inspiratif. Dalam biografi itu diceritakan bagaimana seorang Haris Kecil menjadi joki balap kuda, bagaimana saat ia dihukum disundut rokok oleh bapaknya karena kedapatan merokok, bagaimana ia melintasi pematang sawah berbekal klewang demi menonton orkes di sebuah hajatan pernikahan, atau momen ketika Haris menjadi penjual bensin eceran bersama pamannya.

Selama penulisan buku ini, saya sempat pesimis bahwa rencana ini akan mangkrak ketika saya menerima isu bahwa beliau akan dimutasi. Saya takut semangatnya akan berkurang, karena tentu saja akan sedikit sulit menyebarkan buku ini pada para guru dan murid bila beliau bukan lagi sebagai kadis pendidikan. Didorong oleh isu tersebut, saya kembali mendatangi ruangannya dan menanyakan komitmennya untuk menyelesaikan buku tersebut terlepas apa pun hambatannya. Jawaban beliau sederhana saja, “Bahkan kiamat kurang sehari dinda, buku itu harus tetap kita selesaikan!” Kata-kata beliau ini kembali ia ulang saat isu mutasi itu akhirnya menjadi kenyataan. Saat acara perpisahan, di depan ruang rapat dinas, beliau lalu memeluk saya erat sambil berbisik “Tetap ki temanika selesaikan buku, Ndi’ nah.”

Berbekal semangat dan keikhlasan itu semua-lah, maka di awal tahun 2024, buku yang berjudul Tabe’ Bija itu akhirnya naik cetak. Namun, karena masih ragu dengan kualitasnya, maka kami memutuskan untuk mencetak puluhan eksemplar saja sambil mencari-cari bahan evaluasi di dalam bukunya. Pencetakan buku secara besar-besaran kami rencanakan dilaksanakan selepas beliau menunaikan ibadah haji atau paling lambat menjelang masa pensiunnya di tahun 2025 ini.

Kami punya niatan awal, bahwa mencetak buku ini secara besar-besaran bukanlah untuk mengejar keuntungan, karena toh buku ini memang kami niatkan akan disebar secara gratis ke semua perpustakaan sekolah dan desa yang ada di penjuru Kabupaten Bantaeng.

Pedihnya, mimpi kami itu urung terwujudkan. Buku itu belum sempat kami cetak besar-besaran dan Pak Haris sudah dipanggil pulang oleh Sang Mahacinta yang merindukannya.  Kami berdua begitu lugu dan selalu terbuai oleh kata nanti. Kami lupa, bahwa takdir kadang membawa kami pada mimpi-mimpi yang mungkin akan ikut mati.


Comments

2 responses to “In Memorium Sang Penutur Tabe’ Bija”

  1. Memang kelunturan tubuhnya yg sering mmbungkuk sbg tnda hormat bukan pd org tertentu sj, bahkan kepada kami pun yg seorang staf bahkan mgk tdk bgtu dekat, dan itu sering terjadi ketika bertemu beliau, pertemuan terkahir dgn beliau di depan lift Rumah Sakit, beliau mmberikan jln lbh dahulu kpd kami u/ masuk ke lift smntara lift masih muat u/ bbrp org, namun dgn sopannya beliau berkata,, duluanmaki ndi smbil mmbungkuk.. 🥺 husnul khotimah Pak. Haris 🤲

  2. Ratnawati R Avatar
    Ratnawati R

    Al Fatihah buat pa Kadis 🙏🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *