Sejak dulu dan siapa pun yang pernah mengenal saya boleh mengoreksi, jika saya tidak ingat. Bahwa saya orang yang jarang sekali marah. Di samping karena pembawaan (memang ada ya pembawaan seperti ini?) ditambah kemudian dengan bacaan buku-buku yang mendukung, akhirnya jadilah seperti saya yang sekarang ini.
Tingkatan paling tinggi sebagai bentuk kemarahan saya, biasanya adalah ngomong dengan seseorang (biasanya pasangan), tentang suatu hal yang menjengkelkan. Namun, untuk melampiaskan dengan kata-kata langsung orang kepada yang bersangkutan, melabrak, memaki, melempar, atau berbagai wujud kemarahan lainnya, alhamdulillah tidak pernah saya lakukan.
Pernah sekali dua peristiwa marah pada seseorang (lewat sms yang santun) tidak sampai dua hari saya sudah meminta maaf duluan. Prinsip saya adalah saya salah atau benar, saya yang harus memulai minta maaf. Karena rasanya sangat tidak nyaman jika mempunyai musuh. Dalam agama pun kita dilarang, untuk bermusuhan lebih dari tiga hari.
Bukan hanya dalam lisan, bahkan dalam tulisan pun saya benar-benar menjaga diri dari muatan-muatan permusuhan dengan seseorang atau pihak lain. Bukan takut bermasalah, tapi saya selalu percaya bahwa selama masih ada cara yang lebih santun untuk menyampaikannya, kenapa tidak menempuh cara tersebut?
Tulisan ini bukan untuk memuji diri, tapi ingin menggugah banyak orang yang sempat terjangkau, bahwa marah bukanlah solusi dalam menghadapi suatu masalah. Khususnya yang berhubungan dengan persoalan anak-anak.
Bila kita ingin menjadi bagian dari solusi, maka tak salah kiranya manakala kita turut mengambil peran dalam membentuk wajah generasi-generasi penerus kita, mulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga sendiri.
Jika kita berprofesi sebagai guru atau pengajar, maka keterampilan menahan marah ini bisa kita salurkan dan contohkan pada anak-anak didik kita.
Mengelola amarah adalah suatu bentuk kecerdasan. Cerdas bukan hanya pintar secara inteligensia, tetapi terlebih lagi secara emosi. Sudah banyak pembahasan tentang ini. Pembaca bisa merujuk pada buku-buku kecerdasan emosional yang banyak tersebar di mana-mana.
Sayangnya, meskipun secara teori kita paham betul tentang kecerdasan ini, namun dalam prakteknya sungguh sulit. Berulang kali saya sering sampaikan kepada teman-teman sesama orangtua, bahwa menahan amarah pada anak perlu latihan.
Awalnya sehari, setelah itu beberapa hari, lalu beranjak lagi menjadi beberapa minggu. Sehingga, pada akhirnya nanti kita akan menemukan sebuah pribadi yang berbeda, berhasil kita ciptakan dalam proses latihan tersebut.
Mengapa menjadi orangtua yang tidak suka marah itu penting? Saya teringat beberapa tahun lalu, ketika mengikuti sebuah pelatihan kepengasuhan. Sang trainer, Abah Ihsan, seorang penulis beberapa buku parenting, bertanya kepada audiens, siapa yang tidak pernah marah selama satu tahun?
Semuanya hening. Tak ada yang mengangkat tangan. Saya juga mulai mikir, apa hubungannya menjadi trainer dengan marah? Waktu itu beliau sementara membutuhkan beberapa tenaga trainer, untuk menjadi perwakilannya di beberapa kota.
Kemudian tawarannya diturunkan lagi. Siapa di antara hadirin (para orangtua) yang tidak pernah marah selama enam bulan terakhir? Saya mulai berani angkat tangan.
Waktu pertanyaan untuk satu tahun saya belum berani angkat tangan. Saya khawatir over estimated. Lebih baik mengambil yang jangkanya lebih pendek saja. Kalau tak salah ingat, saya satu-satunya yang angkat tangan di ruangan itu yang isinya lebih dari 200 peserta.
Saat istirahat ibu-ibu pada berkerumun dekat pintu masuk toilet. Sambil menunggu giliran, mereka bertanya, bu apa resepnya sih untuk bisa tidak marah?
Hehe……saya jawab singkat saja. “Tidak ada bu. Intinya marah itu menyita energi. Dan saya tidak mau membuang-buang energi percuma. Nanti bisa-bisa tambah capek…..”
Ada juga yang saya iseng jawab, “Saya tidak tahu marah bu…….(marah yang ngomel-ngomel maksudnya).
Menurut hasil pengamatan saya selama ini, seseorang menjadi mudah marah, karena menganggap itulah satu-satunya cara, untuk mendidik anak sekaligus campuran sebagai sarana penyaluran kekesalan atas masalah-masalah yang menimpa kita.
Marah pada anak kan tak ada perlawanan? Beda dengan marah pada orang dewasa. Sebagai solusinya, mari kita terus belajar berbagai metode mendidik dan membesarkan anak, dengan lebih sehat, dari yang pernah kita dapatkan dulu sewaktu kita kecil.
Jangan sampai anak-anak kita sekarang adalah hasil foto copy kita ketika kecil dulu. Karena menurut ilmu tentang otak, jika seseorang tidak punya referensi pengetahuan, tentang sesuatu yang lebih baik dari yang pernah ia dapatkan dulu, maka pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam bawah sadar tersebut, akan muncul menjelma menjadi pengetahuan yang otomatis. Lalu, akan kita jadikan contoh dalam menangani kasus yang serupa.
Kredit foto: https://schoolofparenting.id/

Konsultan Parenting. Telah menulis buku, Dari Rumah untuk Dunia (2013) dan Metamorfosis Ibu (2018)


Leave a Reply