Oligarki di Negeri Demokrasi

“Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suarannya waktu pemilu.” (Pidi Baiq)

Hari menjelang pendaftaran calon gubernur, walikota dan bupati, suara-suara dukungan makin nyaring terdengar. Suara itu datangnya dari para pendukung dan masyarakat. Mereka berharap, calon yang diusungnya memenuhi syarat dukungan, sesuai regulasi pemilu yang sedang berlaku.

Sebagaimana diketahui umun, salah-satu syarat pencalonan kepala daerah, apabila mendapat dukungan partai politik, dan dukungan masyarakat atau perseorangan. Pada kenyantaannya, mendapatkan dukungan partai atau perseorangan tidaklah mudah, seperti semudah membalik telapak tangan. Para bakal calon pengurus negara itu, dituntut berjibaku merebut restu ketua-ketua partai.

Sebegitu terjalnya memperoleh mandat partai politik, tidak sedikit bakal calon gubernur, walikota dan bupati gagal mencalonkan diri. Sudah menjadi rahasia umum, negeri yang merdeka 79 tahun lamanya ini, senyatanya belum terbebas dari praktik-praktik politik dagang sapi. Politik yang lebih mengedenpankan transaksional, tinimbang gagasan dan pengalaman.

Seorang politisi kawakan, mengungkapkan, modal gagasan, popularitas, tidak cukup menyakinkan atau mempegaruhi pemberian mandat kepada para calon pengurus negeri . Di balik itu ada transaksi politik yang dianggap lebih subtansial. Artinya, memberanikan diri menjadi calon pengurus negeri, sama halnya merelakan diri terpenjara secara politik.

Sungguh ironi, negeri yang menjunjung nilai demokrasi, sebagaimana layaknya, pemimpinnya lahir dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, nyatanya, tidak demikian. Lahirnya pemimpin merupakan hasil permufakatan oleh kaum elite partai dan penguasa

Di layar kaca, gegap gempita menyambut pesta demokrasi mengema di seantero negeri. Seiring itu, telah terjali permufakatan para elite partai dan penguasa untuk mengusung calol-calon pengurus negeri. Namun, di balik itu rakyat dibuat resah, risau dan gelisah. Bagaimana tidak, para petinggi partai tidak melihat, mendengar dan merasakan lagi  alam pikiran rakyatnya, yang sejatinya mengiginkan pemimpin dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kita sudah lihat, sebagian para calon pemimpin daerah telah melakukan selebrasi politik, semacam mendekrasikan kemenganan sebelum rakyat memberi mandat kekuasaan. Kata Anas Urbaningrum, Secara politik deklarasi hari ini, bukan deklarasi pencalonan, tetapi sudah pernyataan kemenangan. Permufakatan para elite partai dan penguasa tidak lagi menyediakan ruang politik bagi rakyat untuk memilih calon pemimpinnya, artinya, kedaulatan rakyat sedang dirampas oleh elite partai dan penguasa.

Rasa-rasanya, fenomena politik ini baru dirasakan akhir-akhir ini. Kedaulatan rakyat seakan diberedel atas nama keberlanjutan pembangunan. Sebenarnya, apa yang terjadi di balik peristiwa itu? Dalam sebuah tayangan podcast, Armin Mustamin Toputiri, seorang politisi senior, aktivis dan juga seniman, membeberkan, fenomena tersebut, merupakan dampak dari kebijakan pemilihan daerah serentak, sekaligus bersinggungan dengan politik presidensial, yang akan dilanjutkan oleh pemerintah mendatang.

Maka, tak heran jika seluruh faksi politik mulai tingkat pusat hingga daerah meski Bersatu padu, beriringan, menuruti kebijakan pemerintah yang berkuasa. Adapun konsekuensinya, secara politik rakyat akan dibatasi pilihan politiknya untuk memilih calon pemimpinnnya. Fenomena itu akan semakin jelas, jika nantinya di suatu daerah hanya terdapat calon tunggal kepala daerah dan kotak kosong.

Sejarah dunia monorehkan, beberapa peristiwa politik masa lalu yang berakhir koyak. Salah satu penyebabnya, penguasa yang kuat, tapi rakyatnya tidak patuh terhadap pemerintahnya. Akibatnya, rakyat marah dan berhasil menggulingkan peguasa yang kuat sekalipun. Itu berarti, sekuat apa pun penguasa suatu negeri, akan berakhir gagal, apabila tak mendapat dukungan kuat oleh rakyatnya.

Pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Apabila masyarakat tercerahkan, niscaya semesta akan mudahkan pemimpin yang baik pula. Kata Al-Farabi, negara yang baik, ialah negara dipimpin oleh seorang yang terlepas dari ketergantungan pada dunia. Syarat sosok pemimpin ideal, sudah seharusnya tidak lagi memikirkan kepentingan pribadinya dan kelompoknya. Dialah pemimpin yang menjadi pribadi suri teladan, dan dialah pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri.

Mencari pemimpin ideal di era demokrasi saat ini, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sering kita temukan, sosok yang dibanggakan sebelum menjadi pemimpin negeri, pada akhirnya terlena oleh kuasa yang sedang genggamnya. Terjebak dalam pusaran kekuasaan dibuat mabuk olehnya, ibarat seseorang yang mengomsumsi opium akan merasa ketagihan terus-menerus. Kekuasannya tak akan dilepaskannya, hingga mewariskan pada anak cucunya.

Manakalah kekuasaan telah menjadi candu, maka kekuatan rakyat dibutuhkan sebagai kontrol, agar kekuasaan itu tidak berujung pada kesewenang-wenangan. Tak pelak lagi, kita merasakan, mendengar dan melihat kesewenangan itu sedang dipertontonkan oleh penguasa negeri saat ini.

Salah-satu bentuk kesewenangan paling nyata, ialah membuat aturan perundang-undangan, tujuannya, tidak lain untuk melanggengkan kekuasaan. Aturan itu, dengan sengaja membatasi hak-hak rakyat menentukan sendiri pemimpinnya secara berdaulat. Penguasa yang menjelma semacam oligarki, dengan mudahnya menguasai hampir seluruh kekuatan politik di negeri ini, hingga menentukan calon-calon pemimpin seluruh daerah di Nusantara.

Karena tindakan kesewenang-wenangan penguasa itu, tidak berarti rakyat menjadi lemah tak berdaya. Barangkat akan disahkannya undang-undang pemilihan daerah (pilkada), eleman masyarakat dan mahasiswa turun melakukan protes besar-besaran di seluruh daerah. Aksi demostrasi kali ini, membangkitkan kembali kesadaran yang lama tidur. Kesadaran kritis masyarakat menjadi gerakan nasional melawan tindakan kesewenang-wenangan sang penguasa. Hanya butuh sehari, aksi serentak di seantero negeri, akhirnya mengagalkan semua rencana  para penguasa dan oligarki.

Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, ungkapan itu bukanlah isapan jempol. Peristiwa beberapa pekan lalu itu, mengingatkan banyak orang akan kilas balik peristiwa reformasi 1998. Meskipun momen dan pemicunya berbeda. Diyakini gerakan rakyat dan mahasiswa merupakan kekuatan tak terkalahkan, walaupun sekuat apa pun rezim yang berkuasa. Maka tak salah diktum, suara rakyat adalah suara Tuhan, sebab, rakyat tak memiliki penooang selain Allah Swt. 

Kredit gambar: zonasatunews.com

   


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *