Those Memories in Midnight

Mari kita mulai, eh..

Bisakah aku mencoba untuk memulainya lagi?

Bisakah kembali kumulai apa yang semsetinya menjadi asupan sehari-hariku, atau tentang kebiasaan-kebiasaan yang menjadi rutinitasku sehari-hari? Seperti memaknai sebuah lagu, menuliskan beberapa sajak indah yang tak melulu tentang drama cinta lalu terkungkung di sebuah bilik angan-angan, dihiasi jeruji besi berbentuk harapan. Mengenai rindu yang menikamku secara mendadak, bebas menjarah ke semua tempat persinggahan yang aku temui. Seakan semua bercerita tentang romantisisme kita dalam perbincangan.

Sudah lama aku tak seekspresif ini menulis, saat melakonis manusia normal perfeksionis.

Setelah yang terjadi, coba kureka ulang, tentang diriku menjalani hari tanpamu. Waktu terus berdetak, berbunyi detik, dan menghimpun semua yang tlah usai. Kau dan aku menjalani hari demi hari, hanya kenangan atau mimpi buruk yang sesekali menepuk pundak kita tuk melihat kebelakang, semua kisah-kisah pahit kita.

Naasnya, aku terperanjat hingga tak bernyawa, me-luluh lantak-kan kisah fantastis nan menawan kita. Hingga kembali aku memulai tulisan, menyusun huruf demi kata, dan demi kalimat. Checkmate. Tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri, kembali lagi kumulai menulis tentang dirimu, kembali lagi kumulai tuulisan tentang cinta.

Kita sangat romantis, memiliki rindu yang magis, tapi sangat tragis.

Bermula di hari Selasa, hari ke-2 aku menjadi murid pindahan, Laiknya Noblesse memandang daun terhelai oleh angin, juga ada debu terpedaya pikat di bibir lengkungmu. Kau datang membawa efek atau corak biasa saja, yang kutahu pasti adalah, seindah itu gerikmu mencuri pandangku. Sesampainya kau di hadapanku fenomena alam terjadi.

Baru kali ini ada yang menghulurkan tangannya mengajak berkenalan, ketusmu.

“Hai, Perkenalkan namaku Rani Arabelle,” sembari tersenyum tanpa berkata apa-apa.

“Qawi Hutsam Ghaitsa,” ceplosku yang melihat fenomena alam.

Aku yang terjebak dengan dinamika kehidupan, sama halnya sisyphus menanggung kutuk. Melewati problematika tak silih berganti, yah…

Begitulah prolog yang kau tuliskan dalam hidupku, di mana kau dan aku tak merangkai bahkan menambahkan embel-embel pada keadaan tuk saling mendekatkan diri, kita secara fitrah manusia mengalir begitu saja, saling berinteraksi. Santaknya cinta mendefinisikan sendiri bagaimana ia bekerja secara harfiah, bahkan kau dan aku tak saling mengetahui bahwa cinta telah membujuk keadaan, tanpa anak panah cupid yang menusuk, kita bisa saja saling memeluk.

Aku tak mengerti tentang cita-cita, ada banyak keluh kesah dalam hidupku. Aku menjejalinya tanpa harapan, sesaat kau hadir. Kita sesekali tertuang dalam perbincangan, sedikit pekat, tertawa manis, dan netral dalam perdebatan kehidupan. Memang benar adanya bahwa kita hebat dalam cerita masing-masing. Kau mulai bercita tentang ambisi, dan pencapaianmu.

Secara seksama kusimak, bukan hanya memakai indera pendengar atau imajinasi tuk melihat seindah apa mimpi, selalu aku terbawa suasana saat kau bercerita. Aku hanyut dalam simfoni yang kau lantunkan, singkatnya hatiku dijalari lantun indah suaramu.

Serasa aku telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang dulunya seekor ulat menjijikan.

Rani ingatkah dengan tutur katamu?

“Aku sangat menghargai sebuah proses, dengan begitu ia membentuk  pribadi ambisius.”

“Maksudmu?” jawabku.

“Proses sangat penting, kau harus mengembangkan diri dengan beberapa ambisi dan mimpi-mimpimu.”

Aku tak mengerti tentang mimpi, sedangkal pemahamanku mengenai ambisi adalah sebuah keinginan keras untuk mencapai sesuatu, dan aku tlah memiliki ambisi sekarang. Aku berkeinginan keras tuk berada di setiap prosesmu, pribadiku mungkin baru membangun mimpi. Tapi setiap masalah menghampirimu dalam mengejar mipi orang yang layak dengar keluh adalah diriku. Terkadang aku tak mengandalkan diri sendiri, tapi dalam hal ini yang paling percaya diri adalah aku sendiri.

Jikalau pun ada yang ingin memantaskan diri, tak ada kegentaran dalam anganku tuk minder. Aku bisa saja bersaing secara sehat dengan seribu lelaki yang berniat memilikimu. Tapi jika bukan aku yang ada dalam hatimu, artinya sekeras apa pun aku berjuang menahan malam agar pagi tak datang, kau tetap saja dibawa pergi.

Tapi aku memiliki satu kesalahan. Rani bagiku kau adalah sosok  yang terlahir dari surga, sedikit menggelikan kalimat ini. Apakah kau percaya satu senyuman berikan sepetik  makna. Kau tahu, aku telah mendengar banyak cerita bahkan menamati beberapa buku, satu hal yang sulit kuterima adalah, sedalam apa pun aku melamun tak ada definisi mengapa aku mencintaimu, sialnya lagi kukira dirikulah yang paling heroik dalam memahamimu, itu adalah kepercayaan diri tertinggi.

Percaya diri itu memang penting sih, tapi sadar diri itu lebih penting. Aku yang tersentuh auramu kini tak lagi membenci cermin, telah mengubah sudut pandang tentang kaca bahwa tak ada lagi musuhku dalam cermin. Sebab kita perlu lebih dari sekadar cermin untuk sadar diri. Ya, sadar diri, kukira hidupmu tak seperti aku yang menyedihkan ini.

Malam itu telepon masuk, setiap denting suara gawai kuresapi dengan nikmat, suatu kebahagiaan bagiku. Bedanya pertama kali kudengar suara dengan penuh emosi, amarah dan gretakan membuatku syok. Kau dapat kabar bahwa aku telah memakai barang narkotika.

Tak banyak yang kuingat, singkatnya Rani berkata

“Kau menyakiti badanmu, kau terbawa dengan kefanaan yang sesaat. Mabuk hanyalah ilusi. Kau pikir hanya dirimu yang mengalami broken home?”

Sehabis aku dioceh, dicacimaki olehnya, telepon tertutup, teman bernama Fadlur memberi sedikit informasi bahwa Rani juga seorang broken home sepertiku, bedanya dia tak sepertiku, terlahap akan kesesakan.

Terlepas dari beratnya problematika yang ada menghampiriku, dunia menggiringmu dan membawa sejuta harapan yang nyata, amarah besar dan teguran kecilmu mampu mengalihkan semuanya. Lewat sayang didampingi kenyamanan memberikanku sejuta makna.

Banyak cerita tentang aku dan dirimu, banyak juga aku ceritakan dirimu pada malam, di kala kau masih terlelap dalam tidurmu. Semua cinta dan kasih kupersembahkan, lewat nada setiap kunyanyikan sesaat sunyi. Keyakinanku menganggap setiap kau tegak berdiri untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ambisi yang kau bawa adalah suatu harapan untuk memecahkan nada indah. Setiap mata menatapmu berkata melihatmu seperti melihat firdaus.

Lima tahun berlalu. Kini kau dan aku menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi, meski memilih universitas dan jurusan berbeda. Tapi cinta yang kurasa masih terasa intens sampai dadaku terasa sakit, kita masih dekat, sayangnya tak memiliki tempat, sepertinya kita terlalu jauh untuk mendekat. Ya, tidak masuk akal jika aku mencintaimu lantas tak mengatakannya, meski balasannya membuatku sesak.

Ada begitu banyak kesalahan dalam diriku saat memperjuangkan cintaku, bagaimana tentang realisasi berakhir pedih musabab cinta memang tak ada daya kesampaian atau terbalas, namun ada satu kesalahan yang membawaku berujung maut, yaitu nafsu, kini rasa cintaku hangus terbakar, kobar apinya menjelma iblis. Suatu tindakan yang akan mecelakakanmu.

Seganas itu erotis menjatuhkan pertanyaan dan jawaban pada piringmu, tentang waktu-waktu kita, ratusan kesangsian, satu konsekuensi. Kusadari bahwa sesayang-sayangnya aku sangat disayangkan lagi apa yang telah kupraktikkan, hingga kini membekas bangsat di kepala. Kini kau telah pergi, membawa kesimpulan dan mematokku dalam rumus bahwa diriku hanyalah kesilafan yang fana.

Sebab kau telah mengenalku, maka bagaimanakah aku mestinya memulai, menceritakan kisah akhir hariku, bagaimanakah aku bisa menduga, apakah wangimu yang membuatku melantur, haruskah kubilang.

Aku telah pergi waktu senja melalui hikayat sempit, aku telah pergi menghisap asap kuning yang menggaruk moncongku. Oleh sepasang jemari yang mencapit risauku, mengambang terbawa bising angin, terhambur ketika pasir tersisir ombak, terdapat putri duyung bermahkotakan rumput laut.

Aku telah pergi menemui bibir pantai, melihat gadis seksi memakai bikini, menikmati senja, dihasut, diperkosa oleh Poseidon, berlanjut ke persidangan dewi Athena, gadis itu menangis terkutuk menjadi Medusa. Aku terlelap pada sore, dan malam. Oleh anganku di sini, jelma bayangmu dan aku.

Aku bukan nabi dan itu tidak penting, akankah berguna setelah seruput kopi, cakapan tengah malam, dan akankah berguna mengakhirinya oleh airmata atau senyum. Aku melihat moment kebesaranku mengerti setelah tangismu teraduk dalam pahit kopiku, singkatnya aku takut. Aku takut berbagai perbincangan di setiap pertanyaan yang tak mampu kubendung, meski aku memancak.

Aku takut bersuara pada yang bergumam, apakah berguna jika berkata; bukan itu yang kumau, kau meremas semua alam semesta menjadi sebuah bola, menggulirkan pada pertanyaan-pertanyaan, setelah pelukan, dan rok yang terjuntai pada permukaan lantai. Ini dan itu dan masih banyak lagi. Sungguh tak mungkin mengatakan apa yang aku maksudkan.

Aku bukan politisi, yang mendorong kemajuan, hati-hati dan teliti, penuh kalimat tinggi, dan sedikit dungu. Aku telah lama berdiam di bilik laut, putri duyung mengunggangi ombak berjalan pulang ke asalnya, juga kicau burung yang tak bernyanyi untukku. Hingga kau membangunkanku di kala napasku tercekik nafsu, hingga aku bangun, dan tersadar.

Aku pun tenggelam.

Maaf Rani, hanya sececunguk itu perkataan yang kulontarkan. Kini kau pergi setelah mengutuk diriku seperti Sisyphus menggelindingkan sebuah batu bulat ke bukit, melawan gravitasi dan jatuh kembali ke dasar, lalu kugelindingkan lagi. Lagi, dan lagi.

Setiap tengah malam, di antara ingatan kau melayang ke angkasa, Aku menantimu sebagai bintang jatuh di sini menunggu sampai menua oleh kobar rindu dan rasa bersalah yang merintik sebagai air mata, berharap menarik kutukan, walau sekali lagi kau  kukuh mengenang tubuh ini sebagai kesilapan yang fana.

Sumber gambar: shutterstock.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *