Sungguh, cita-cita Musyda Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulsel ke-XXIII di Maros sangat memabukkan. Itikad untuk menata organisasi, agar relevan dengan tantangan zaman kini, bak memberi harapan baru, bahwa IMM Sulsel bakal melahirkan kader unggul, yang siap berkontribusi bagi kemajuan peradaban, terlebih kita menyongsong era bonus demografi. Ya, anak muda bakal mendominasi pada tahun 2045, begitu bukan?
Tapi, hemat penulis, cita ideal mesti berangkat dari proses yang bagus. Karena mimpi ‘Menata’ adalah tema Musyda, maka agenda itu harus memperlihatkan proses yang layak, serta jauh dari proses-proses yang menyalahi etika serta tindak-tanduk kader yang tuna moral. Sialnya, mereka yang tuna moral justru mendominasi. Transaksi undertable masih menjadi ‘senjata andalan’ dalam memenuhi birahi politik kelompok.
Tak hanya saya, para musyawirin, khususnya peserta penuh, mengkritisi proses Musyda. Hilangnya rangkaian Pleno IV tentang Pemilihan dianggap memberangus hak demokrasi para peserta. Di lain sisi, Panlih Musyda pun cenderung melakukan pembiaran. Padahal, mereka semua memiliki rekam jejak kepemimpinan yang baik saat ber-DPD.
Ruang dialektika pun tampaknya telah disabotase. Hal itu terlihat saat salah seorang kader menyuarakan protes, tampak sejumlah oknum berteriak-teriak bak kerasukan. Mesti telah terbaca sebagai agenda setting, tindakan arogan itu menimbulkan banyak tanya. Siapa aktor kotor yang mendalangi agenda ini? Sebegitu payahnya kah para elite IMM di Sulsel kini? Kita semua masih bertanya-tanya.
Selain boroknya mekanisme penunjukan formatur, langkah itu juga memicu kekecewaan yang sangat dalam. Sebab, IMM Sulsel tak lagi transparan dan cenderung menyembunyikan rencana ‘jahat’.
Keran informasi pun tampaknya tertutup rapat. Para peserta penuh, yang notabene memiliki hak suara dan memilih, tak punya akses sama sekali untuk, setidaknya melakukan ‘penghalangan’ atau ‘blokade’ sebelum semuanya menjadi keputusan. Wajar jika kita bertanya, kemana perginya integritas para Panlih? Apakah sudah pudar karena tak lagi berstruktur?
Saat berbincang dengan beberapa kader, penilaian mereka terhadap prinsip demokratis dalam setiap Musyawarah IMM tampaknya menurun drastis. “Keputusan ini adalah awal merosotnya nilai-nilai demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi oleh organisasi,” kata dia kepada saya dengan nada kesal bercampur sedih.
Tapi apa mau dikata, yang mengambil keputusan justru para elite di tingkat cabang.
Hal yang paling aneh, menurut pengamatan saya, adalah momen baris-berbaris sejumlah Oknum Kader, tepat di belakang para formatur yang sudah ditetapkan tanpa mekanisme pemilihan. Seperti di film-film, para Oknum itu berdiri dan berorasi lantang bak pahlawan yang menyelamatkan Musyda IMM Sulsel. Tanpa sadar, mereka justru mereduksi nilai IMM. Sebab, keputusan mereka tidaklah merepresentasikan hak dan kewajiban peserta penuh Musyda IMM Sulsel ke-XXIII.
Apa pun tafsirnya, mereka tidak berdiri pada posisi yang benar, terlebih keputusan kolektif mereka tak berpihak kepada kader akar rumput (komisariat). Coba kita sederhanakan, para peserta penuh diberikan kewajiban membayar SWP dan SWO, serta perangkat aturan berupa (Tata Tertib) forum yang telah mereka sepakati pada Pleno pertama. Setelah menjalankan kewajiban, mereka berhak atas beberapa hal pada Forum Musyda, salah satunya adalah memilih, baik calon Ketua Umum, maupun Calon Formatur. Lalu, para Oknum berembuk, menganulir hak-hak peserta penuh, dengan dalih ‘representasi cabang’ masing-masing. Betapa jahatnya.
Saya tidak mendoakan kebaikan yang diraih dengan cara zalim, tapi saya tetap berharap IMM tetap eksis, dengan kader-kadernya yang menjunjung tinggi integritas, dan bebas dari dikte ‘aktor kotor’, sekalipun para pendikte adalah elite organisasi. Soal akan kemana IMM? Mari menundukkan kepala, hening cipta dimulai!

Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan.


Leave a Reply to thahir Cancel reply