Selamat atau Celaka

Kata pertama untuk setiap orang yang dilantik dalam jabatan apa pun, adalah kata “Selamat”. Apa makna dari kata ucapan “selamat”? Tersirat bahwa salah satu maksud dari orang yang mengucapkannya kepada yang bersangkutan, orang yang dilantik itu, dapat selamat dari mara bahaya yang akan menimpanya, akibat dari adanya jabatan itu.

Karena itulah, ucapan refleks ataupun disengaja dengan niat kepada orang yang baru menduduki jabatan tertentu adalah ucapan “selamat”. Sungguh kata itu adalah doa.

Dengan adanya ucapan “selamat”, sebagai kebalikan dari kata “celaka”, mengandung makna, jabatan itu bisa membawa kepada “keselamatan” dan bisa membawa “kecelakaan”.

Ia bisa membawa kepada “keselamatan”, jika betul-betul ditunaikan dengan penuh dedikasi. Jabatan yang diembannya, menjadi pintu baginya sebagai lahan berbuat amal kebaikan. Ia sadar bahwa dengan amanah itu, saatnya mempersembahkan yang terbaik atas kepercayaan yang diterimanya. Ia tak ingin menyia-nyiakannya. Sebab, jabatan yang diraihnya, melalui proses banting tulang, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Ia menerima jabatan itu berkat perjuangan yang melelahkan. Korban harta, tenaga, pikiran, dan perasaan. Ia beranggapan bahwa alangkah sia-sianya, jika jabatan yang dilekatkan kepadanya itu, dilewatkan begitu saja tanpa kebaikan. Ia tak ingin, tetesan keringat dan pengorbanan yang tak mengenal lelah itu, berakhir dengan kesia-siaan.

Ia menempatkan dirinya saat dilantik, momen itu sebagai awal dari perjuangannya. Pelantikan baginya, bukan sebagai akhir dari perjuangan, tetapi awal untuk mengawali perjuangan berikutnya.

Jika kesadaran-kesadaran yang demikian tertanam dalam batin seseorang yang dilantik, maka atas izin Tuhan, ucapan “selamat” itu akan betul-betul merealitas dalam dirinya.

Sebaliknya, jika amanah yang dipercayakan itu, dianggapnya hanya sebatas “guyonan” hidup, tak lebih sebagai sebuah akhir dari perjuangannya, maka yang terjadi adalah pengkhianatan. Ia tak sadar, amanah itu karena titipan dan harapan dari orang yang mempercayainya, agar bisa memperjuangkan nasib dari orang yang ada di sekitarnya, berbagi manfaat dan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada orang banyak.

Jabatan baginya adalah motif keuntungan pribadi. Tak peduli dengan sumpah-janji saat ia dilantik. Ia memanfaatkan jabatan yang diembannya untuk kepentingan pribadi, memperkaya diri sendiri, membuat kebijakan yang tak berpihak kepada orang banyak. Kebijakannya, lebih karena pemenuhan hasrat pribadi. Dalam menjalankan tugas pokok, wewenang dan kewajibannya, ia tak peduli dengan hukum dan regulasi yang mengikatnya.

Digunakanlah segala cara – halal atau haram – untuk syahwat kuasa pribadinya, tak peduli dengan orang lain. Bahkan, yang terjadi adalah dengan “menyakitinya”. Ia lupa diri, bahwa keterpilihannya, karena dukungan dan supporting, dari orang yang ada di sekitarnya.

Jika ini terjadi, maka ia hanya menunggu waktu untuk “celaka”. Cepat atau lambat, kejatuhan akan menghampiri dan menimpanya. Jika bukan di dunia, kelak di akhirat (tetapi pada umumnya, perilaku demikian, di dunia pun, bisa langsung dirasakannya). Na’udzu billlaahi min dzaalik.

Karena itulah, jika ingin terhindar dari “kecelakaan” dan mendekat kepada “keselamatan”, tak sedikit orang yang menerima kata “selamat”, dari orang lain, berucap “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun”.

Kalimat ini, tidak melulu diucapkan ketika tertimpa musibah, tetapi ucapan ini sebentuk kesadaran diri bahwa apa pun yang diemban, amanah apa pun yang diterima, “Sesungguhnya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya”.

Makna tersiratnya, si penerima ucapan “selamat” sadar bahwa tak ada peristiwa tanpa adanya izin Tuhan. Termasuk keterpilihannya dalam jabatannya.

Ia sadar diri bahwa ada “dua tangan” yang terlibat ketika ia menerima jabatan tertentu, yaitu “campur tangan” yang ada dalam ranah manusia, ikhtiar. Dan “garis tangan” yang ada dalam wilayah Tuhan, takdir. Keduanya – baik “campur tangan” maupun “garis tangan” – hanya dapat mewujud atas izin dari Sang Penggenggam Kehidupan, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan mengucap kalimat, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun, terpatri dalam jiwanya, bahwa jabatan itu ada awalnya dan pasti ada akhirnya. Jika ia berawal dan berakhir, maka tidak ada yang abadi. Tidak ada pula yang perlu dipertahankan mati-matian. Semuanya pasti berlalu.

Karena semuanya pasti berakhir dan berlalu, maka saatnya untuk tidak melewatkannya begitu saja. Ia ingin, jabatan yang diembannya akan menjadikannya lebih dekat kepada rida Tuhan.

Bagaimana caranya agar ia lebih dekat kepada Tuhan? Amanah yang ada dipundaknya digunakannya untuk bersama, membela dan mengadvokasi orang-orang yang lemah, kaum mustadh’afin.

Kebijakan-kebijakannya berpihak kepada orang-orang yang membutuhkan. Orang-orang yang selama ini tidak punya akses untuk mendapatkan kesejahteraan.

Dalam batinnya, tertancap keyakinan, bahwa toh sekalipun ia selamat dalam pertanggungjawaban dunia, belum tentu ia selamat dari pertanggungjawaban kelak di hari kemudian. Karenanya, ia tak ingin sewenang-wenang. Ia tak ingin menzalimi orang lain. Ia pun tak ingin mendzalimi dirinya sendiri.

Ia tetap perhatian kepada orang yang memercayainya, sebagaimana perhatiannya sebelum ia berada dalam jabatan itu. Bahkan ia lebih dekat kepada mereka. Bukan semakin menjauh.

Lebih aktif mendengarkan keluh kesah dari mereka. Bukan semakin menghindar dan membatasi diri dan berpura-pura buta dan tuli. Ia tetap tak sungkan-sungkan untuk duduk bersama mereka.

Sekali lagi karena ia sadar bahwa semua yang menjadi “miliknya”, sejatinya bukan “miliknya”, tetapi titipan yang suatu saat, bisa datang dan hilang seketika.

Maka, kepada siapa pun yang menerima ucapan “selamat” dari segala penjuru mata angin, karena diletakkannnya amanah yang ada di pundaknya, jangan lupa untuk tetap bersyukur dan memuji Tuhan dan jangan lupa tetap sadar bahwa segala sesuatunya berasal dari Tuhan dan pada waktunya kembali kepada-Nya.

Jangankan yang diletakkan di pundaknya, bahkan dirinya pun akan kembali kepada-Nya, dan pada saatnya akan dimintai pertanggungjawaban.

Semoga setiap jabatan membawa kepada “keselamatan”. Tidak membawa kepada “kecelakaan”.

Selamat kepada setiap orang yang dilantik dengan jabatannya. Bersyukurlah dan saatnya mempersembahkan dedikasi terbaiknya.Wallahu A’lam.

Kredit gambar: radarselatan.fajar.co.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *