Kursi itu Milik Kami

Sebagai sebuah negeri yang menganut sistem demokrasi, di baliknya mengandung makna, bahwa dalam berbangsa dan bernegara, rakyatlah yang punya kuasa untuk mengatur hajat hidupnya sendiri. Dia adalah subjek dalam demokrasi, politik, dan proses pembangunan.

Dalam artian bahwa ia rakyat sekaligus pemimpin. Manakala dibahasakan lebih praktis, jika ia rakyat, sekaligus ia adalah presiden. Jika ia rakyat sekaligus ia adalah gubernur. Jika ia rakyat sekaligus ia adalah bupati. Jika ia rakyat sekaligus ia adalah anggota dewan.

Kurang lebih demikianlah peletakannya, bila demokrasi dimaknai sebagai “Kekuasaan ada di tangan rakyat”. Maksudnya, rakyat yang punya “kuasa”.

Nah, karena dalam dalam berbangsa dan bernegara yang demokratis, letak kuasa itu ada di tangan rakyat, maka kursi presiden, kursi gubernur, kursi bupati, dan kursi walikota, serta kursi anggota dewan, sejatinya rakyat sendirilah yang menduduki kursi-kursi itu.

Namun, jika semua rakyat (baca: masing-masing person) dalam waktu yang bersamaan ingin menjadi pemimpin, dalam waktu yang berbarengan ingin duduk di kursi presiden, gubernur, bupati dan anggota Dewan, itu adalah hal yang mustahil. Akan menimbulkan kekacauan. Menimbulkan kegaduhan dan konflik sosial. Toh, jumlahnya terbatas.

Pasalnya, kursi presiden hanya tersedia satu kursi dalam satu negara. Kursi gubernur hanya tersedia satu kursi dalam satu provinsi. Kursi bupati/walikota hanya tersedia satu kursi dalam satu kabupaten/kota. Kursi anggota dewan, baik di pusat, provinsi dan kabupaten/kota hanya tersedia beberapa kursi saja, sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya.

Artinya, kursi-kursi kepemimpinan yang tersedia itu, tidak sama jumlahnya dengan jumlah rakyat (person) yang ada dalam sebuah negeri atau wilayah.

Agar dalam mengisi kursi-kursi itu tidak terjadi kekacauan, maka sesama rakyat seolah berbisik, “Supaya kekacauan-kekacauan ini tidak terjadi, ada baiknya, kita buat perwakilan saja. Baik di eksekutif, maupun di legislative.” Maka, diaturlah proses untuk meraih kursi kepemimpinan itu, melalui proses musyawarah yang disebut dengan “voting”.

Pengibaratan sederhananya, untuk memilih ketua kelas di setiap sekolah, setiap penghuni kelas bermusyawarah untuk memilihnya. Untuk memilih ketua di organisasi, setiap anggotanya bermusyawarah untuk memilihnya. Demikian pula, untuk memilih pemimpin di negeri ini, setiap warganya melakukan musyawarah untuk memilhnya.

Maknanya, pemilu atau Pilkada adalah arena musyawarah besar warga, untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya, yang akan menakhodai dirinya dan sesama penghuni negeri.

Perwujudannya, untuk memilih wakil rakyat di eksekutif, digelarlah melalui pemilihan presiden dan wakil Presiden – sebagai pemimpin nasional. Dan, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota – sebagai pemimpin di tingkat lokal.

Sementara, untuk memilih wakil rakyat di legislatif, digelarlah pemilihan DPR RI, DPD RI, untuk tingkat nasional. Dan pemilihan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota, untuk di tingkat lokal.

Dengan demikian, ketika setiap pemilu atau Pilkada, kemudian rakyat berbondong-bondong datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya, memasuki bilik suara untuk mencoblos tanda gambar pada kertas suara yang tersedia, sebelum jemarinya bergerak untuk mencoblos gambar pilihannya itu, seolah sebelumnya ia berucap:

“Bismillah, wahai pemilik gambar yang akan saya coblos ini, kursi yang engkau idam-idamkan itu adalah milik kami, tetapi karena jumlahnya terbatas dan dari pada menimbulkan pertengkaran dan kekacauan di antara kami untuk memperbutkan kursi kami sendiri, maka melalui kertas suara ini, saya pilih engkau untuk mewakili kami dalam mengurus hajat hidup kami sehari-hari. Silahkan dudukilah kursi itu untuk mengurus kami.”

Kurang lebih, demikianlah seharusnya pikiran-pikiran yang terucap dari setiap person pemilih (rakyat) ketika hendak menyalurkan hak pilihnya.

Kesadaran-kesadaran seperti di atas, mesti tumbuh di setiap pemilih. Bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, betul-betul termaknai dan terpatri dalam pahaman dan kesadarannya. Rakyat atau pemilih tahu dan sadar, alasan apa ia memilih, untuk apa dia memilih, dan kepada siapa pilihan itu disalurkan.

Yang menjadi bencana adalah ketika rakyat tidak tahu, atau dia tahu tetapi belum sadar tentang kedudukan dan kedaulatannya sebagai pemilih. Ia hanya datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya, mengganggap hanyalah sekadar seremonial belaka yang dihelat setiap lima tahun sekali. Tak sadar bahwa kehadirannya di TPS yang hanya dalam durasi waktu tiga sampai lima menit itu, sangat memengaruhi nasib hajat hidupnya dalam durasi waktu lima tahun ke depannya.

Hal yang menambah tingkat keparahannya adalah pemimpin yang terpilih itu- baik di eksekutif maupun di legislatif – menganggap bahwa kursi yang didukinya adalah miliknya. Bukan milik rakyat yang dipinjamkan kepadanya. Abai bahwa kursi yang didudukinya merupakan barang pinjaman. Pinjaman yang suatu saat, pemiliknya bisa mengambilnya dan memindahkannya kepada peminat yang lain. Lupa bahwa ia adalah perwakilan warga yang dipercaya untuk mengelola, mengatur, dan mendistribusi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pemilik kursi itu.

Ala kulli hal, internalisasi kedaulatan rakyat mesti terus digaungkan. Kesadaran-kesadaran tentang posisi dan kehadiran pemilih dalam setiap hajatan demokrasi, perlu terus disuarakan. Hal ini untuk membuka hijab penghalang dalam pahaman pemilih, yang menganggap bahwa ia hanya lumbung suara yang siap “diperas” buat kepentingan pengincar-pengincar kursinya.

Kursi itu miliknya. Dan, ketika kursi itu ia hendak titipkan kepada orang lain, ia mesti menjamin terlebih dahulu, bahwa figur yang akan ia titipkan kursi kepadanya selama lima tahun adalah orang terpercaya. Orang yang menjaga “orisinalitas” kursinya. Tak hilang sandarannya, tak hilang tumpuan kakinya, tak hilang alas duduknya.

Orang yang akan ia titipkan kursi kepadanya adalah figur yang tak sering lupa diri. Figur yang tak pandai mengelabui pemilik kursinya. Sosok yang sadar diri kapan ia duduk dan kapan ia berdiri menyambut pemiliknya. Karena kursi itu milik rakyat, bukan milik pribadi atau sekelompok golongan kecil tertentu.

Kredit gambar: Kompas.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *