Bila dikiaskan dalam bentuk percakapan, pada setiap menjelang ajang kontestasi kepemimpinan, Ibu Pertiwi seolah berpesan kepada penghuninya:
“Wahai orang-orang yang menjadi penghuniku, sesaat lagi orang-orang akan berlomba-lomba untuk mengisi kedudukan yang ada padaku. Saya tak punya daya untuk memilih dan menunjuknya secara langsung, tetapi saya berikan kesempatan kepadamu untuk menentukannya sendiri. Baik tidaknya diriku dan dirimu, tidak tergantung kepada diriku, tetapi tergantung dari dirimu sendiri. Tentukanlah sendiri sesuai kehendakmu.”
Kurang lebih demikianlah pengharapan negeri kita ketika hajatan memilih pemimpin negeri sudah di depan mata.
Pemilih pun dihidangkan beberapa figur untuk menjadi pilihan dalam menentukan pemimpin negerinya. Setiap orang datang dan memberikan keyakinan bahwa ia pantas untuk dipilih.
Ada yang datang dengan segudang ide, gagasan, dan cita-cita yang menjanjikan. Ada pula yang datang dengan modal kekerabatan, kedekatan emosional dan hubungan sosial. Bahkan, ada pula yang bertamu menawarkan diri dan/atau calonnya hanya dengan modal materi, benda atau souvenir tertentu.
Dalam kondisi seperti ini pemilih dihadapkan pada dua pilihan. Apakah ia akan memilih dengan menggunakan rasio atau memilih berdasarkan rasa.
Pemilih yang menjatuhkan pilihannya berdasarkan rasio inilah, yang kemudian disebut dengan pemilih cerdas. Pemilih yang dalam menentukan pilihannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan akal. Ia memilih pemimpin karena kapasitas, kecakapan dan kualitas yang melekat pada diri sang calon pemimpin.
Ia mencari tahu tentang bagaimana track record-nya. Ia menelaah apa prestasinya. Ia menganalisis apa visi, misi, dan program kerjanya. Ia sadar bahwa negerinya mesti dipimpin oleh orang yang mampu mengelola, meramu dan merancang negerinya ke masa depan yang lebih cerah. Dan itu hanya dimiliki jika pemimpinnya memiliki kualitas diri.
Pemilih yang mengedepankan rasio atau pemilih cerdas, merupakan pemilih yang tidak terpengaruh dengan iming-iming sesaat. Pandangannya jauh ke depan. Ia memandang bahwa negeri ini adalah masa depannya. Karenanya, ia tidak terpengaruh dengan pemberian dan transaksi sesaat yang sifatnya materi, di mana pemberian itu dalam satu, dua, tiga hari, ludes seketika.
Pemilih cerdas adalah pemilih yang harga suaranya tak ingin dinilai dengan rupiah. Bukan karena tak berharga. Tetapi karena tak ternilai. Ibaratnya, harga suaranya serupa harga dirinya.
Sementara pemilih yang mengedepankan rasa adalah pemilih yang mendasarkan pilihannya karena kedekatan emosional. Ia mengabaikan tentang kualitas diri sang calon. Baginya, kualitas diri sang calon, tak penting. track record, visi misi dan program sang calon, tak berefek baginya. Ia mengambil sikap sangat personal dan subjektif dalam memilih pemimpinnya.
Pemilih dalam kategori pemilih rasa, sebentuk pemilih yang pilihannya didasarkan pada beberapa motif. Pertama, motif hubungan kekerabatan. Motif ini didasarkan karena faktor keluarga. Ia memilih calon tertentu karena kedekatan keluarga. Dalam memilih pemimpin, ia mencari tahu tentang sejauh mana pertalian darahnya dengan calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Kedua,motif primordial. Pemilih dalam kategori ini adalah pemilih yang menjatuhkan pilihanyna berdasarkan keturunan. Sebelum memilih calon tertentu, ia mencari tahu terlebih dahulu dari keturunan mana ia berasal. Dari rahim mana ia lahir. Masih memandang tentang “aliran darahnya”, apakah berasal dari “darah biru” atau warna darah yang lain.
Ketiga, motif pertemanan. Motif ini didasarkan karena kedekatan hubungan pertemanan. ia memilih calon tertentu karena ia “sekelompok” dengannya. Karena adanya hubungan persahabatan. Ia berada dalam satu jalinan lingkaran perkawanan dan persahabatan.
Keempat,motif identitas. Motif ini mendasarkan pilihannya berdasarkan kesamaan suku, agama, dan ras. Sebelum memilih calon tertentu, ia mencari tahu calon yang akan dipilihnya berasal dari suku mana, agamanya apa, dan rasnya apa. Jika ia punya kesamaan, maka pilihanya dialamatkan kepadanya.
Kelima, motif balas jasa. Pemilih yang berada dalam kategori ini adalah pemilih yang mendasarkan pilihannya karena hendak membalas jasa dari calon yang akan dipilihnya. Awalnya, ada momen pada situasi-situasi tertentu, calon itu hadir dan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Lalu, ketika ia menjadi calon, maka saatnya pemilih itu membalas kebaikannya.
Keenam, motif ekonomi. Jika kelima jenis pemilih emosional di atas, masih mendasarkan pilihannya pada motif-motif yang sifatnya immaterial, maka pemilih pada motif ini lebih memilih calon tertentu karena pemenuhan terhadap kebutuhan perutnya. Baginya, siapa yang mengisi perutnya, maka pilihanya akan ditujukan kepadanya.
Pemilih yang masuk dalam kategori keenam inilah yang sangat mudah terpapar dengan money politic. Pilihannya selalu berdasarkan uang. Harga suaranya seharga dengan nilai rupiah yang ia terima. Baginya, memilih pemimpin itu ibarat transaksi di pasar. Uang adalah segalanya. Suaraku adalah uangku. Anda punya uang. Saya punya suara. Anda menginginkan suaraku, berikan uangmu kepadaku.
Pemilih dalam kategori ini, menjadikan setiap hajatan memilih pemimpin, sejenis hajatan melakukan transaksi antara uang dan suara.
Dari dua karakter pemilih di atas – pemilih rasio dan pemilih rasa – masih mendudukkan pemilih dalam dua warna, hitam dan putih. Jika tidak memakai rasio, maka ia menggunakan rasa. Jika ia tidak menggunakan rasa, maka ia memilih berdasarkan rasio.
Namun, pada prakteknya, terdapat irisan-irisan motif pemilih. Yaitu, terdapat dua karakter pemilih berikutnya, yaitu pemilih rasio, tetapi rasa. Dan pemilih rasa, tetapi rasio.
Maksudnya, pertama, pemilih rasio tetapi rasa, ia tahu dan sadar bahwa dalam menentukan pilihan pemimpin, idealnya harus berdasarkan kapasitas, track record dan visi, misi dan program dari setiap calon. Namun, ketika dihadapkan pada hal-hal yang sifatnya emosional, ia tak mampu menahan diri untuk menolaknya.
Kedua, pemilih rasa tetapi rasio, ia tahu dan sadar bahwa faktor emosional dalam memilih pemimpin, sesuatu yang selalu ada dan nyata adanya, tetapi ia menahan diri agar tidak terlibat di dalamnya. Faktor emosional bisa saja menjadi pewarna dalam menyalurkan hak pilih seseorang.
Namun, ia tidak mengabaikan faktor rasional dan tetap mengedepankan sikap cerdas, saat menentukan pilihan pemimpinnya. Jika calon pemimpinnya punya kedekatan emosional dengannya, tetapi sekaligus ia berkapasitas, itu sebuah keberuntungan baginya, untuk tidak menjatuhkan pilihannya kepada yang lain.
Sebagai pemilih, termasuk dalam kategori manakah Anda?
Kredit gambar: Kompas.com

Ketua KPU Bantaeng Periode 2018-2023


Leave a Reply