Hompimpa Alaium Gambreng

Kalimat Hompimpa Alaium Gambreng dalam bahasa Sansekerta memiliki arti, Dari Tuhan kembali ke Tuhan. Kalimat ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di awal abad ke-5.

Filosofi di balik kalimat Hompimpa Alaium Gambreng diyakini sebagai upaya leluhur, untuk mengajarkan anak-anak tentang mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan hompimpa sebagai bagian dari permainan anak-anak sudah menjadi semakin langka.

Cukup membawaku ke masa kanak. Meski baru tahu terlalu banyak tipu-tipu kala itu. Sama seperti keadaan sekarang. Ada pengakuan, sambil mencari celah di tengah dinamika. Polanya cukup mudah dikenali. Baik secara sosial, budaya dan politik.   Ada yang  tingko-tingko dan porlos (petak umpet), menjadi penjaga sekalian tumbal, lalu bertugas mencari, menjaga benteng.  Kadang ada yang curang, balik kanan pulang tidur nyenyak di rumah! Hompimpa adalah seru-seruan yang konyol.

Permainan dimulai. Ada bersekongkol, ada pula  penuh hati dongkol. Betapa hompimpa ini sekian lama  dibohongi. Bagai kompetisi, pertarungan terselubung.  Hem. Saat tikar dan karpet merah digelar barulah tahu, siapa seolah pendekar, dan  makelar. 

Hompimpa alaium gambreng secara bersamaan sambil mendekatkan tangan mereka. Setelah itu, setiap peserta akan membalikkan tangan, sehingga terlihat sisi telapak tangan yang berwarna putih,  atau bagian punggung telapak tangan. Lalu menentukan siapa menjadi penjaga dan siapa bersembunyi di antara semak, tembok tua, di bawah kolong jembatan,  atau balik ke rumah dengan pulas.  Di sinilah cara cerdik dan piawai dibutuhkan. Agak sedikit culas.

Hompimpa! Dengan  berkelompok, tetapi sifatnya adalah individual. Ada yang suka bersembunyi, ada yang korban menjaga situasi, ada yang  jekkong  (curang) cari aman, seperti  saat masalah hadir tetiba ngacir.

Selain itu, aturan untuk menentukan pemenang dalam permainan ini, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks permainan.  Rekayasa  digunakan sebagai  tim, peserta bisa melihat berapa banyak yang menunjukkan telapak tangan atau punggung tangan, untuk menentukan kelompok yang berbeda. Peran subjektif. Cukup kreatif tetapi berbahaya menaruh bom waktu, secara adaptif. Namun cukup reaktif membuyarkan kelompok dalam permainan

Sepertinya mirip pula  di kehidupan sekitar, Hompimpa alaium gambreng,  permainan dimulai siapa yang akan menjadi penjaga atau pencari. Siapa tumbal, siapa tameng, siapa yang mencari sebuah pengakuan lalu pura tidak tahu masalah. Atau berlindung di balik yang lebih dominan, untuk merasa nyaman dan bersenang-senang.

Demikian juga, dalam permainan ala  kucing dan tikus.  Mereka beradu, sesuai kepiawaian dan kecerdasan, sambil menentukan siapa yang akan menjadi kucing dan siapa yang akan menjadi tikus. Entah saya, kita, dia atau mereka menjadi apa di antara keduanya. Tetapi di era ini semua berbalik. Kucing dan tikus sepertinya sudah berdamai. Bahkan kucing garang  dan yang garong saja mulai takut sama tikus. Hem.

Hompimpa keluar dari jalur dan maknanya. Padahal sebuah filosofi yang menentukan jalan lebih indah dan bijak serta menuju kebajikan, tetapi hanya  karena ikut dan  hendak berkontemplasi, dengan kontestasi yang semakin merusak jiwa-jiwa altruis, yang sejak lama dirilis dan dirintis. Akhirnya hanya karena hujan gerimis  melupakan sebelanga. 

Hompimpa, beberapa  bersembunyi di balik tirai, di antara  topeng kepalsuan. Ada yang  akting  sebagai  “sebuah kejujuran pada situasi yang palsu.” Begitu membawa saya ke sebuah ranah permainan ini.   Yang tidak seperti kebiasaan, ekpestasi, serta kecanggungan, tetiba  cekukan kala kecerdasan dan kepintaran menjadi bablas,  hanya untuk ikut bermain dengan terpaksa bermain hompimpa.  Mengikuti ritme orang-orang sekitar. 

Saya  kemudian mennyelinap masuk di sebuah kerumunan, mencari suaka, dan pusat perhatian, sementara saya masih perlu jauh lebih belajar, mulai menghitung raraban, hingga membaca setiap tanda-tanda, lalu kutemukan diksi yang cukup seksi biar tidak terjungkal di tebing kata-kata.

Umumnya seperti itu, banyak kejadian, tidak harus menutup mata dan mengatupkan bibir seolah sariawan. Hehe.

Di sana, dan  ada juga di sini. Di dalam  kelompok, keluarga. Petaka di mulai saat permainan Hompimpa Alaium Gambreng tak lagi sesuai kesepakatan sekian lama bertaut, meraut, dan merawat. Tetiba  menjauh pergi melesap di tiupan dan tipuan angin senja,  tempat tujuan yang dulu diikrarkan.  Tersisa kenangan tersapu, terhapus seiring  kepentingan, cita dan mimpi menuju pelabuhan akhir telah musnah seketika.

Kemudian di celah sayup, di antara  gemuruh, saya teringat  kalimat seorang Benazir Buttho, “Saat yang paling indah dari sebuah kapal adalah ketika ditambatkan di dermaga, dia cantik sekali bermandikan cahaya, tapi jangan pernah lupa, bahwa kapal tidak pernah dibuat untuk ditambatkan di dermaga, kapal dibuat untuk menghajar gelombang membelah lautan.”  Bukan larut dan lalai  main Hompimpa.

Kembali bermain Hompimpa. Dengan mengubah strategi, menerapkan dari segala kemampuan yang mumpuni. Di tengah hamparan yang ikut larung, di ujung tombak kalimat terpetik di tengah gemuruh sebuah pemantik amarah.  Semua kompak Hompimpa lalu tak dinyana  terpental jauh  ke sudut kota. Daya pikat seketika luruh.

Tetiba seorang Umbu Landu Paranggi mengingatkan dan menyuguhiku pilihan. Saat menyaksikan permainan ini, “Pulanglah ke desa membangun esok hari, kembalilah ke huma sejati. Jika kelak  hal keberpihakkan tak lagi menjadi elok, hanya karena  main Hompimpa (petak umpet) atau berpihak pun, jangan terlena! Akan membuatmu kelimpungan kelak.  Maka sedetik saja lengah, kau akan  akan kehilangan  sedepah harapan yang membantaimu suatu saat hanya karena terbuai.  Seketika  kau berusaha lebur,  di antara mereka ada yang kabur.

Hompimpa Alaium gambreng, sembari menyimak setiap  reaksi dan rawai-rawai  manusia yang bersembunyi di balik pertarungan, seperti saya yang masih pengecut! Dari yang  bergumul, penuh riuh, sambil berusaha mencari perhatian, sementara  usai Hompimpa selepas siang,  tersisa hanya bekas cadas dan harapan yang juga telah sirna dibabat kisah heroik sebuah masa. Danu seketika menyaksikan setiap kejadian, peristiwa manusia dan beberapa kelimpungan dalam mengolah diri, mengasah nalar biar tidak merasa paling benar. 

Danu menyeka keringatnya,  menahan gejala dan gejolak seakan kembali dengan puberitas yang berusaha dia redam. Seperti biasa Danu kembali merenung jauh,  kala senja dengan  temarannya.  Dari segala kepalsuan membawanya ke sebuah ranah untuk menyikapi, merekayasa, meredakan, merelakan, sebagai keluhuran. Bukan mengalah apatah lagi menyerah. Hanya gerah meringsut di pikirannya.

Begitu adanya dinamika dan pola permainan yang itu-itu saja! Mubarak melerai gejolak Danu.  Yah. Ada sekadar memuja-muji senja. Lalu menbiarkan  seorang kehilangan senjanya yang ranum di balik bukit, di antara gelagat ombak mulai tak merasakan kesesuaian, dari musim yang tidak seperti biasa karena sebuah  anomali.

Permainan  Hompimpa kembali kusaksikan. Masih begitu saja. Latah dan ikut  ala kadarnya saja. Dengan  mengajak yang lain untuk bermain. Di lorong, di ujung aspal, di dinding medsos, di beranda rumah.  Benar dan salah, jujur dan berbohong susah dibedakan kini. Karena permainan  Hompimpa merasa menang. Terbawa aungan yang menipu! Meluap dan menangkup, seketkka tertelungkup mengutip kata yang tidak tertata.  Berujung petaka. 

Saya mulai sangsi, terhadap purnama yang cahayanya mulai menjauh di tengah gemuruh tindak tanduk, dari  yang merunduk lalu kemudian  menyeruduk. Yang cerdas menjadi culas. Bahkan merasa pakar mulai terbakar,  di antara tembikar tempat dulu duduk  bersila dengan dupa,  disertakan mantra-mantra agung.  Menjadi ritus ritual pengetahuan yang terpental, dan kembali menggugurkan secara mental. 

Setimpang itukah cara mereduksi permainan? Selalu merasa dominan di setiap permainan Hompimpa sekadar mencari tumbal, untuk menempati ruang pusaka, di balik sebuah suaka yang penuh kecendrungan untuk sebuah kuasa.

Tak saya duga, Argan seperti biasa nyelonong dari  arah brlakang,  menepis kepalaku dengan riang gembira meletakkan kedua tangannya di atas kepalaku yang begitu polos bin gundul.  “Hei botak,” tanpa beban dia mengulang-ulang, karena  menganggap saking akrabnya mungkin, tanpa  memilih diksi lain biar lebih tak kelihatan polos di usianya yang juga teramat  lugu. Dengan cengar-cengir dan tawanya lepas,  tanpa merasa bersalah.

Saya terdiam termangu tanpa harus menjawab bagai seorang yang culun.  Berlalu seberapa menit, lalu  kemudian Argan kembali kali ini saya mengira hendak mengulang kata sambil menepis seperti biasa kepalaku dengan gemasnya. Tetapi mengajakku bermain Hompimpa Alaium Gambreng lagi.

Kredit gambar: https://www.detik.com/


Comments

4 responses to “Hompimpa Alaium Gambreng”

  1. Tak menyangka hompimpa sekeren ini…. Mengalir lembut tapi menohok lambung begitu nyaman turut ke tenggorokan tapi mules setelah mendaratnya… semakin Nemu jatidiri bermain diksi begitu fasih penuh intuisi dan seksi….🙋

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Hem. Betapa interpretasi yang membuat saya semakin paranoid untuk terbang melayang, padahal kodratiku hanya tetap di darat. Hehehe.

      Makasih Kakak apresiasinya.

  2. Irmawati S Avatar

    Betapa menjadi teliti membacanya, berkali mengulang menelaah tiap kalimat. Penuh makna tapi meninggalkan rasa rindu pada permainan ini.

    1. Dion Syaif Avatar

      Makasih Kakak telah berkenan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *