Menjelang dan beberapa hari setelah lebaran Iduladha, teramat banyak baliho dan spanduk ucapan selamat di seantero negeri. Termasuk di negeriku, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Khususnya, dari unsur pengurus negeri, hingga sejumlah tokoh agama dan masyarakat.
Salah seorang tokoh masyarakat, Ilham Azikin, Bupati Bantaeng Periode 2018-2023, tak ketinggalan menyapa masyarakat Bantaeng, lewat baliho di beberapa sudut kota dan pelosok Bantaeng. Terpatri di baliho, ungkapannya, “Memberi tidak akan mengurangi”, Selamat Hari Raya Idhul Adha 1445 H.
Maksim yang tertulis di baliho itu, “Memberi tidak akan mengurangi”, memancing ingatanku pada satu tulisanku di Koran Tempo, 23 Februari 2015, berjudul, “Memberilah dengan Sari Diri”. Artinya, esai tersebut, sudah kudedahkan sebelum Ilham Azikin menyata jadi Bupati Bantaeng. Esaiku itu, kemudian menjadi salah satu bagian dari bukuku, Pesona Sari Diri, terbit 2019.
Sebagai anak negeri yang sering wara-wiri di sudut-sudut Kota Bantaeng, meloka baliho Ilham, mengilhamiku untuk mengajukan sebentuk tanya, pemberian macam apa yang tak mengurangi?
Tak perlu aku bertemu dengan Ilham atau bertanya via japri. Apatah lagi, sejak Ilham berakhir masa jabatannya, aku tak pernah sua lagi. Meskipun aku tetap mengikuti medsosnya, terkait apa yang dilakukan. Padahal, sewaktu masih Bupati Bantaeng, aku acapkali jumpa dengan Ilham, baik di acara formal Pemda Bantaeng, maupun hajatan komunitas literasi.
Dilalah-nya, sekali waktu jelang siang, persisnya sekitar pukul 11.08, Kamis, 27 Juni 2024, japrinya masuk di ponselku, “AssalamualaikumWW”.
Langsung kusambar dengan jawaban, “Walaikum salam”, kusertakan emoticon senyum lebar.
Lalu dibalasnya lagi, “Tidak adami memang yg kalah nikmat Kak, pake sarung sambil baca buku diteras atas.” Tak ketinggalan emoticon-nya, senyum mekar di pipi.
“Temaiki dende” plus emoticon senyum lope-lope, balasku.
“Ijin lewat Kak”. Ilham menegaskan, tak lupa emoticon senyum sebagai bumbu.
“Ommale. Salamaki, barakallah selalu adanya.” Kukuatkan balasanku.
“Tkasih Kak.” Masih dengan emoticon senyum plus setangkup tangan.
Aku pun menuntaskannya dengan dua emoticon yang sama.
Rupanya, Ilham melintas di depan mukimku, sewaktu aku duduk di lego-lego, teras atas rumah panggung di sudut perempatan Bissampole, samping Bank Sampah Bersinar dan Madrasah Tsanawiyah Ma’arif Tumbelgani, Bantaeng.
Aku menduga, Ilham sepertinya melakukan kunjungan ke warga Bantaeng. Maklum, sudah menjadi rahasia umum, Ilham akan maju lagi mencalonkan diri selaku Bupati Bantaeng, periode 2024-2029. Dan, balihonya itu, mungkin salah satu penanda akan keseriusannya.
Nah, saya ingin kembali menghangatkan tanyaku terhadap maksim di baliho itu. Namun, sebelumnya, ingin kupahamkan dulu, mengapa kusebut maksim kata-kata itu. Sebab, maksim serupa dengan pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia.
Maksim, “Memberi tidak akan mengurangi”, apakah betul bila seseorang memberi sesuatu tidak terjadi kekurangan pada si pemberi? Kalau benar adanya, pemberian sejenis apa?
Guna menerangkan maksim tersebut, aku sajikan kembali petikan di esaiku. Kuajukanlah seorang sosiolog sekaliber Marcel Mauss, menulis satu buku bertitel, The Gift, Forms and Functions Exchange in Archaic Societies, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul, Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, YOI 1992.
Parsudi Suparlan, yang menerjemahkan sekaligus memberi pengantar, menegaskan maksud Marcel Mauss, pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala pemberian selalu dibarengi dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan.
Dengan demikian maka yang terjadi bukan hanya pemberian seseorang kepada orang lain, melainkan tukar-menukar, saling memberi dan mengimbangi. Artinya, pemberian itu sesungguhnya adalah transaksi antara si pemberi dan si penerima.
Lebih jauh Mauss menandaskan, bahwa suartu pemberian hadiah, sama dengan suatu pemberian mana atau sari kehidupan dari si pemberi kepada si penerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan, si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri.
Mauss makin menukik dalam penjelasannya, ada juga pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima, semisal sedekah. Jikalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak, sedekah serupa unsur dari sistem yang lebih luas, memperlihatkan adanya hubungan di antara si pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi.
Studi Mauss ini berlapik pada masyarakat kuno, tapi masih amat relevan dengan masyarakat modern. Pada konteks kemoderenan bermasyarakat inilah, relevansi dari maksim yang diajukan oleh Ilham via balihonya, menemukan bentuk mutakhirnya. Apatah lagi dikaitkan dengan momentum hari raya kurban, yang meminta pengorbanan.
Kurban sebagai model pengorbanan, merupakan bentuk pemberian, yang ditautkan pada laku dan lakon antara Nabi Ibrahim dan Ismail. Kisahnya, bagaimana seorang Ibrahim diminta oleh Tuhan agar mengurbankan milik paling dicintainya: Ismail.
Kedua sosok kekasih Tuhan itu, diminta berkorban lewat ritus berkurban. Meskipun pucuk dramanya, Ismail diganti dengan seekor binatang sembelihan. Drama spiritual ini, menarik bila dibingkai dengan minda dari seorang psikoanalisis dan filosof sosial, Erich Fromm, tentang dua modus eksistensi: To have or to be.
Melalui bukunya, To have or to be, diterjemahkan Memilki dan Menjadi, Fromm menabalkan minda, dalam kebudayaan modern dorongan manusia untuk memiliki segala sesuatu, sebanyak-banyaknya, merupakan semangat dan modus eksistensi yang telah diterima umum. Hasrat untuk memiliki menimbulkan suasana persaingan antar manusia.
Padahal, ada modus eksistensi lain, yakni menjadi. Modus ini mengarahkan manusia ke usaha aktualisasi potensi dirinya, tanpa dikuasai oleh apa yang dimilikinya. Modus menjadi, tidak memisahkan antara manusia satu dengan lainnya, tapi memandang saling bergantung. Semangat ini, menumbuhkan keserasian antar manusia.
Ibrahim berhasil dalam ujian Tuhan, bergerak dari to have ke to be, dari memiliki ke menjadi. Dan, maksim Ilham, “Memberi tidak akan mengurangi”, serupa ajakan mengaktualkan prilaku Ibrahim dan Ismail. Sekaligus mendefenitkan, sebentuk pemberian tertinggi, melibatkan dua pihak (Ibrahim-Ismail) plus pihak ketiga (Tuhan), sebagaimana dimaklumatkan Mauss sebagai pemberian tertinggi.
Memberi sepadan tindakan melepaskan diri dari kepemilikan, rasa memiliki. Sementara tak akan mengurangi selaras dengan capaian kualitas diri, telah menjadi manusia yang bebas dari hasrat kemelekatan. Jadi, benarlah adanya maksim di baliho itu, bila memberi tak akan mengurangi.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.


Leave a Reply