Kotak Kosong(?): Memotret Pilkada Sulsel 2024

Riuh pemilihan calon Gubernur Sulsel, akan dihelat November 2024. Manuver politik para politisi senior dan yunior, lalu lalang dalam pemberitaan media massa. Pun, dalam deretan alat peraga kampanye di jalanan dan media daring.

Bangga, sebagai orang Sulsel, melihat banyak figur calon gubernur yang muncul, siap berkompetisi. Senang selaku warga Sulsel, menyaksikan figur-figur calon gubernur siap tarung, adu gagasan guna membangun Sulsel. Pastilah kita bangga dan senang sesama putra daerah.

Namun, rasa bangga, euforia harus ditahan dulu. Sebab, serta merta isu kotak kosong merebak, memenuhi meja diskusi FGD para pengamat politik. Juga menjadi tren isu di warung-warung kopi.

Apa pasal?

Sebagian kelompok tidak bisa menerima isu “kotak kosong”. Kelompok ini berpandangan, jika terjadi kotak kosong, ini adalah pelemahan demokrasi. Demokrasi dikebiri oleh kelompok tertentu. Kelompok ini juga tersinggung, sebagai orang Sulsel merasa malu seakan Sulsel tak punya politisi handal, untuk layak menjadi gubernur.

“Masa cuma 1 orang yang bisa jadi gubernur di sini?” Begitu sebagian kelompok mengomentarinya. Harga dirinya terusik.

“Kita orang Sulsel dikenal gudang tokoh Indonesia Timur, lihat, ada JK, SYL, Nasruddin Umar, Baharuddin Lopa, Amran Sulaiman, dan lain-lain, masa sekarang cuma satu yang layak jadi gubernur?”

“Padahal banyaknya poster calon gubernur. Ada Aco, DP, Panglimata, Annar, Indah, Adnan, masa satuji yang jadi?”

Bahkan, saat saya menuliskan tulisan ini, perang spanduk sudah terjadi. Klaim dari komunitas tertentu menolak kotak kosong. Ada pula yang mulai menyerang personal kandidat. Itu wujud penolakan mereka terhadap wacana kotak kosong.

Entah dari mana muasal isu kotak kosong ini, yang jelas, tertuduhnya adalah pasangan yang sudah memenuhi syarat untuk maju di Pilgub Sulsel.

Apa sih “kotak kosong” itu?

Sejenak kita buka dulu literatur ilmiahnya. Istilah itu bukan sekadar kosongan tapi ada makna demokrasi di dalamnya.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, “kotak kosong” merujuk pada opsi dalam surat suara, disediakan ketika hanya ada satu pasangan calon (Paslon), yang berpartisipasi dalam pemilihan tersebut.

Kotak kosong memberikan pemilih alternatif untuk menolak satu-satunya calon yang ada, alih-alih memilihnya secara otomatis. Ini adalah mekanisme yang memungkinkan pemilih, untuk menyatakan ketidaksetujuan atau ketidakpuasan mereka terhadap calon tunggal yang tersedia.

Dalam rilis semua media, diberitakan bahwa pasangan A. Sudirman Sulaiman (ASS) sebagai calon Gubernur dan Fatmawati sebagai calon wakil gubernur, dengan partai pengusung Gerindra, Nasdem, Demokrat, sudah resmi memberikan kursinya ke pasangan ini. Dan inilah pasangan yang pertama mendapatkan kursi sebagai syarat mendaftar di KPU.

Untuk bersyarat sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, harus memiliki dukungan minimal 20% kursi dari jumlah kursi di parlemen provinsi.

DPRD Propinsi Sulsel memiliki 85 kursi, berarti pasangan calon harus mengantongi minimal 17 kursi, untuk bisa mendaftar ke KPU, sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mari kita lihat peta politik di Sulsel. Secara hitungan jumlah kursi, A. Sudirman Sulaiman dan Fatmawati, sudah bersyarat maju karena sudah mengantongi 36  kursi dari 85 kursi yang ada di DPRD Provinsi Sulsel, nyaris 50% kursi.

Jika Golkar ikut gabung di koalisi ini, berarti jumlah kursinya 50, wow melebihi 50%, dan disinyalir akan bergabung partai-partai lainnya. Manakala PKS, PAN, dan Hanura ikut bergabung (12 kursi), maka koalisi ASS masuk kategori  koalisi besar dengan dukungan  62 kursi dari 85 kursi.

Itulah asbab mengapa ada isu kotak kosong, karena diperkirakan tidak ada partai yang “berani” melawan arus besar ini.

Besar, bukan hanya karena koalisi partai politik pengusungnya, tapi konon besar juga sokongam finansial dari orang yang berada di belakang ASS.

Siapa? Saya tidak sedang ingin membahas itu.

Apakah “kotak kosong” dibenarkan dalam sistem pemilu kita?

Ketentuan tentang kotak kosong diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya dalam Pasal 54C, menyatakan bahwa, jika hanya terdapat satu Paslon yang lolos verifikasi, maka pemungutan suara tetap dilaksanakan dengan memberikan pilihan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal tersebut.

Kotak kosong dalam Pilkada merupakan mekanisme penting dalam demokrasi Indonesia, yang memungkinkan pemilih mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap calon tunggal. Dari perspektif teori demokrasi dan partisipasi politik, kotak kosong memberikan ruang bagi partisipasi warga yang lebih luas dan mendalam.

Meski demikian, keberhasilannya membawa implikasi penting bagi legitimasi dan kualitas kepemimpinan terpilih, serta dinamika politik lokal.

Belakangan merebak isu paket Danny Pomanto-Azhar Arsyad, dengan klaim dukungan kursi  PDIP (7 kursi) dan PKB (8 kursi). Dua partai ini sudah bersyarat untuk maju, jika PPP ikut memperkuat koalisi Danny, maka 23 kursi dukungan politik Danny. Artinya, skenario kotak kosong, gagal. Bisa head to head.

Sejatinya, banyak masyarakat yang juga menunggu Ilham Arif Sirajuddin (IAS), untuk kembali  bertarung di Pilgub kali ini. Tapi sepertinya distribusi kursi sudah habis, kecuali jika PPP,  PKS, PAN, dan Hanura, membuat poros sendiri dan mencari kandidat usungannya.

Kemungkinan formasi pasangan Pilgub head to head, hanya 2 pasang atau bisa 3 pasang, jangan sampai kotak kosong. Wallahu a’lam.

Kredit gambar: inikata.co.id


Comments

One response to “Kotak Kosong(?): Memotret Pilkada Sulsel 2024”

  1. Irfan tawakkal Avatar
    Irfan tawakkal

    Mantap bunda. Teruslah berjuang untuk rakyat.

Leave a Reply to Irfan tawakkal Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *