Masyarakat Desa Pattaneteang, khususnya yang mendiami Dusun Bungeng, sangat mengenal adanya kuburan yang dikeramatkan, terletak di Kampung Batu Massong. Jaraknya, 5 kilometer dari kantor Desa Pattaneteang, Kabupaten Bantaeng.
Kuburan itu sering ramai dikunjungi untuk diziarahi oleh orang dari berbagai asal daerah, yang merasa memiliki keterkaitan dengan penghuni kuburan itu. Baik karena ada hubungan keturunan maupun karena hubungan mistik. Ada juga karena tinja’ (nazar), biasa mereka datang ziarah ke kuburan ini, sebelum dan sesudah mengelar hajatan, sesudah panen, sembuh dari sakit, selesai lebaran.
Peziarah akan difasilitasi oleh juru kunci. Juru kuncinya adalah salah satu keturunan dari penghuni kubur ini, yang menetap di Batu Massong. Secara turun-temurun diberi kepercayaan untuk itu.
Cerita mengenai penghuni kuburan tersebut, dikisahkan secara turun-termurun oleh kakek nenek masyarakat Desa Pattaneteang, termasuk ke saya, selaku putra Bungeng dan memiliki keterkaitan keturunan.
Penghuni kubur ini dengan berbagai mitosnya, dinamai dengan “Puang Karaeng”. Konon, dia memiliki kesaktian dan kemampuan jago bela diri. Bahkan, saat dikuburkan dia berpesan untuk diposisikan dalam keadaan berdiri dan dibekali dengan badik, untuk menantang malaikat Mungkar dan Nakir.
Penamaan Puang Karaeng pun punya cerita. Pada zaman dulu di Bantaeng tidak boleh ada dua karaeng, maka dia satukanlah dua gelar bangsawan, Puang dan Karaeng, menjadi “Puang Karaeng”. Lalu Siapa sebenarnya penghuni kuburan itu?
Bila ditelusuri, ternyata penghuni kuburan “Puang Karaeng” itu berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Kindang. Pemerintahan Kerajaan Kindang sendiri merupakan anak Kerajaan Gowa yang terbentuk sejak abad ke 17.
Tatkala Perjanjian Bungaya, salah seorang saudara tertua Sombayya ri Gowa (Karaengta Manangngi) kecewa dan tidak mau menerima hasil perjanjian tersebut. Sehingga memilih untuk pergi mencari daerah kekuasaan dan ditemukanlah Kindang, sekaligus sebagai raja pertama yang memerintah.
Adapun gelar para Raja Kindang sejak dulu adalah Karaeng Kindang. Kindang kemudian mejadi nama kampung, lalu dijadikan nama desa. Selanjutnya, menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupatan Bulukumba, berbatasan langsung dengan Desa Pattaneteang, Kabupaten Bantaeng.
Salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Kindang, Parappa Daeng Marewa, tercatat sebagai raja ke-4 dengan gelar Karaeng Cammoa. Pada masa pemerintahannya, terjadi perang antara Karaeng Tanete dan Karaeng Kindang.
Perang dua karaeng tersebut dikenal sebagai dengan perang Beba. Karaeng Tanete dan Karaeng Kindang merupakan sepupu satu kali, tapi karena kesalahpahaman masalah sawah di Lemponge, sekarang Hulo, Desa Sapo Bonto Kab. Bulukumba.
Akibat peperangan tersebut pasukan Karaeng Kindang dipukul mundur sampai Campaga, membuat benteng pertahanan, Benteng Campaga. Kini, menjadi Desa Tamaona Kab. Bulukumba. Setelah menelan ribuan korban, kuburan yang ada di Galung Lohe, Desa Tamaona, perang pun mulai surut, sehingga pasukan berhamburan ke Passimbungan, Desa Anrihua Kab.Bulukumba, sekarang (Tassimbung = Berhamburan). Karaeng Kindang bersembunyi di Cobbu (Sobbu = Sembunyi) dan akhirnya menuju sebelah barat di atas Gunung Senggang (Senggang = Sangge = Batas) dan tinggal di Na’na (Pina’na = mendengar Berita).
Usai perang, Karaeng Kindang (Parappa Daeng Marewa) berpindah-pindah tempat untuk memantau perkembangan politik, sampai kemudian dia menyeberang ke satu kampung bernama Batu Massong (sekarang wilayah Desa Pattaneteang Kec.Tompobulu, Bantaeng).
Di wilayah ini, Karaeng Kindang mempelopori pembuatan sawah baru di Bungeng. Sawah itu masih dimanfaatkan oleh masyarakat Bungeng. Namun, setelah selesai mencetak sawah beliau tidak memiliki benih untuk di tanam. Akhirnya, Karaeng Kindang meminta benih kepada Karaeng Bantaeng, sehingga Karaeng Bantaeng berkata, “Jangankan benih, untuk dimakan pun saya siapkan.”
Karaeng Kindang pun membawa 7 ekor kuda ke Bantaeng, guna mengangkut gabah. Setelah panen, maka datanglah Karaeng Bantaeng mengukur sawah tersebut, sehingga pajak buminya masuk ke Bantaeng dan sekarang sudah masuk wilayah Kab. Bantaeng.
Karaeng Kindang ke-4, (Parappa Dg. Marewa atau Kareang Cammoa, atau Puang Karaeng) pada akhirnya meninggal dunia di Batu Massong dan dikuburkan di sana. Sebagian besar penduduk Dusun Bungeng, bahkan Desa Pattaneteang, memiliki garis keturunan ke Karaeng Kindang ke-4 ini.
Desa Pattaneteang sendiri awalnya adalah salah satu dusun dari Desa Labbo. Pada Tahun 1988, Dusun Pattaneteang dimekarkan menjadi desa. Karaeng H. Pappa Mas, sebagai pelaksana tugas, dan telah dipimpin oleh 4 kepala desa.
Secara berurut, Karaeng H Pappa Mas (1988–1993), Bohari M (1993-1998 dan 1999-2004), Arsyad (2004-2009 dan 2009-2014), dan Lukman (2015–2021 dan 2021–2026).
Saat ini, Desa Pattaneteang telah menjelma menjadi desa yang berkembang sangat pesat. Beberapa penghargaan telah diterimanya, baik skala daerah maupun nasional. Secara administratif, Desa Pattaneteang berada dalam Kecamatan Tompobulu, Kab. Bantaeng.
Sumber pendapatan andalan masyarakatnya, yaitu cengkeh, kopi, padi, dan tire (porang). Pun, sederet obyek wisata yang dapat di kunjungi seperti Jembatan Pelangi, air terjun Bialo, bendungan PLTMH Batu Massong, hamparan sawah Allu, dan wisata pemandangan alam Daulu.
Desa Pattaneteang yang berada di sisi timur Pegunungan Lompobattang dengan ketinggian 650–1760 mdpl. Terletak di ujung selatan-timur Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya berjarak 8 km (garis lurus) dan menempuh 10 km perjalanan ke Banyorang, pusat Kecamatan Tompobulu. Adapun jarak ke Kota Bantaeng, sejauh 17.5 km. Biasanya, ditempuh selama 30 menit perjalanan darat.

Putra daerah Bungeng Desa Pattaneteang yang menetap di Desa Labbo. Kini, selaku penyuluh agama di KUA Kec. Tompobulu.


Leave a Reply