Senam Hebat, Inovasi yang Diikat

Ada rasa rindu yang samar setiap kali mendengar kata “senam”. Mungkin karena kenangan masa kecil yang bercampur aduk antara keseruan dan keterpaksaan.

Jumat pagi di sekolah dasar, suara peluit bapak guru membelah lapangan, menyuruh kami berbaris rapi. Gerakan kepala ke kiri, ke kanan, tangan berputar, melompat sambil menyebut angka dengan nada yang lebih mirip mantra daripada olahraga. Atau tatapan tajam ibu guru di barisan paling belakang untuk memastikan siapa yang hanya berdiri mematung. Tapi di balik kenangan itu, selalu ada bayangan beberapa teman yang diam-diam menyelinap ke balik pohon pisang, menghindar dari rutinitas seragam di Jumat pagi itu, atau sengaja terlambat datang karena lupa seragam olahraganya.  Bukan karena malas, tapi gerakan itu seringkali tak terasa milik kami. Toh, kami juga masih kelelahan, setelah memastikan kebugaran kerbau kami selepas subuh.

Maka, ketika Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah meluncurkan program Senam Anak Indonesia Hebat, nostalgia itu kembali menyapa. Ada rasa haru melihat upaya negara memprioritaskan kehebatan anak-anak dengan kembali menghidupkan semangat Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) dalam balutan yang lebih modern. Tapi di sisi lain, ada rasa heran: benarkah di tengah segala persoalan besar pendidikan kita, program ini adalah prioritas? Esensi senam, toh, bukan soal gerakan seragam. Bukan juga soal serempaknya lompatan atau sempurnanya putaran tangan. Esensi senam adalah kebugaran, kesehatan, dan kebahagiaan. Dan untuk mencapai itu, apa iya, program pertama yang diluncurkan serempak adalah senam nasional yang seragam di seluruh negeri?

Di era ini, dunia olahraga telah berevolusi. Anak-anak muda tak lagi hanya terikat pada senam konvensional. Mereka melompat di atas trampolin, bermain skateboard di jalan, atau mengikuti kelas zumba lewat video YouTube. Olahraga menjadi ekspresi kebebasan, bukan sekadar rutinitas yang dikemas dalam format baku. Tumbuhnya budaya olahraga pop di beberapa kota: sepeda, lari ataupun jalan kaki. Ironisnya, di tengah keberagaman ini, negara justru kembali menghadirkan pola lama: satu format  untuk semua anak. Apakah ini mencerminkan semangat zaman, atau hanya sebuah romantisasi masa lampau?

Lebih ironis lagi, di sudut-sudut negeri, justru lahir berbagai inovasi senam yang sebenarnya tak kalah menarik dan lebih relevan. Di sebuah sekolah pesisir, murid dan guru mencipta senam kekinian, TikTok, yang terinspirasi dari aktivitas para nelayan: menarik jala, memancing, mendayung perahu, menyelam, hingga memindahkan ikan hasil tangkapan. Di desa lain, ada senam yang mengadopsi gerakan tarian tradisional lokal, bagaimana menjaga bumi, tumbuh sebagai anak petani. Semua ini lahir dari kreativitas, dari kedekatan dengan kehidupan nyata anak-anak. Sebutlah kemerdekaan berkreasi. Kenapa bukan aktivitas ini yang menjadi prioritas? Bukankah Astacita Presiden Prabowo adalah menyiapkan generasi emas untuk 2045?.

Tapi, dengan hadirnya Senam Anak Indonesia Hebat, apa nasib semua inovasi satuan pendidikan kita? Bukankah pesan yang disampaikan program ini adalah bahwa gerakan yang hebat itu harus datang dari atas? Seakan-akan, kreativitas lokal tidak cukup hebat tanpa legitimasi negara. Untuk menghemat energi, saya berprasangka baik saja. Mungkin Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah membutuhkan momentum bergerak bersama-sama di penghujung tahun. Semacam kado tahun baru yang mungkin terinspirasi dari joget gemoy-gemoy itu.

Lebih jauh, mari kita tanyakan: apa yang sebenarnya hendak dicapai melalui program ini? Jika tujuannya adalah kebugaran, mengapa tidak memberi ruang bagi satuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal? Bukankah guru-guru PJOK adalah sosok yang paling memahami kebugaran murid-muridnya, paling tahu apa yang membuat mereka bergerak dengan sukacita? Dan jika alasannya adalah kebersamaan, apakah kebersamaan itu hanya bisa diraih melalui keseragaman? Mengapa tidak membangun program yang merayakan keberagaman, di mana sekolah-sekolah bisa berbagi inovasi senam mereka, saling belajar, saling menginspirasi, saling berbagi. Sekolah di daerah berdaya dengan kekuatan dan potensi lokal mereka masing-masing.

Di tengah tantangan besar pendidikan kita—kesenjangan kualitas, keterbatasan akses, pemerataan infrastruktur, hingga ancaman kualitas pembelajaran akibat pandemi—apakah program ini benar-benar mencerminkan prioritas? Atau ini hanya sebuah upaya mencari simpati publik melalui program yang tampak sederhana dan mudah dijual?

Tentu, kita tidak ingin menjadi orang tua yang hanya mengkritik tanpa memberi solusi. Program Senam Anak Indonesia Hebat mungkin punya niat baik. Tetapi niat baik itu perlu ditempatkan dalam konteks yang relevan. Jika tujuan akhirnya adalah membangun generasi yang sehat, mengapa tidak memperkuat pelatihan guru PJOK, memberi ruang inovasi kepada sekolah, dan menyediakan fasilitas olahraga yang memadai? Dan mungkin, pada akhirnya, kita perlu mengingat: anak-anak adalah generasi yang hidup di masa depan. Mereka bergerak tidak untuk mengikuti irama masa lalu, tetapi untuk menciptakan irama baru mereka sendiri. Jika kita memaksa mereka bergerak seragam, bukankah kita sedang mengajarkan bahwa menjadi hebat itu berarti harus mengikuti?

Ah, sudahlah. Sekali lagi energi kita perlu dihemat, apalagi dengan program PPN 12% itu. Mari berprasangka baik saja: semoga gerakan Senam Anak Indonesia Hebat tidak menjadi kenangan lain yang hanya mengisi nostalgia orang dewasa. Walaupun sesungguhnya kita butuh program yang membangun masa depan, bukan yang mengulang masa lampau. Pak Menteri pasti punya tujuan baik dan Tuhan pasti tahu itu. Wassalam.

Kredit gambar: Kemendiknas



Comments

9 responses to “Senam Hebat, Inovasi yang Diikat”

  1. Lydia Zenia Avatar
    Lydia Zenia

    Mantabbb… Luar biasa tulisan pak Usman. Kadang sayapun berpikir untuk menghemat tenaga mementingkan kesehatan diri baik secara Fisik dan Mental daripada harus berbuat sesuatu tapi akhirnya hanya sebagai bahan bakar orang lain.

    1. Usman Diabbar Avatar
      Usman Diabbar

      Terima kasih bu Lydia. Entah apa yg mereka pikir. Ternyata tema ‘mendengar’ yang disampaikan itu adalah mendengarkan cerita masa lampau. Setuju, hemat energi.

  2. Guru pojok kelas Avatar
    Guru pojok kelas

    Sebagai pembaca, saya menggarisbawahi satu kata penting; prioritas. Pertanyaannya, prioritas untuk apa? Kalau saya curiga, prioritas untuk minimal dianggap kerja.

    1. Usman Diabbar Avatar
      Usman Diabbar

      Hahahahah. Kado akhir tahun. Kemdikdasmen berhasil meluncurkan program nasionalisme.

    2. Ah, benar juga. Tapi mari kita berbaik sangka saja. Mungkin ini memang program yang dirancang bukan untuk sekedar dianggap bekerja. Tapi untuk menunjukkan gebrakan di 100 hari kerja pertama.

      1. Usman Djabbar Avatar
        Usman Djabbar

        Dan berhasil. Peringkat kementerian lumayan diatas, walau hanya kebijakan omon-omon

  3. Ikbal H Avatar

    Pak Menteri mungkin lupa, di akar rumput, di kelas-kelas, anak-anak bersama gurunya sudah bisa membuat senam mereka sendiri.

    1. Membuat anak-anak berani berinovasi dengan menciptakan gerakan ala mereka sendiri itu juga tidak mudah membangunnya, tp sudah kita lakukan, kalau yang gerakan ini saya rasa belum bisa mengalahkan senam jaman lampau yg saat ini masih relevan dipakai karena memiliki isi yang benar2 full learning dari banyak segi, semua aspek perkembangan masuk.
      Ini sekedar pendapat dari saya sebagai guru tk

    2. Usman Djabbar Avatar
      Usman Djabbar

      Itukah pak guru yang menjadi keresahan bersama. Sederhana saja sih menurutku, tingkatkan yang sudah baik, benahi yang belum sempurna, buat yang baru yang belum ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *