Menjelang pelaksanaan pemilu 2024, banyak kontroversi yang terjadi. Mulai dari dukungan penundaan pemilu oleh salah satu partai politik dan penolakan terhadap penundaan pemilu, karena dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan semangat reformasi, serta berpotensi kembali ke masa Orde Baru, manakala terjadi perpanjangan masa jabatan presiden. Atau sekadar hadir sebagai dramatikal bertipikal “genit bin nakal”. Ada upaya, dari setiap sektor dan aktor. Bagai bom waktu.
Sejuta pelor dengan aksi teror, mulai dari partai hingga pejabat, biroraksi, dan stake holder. Menimang dan menerima sebuah order (pesanan). Pesannya nyata dari realita demokrasi yang kehilangan pijakan. Jatuh terjatah oleh sebuah kepentingan pribadi, kelompok tertentu.
Di tengah gurun percakapan tentang pilpres/pemilu, liar mencari mangsa. Lalu kudapati seseorang di bbc.com. Di sana seorang bernama Ahsya dengan alih-alih menyambut antusias dan gembira, Ahsya justru makin cemas menjelang pencoblosan. Ia menghadapi paparan berita pemilu yang semakin besar dan perang opini antara pendukung capres-cawapres di media sosial.
“Sudah sumpek, dulu sempat ngomongin politik seru, tapi makin ke sini orang-orang makin agresif,” kata Ahsya yang sejauh itu hendak menentukan pilihan.
Ia melanjutkan bahwa selama masa kampanye pemilu berlangsung, lingkungan keluarga, dan lingkaran pertemanan Ahsya juga berubah. Topik pemilu selalu mewarnai setiap pembicaraan, terkadang ada saja yang memaksakan pilihan mereka pada Ahsya.
Lalu suasana seperti itu terjadi. Selepas hajatan pemilu (pilpres) yang menyita perhatian bertumpuk seluruh argumentasi. Para kontestan dan pendukung fanatik, menggunakan jurus delapan penjuru mata angin. Janji retorik dan organik. Semua terhampar manis. Paslon melahap secara bertahap, rebutan simpati dengan ujuk-ujuk empati.
Pendukung semakin aktif. Provokatif dengan segala cara. Kontestan balapan menghidang kesedepan lalapan, saling menghadang. Eksploitasi pencitraan. Main akrobatik dengan aktraktif. Detik terakhir pendukung kalah balik kiri dan tepuk jidat. Elite ambigu, rakyat menjadi lingu (bingung). Ada yang kolep dan kalap kalah bertaruh. Sindir menyindir, menyerang secara brutal dan total. Melampaui akal sehat. Hujan-hujanan hujatan.
Di Indonesia, situasi ini sudah bisa ditangkap melalui komentar emosional warganet di media sosial, atau tekanan untuk memilih capres-cawapres tertentu yang makin agresif di lingkungan sekitar. Dalam sejumlah kasus pendukung fanatik mudah tersulut emosinya, dan memicu pecahnya anak bangsa.
Betapa segala cara hingga progres menjelang dan sesudahnya, menjadi lahan pertengkaran berujung saling merundung. Pihak menang tegang di situasi senang. Yang kalah tidak hendak menyerah. Para pendukung ikut memicu menggiring secara psikis, sampai pada titik nadir. Kebablasan berpikir, akibatnya pilpres/pemilu bagai candu yang membunuh ilmu pengetahuan.
Sebagaimana istilah Election Stress Disorder, pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Steven Stosny, pada tahun 2016. Dalam kolomnya di The Washington Post, ia mengaku kewalahan dengan jumlah keluhan yang muncul selama pilpres Amerika Serikat pada saat itu.
Timbulnya rasa cemas, sedih, panik, dan juga marah, baik skala ringan atau berat, selama masa kampanye yang memecah belah antar warga.
Di warung kopi. Di sudut jalan, di teras-teras rumah, hingga di group-group WhatsApp, ramai membincangkannya. Silang pilihan, saling meneguhkan diri, seakan paling update lalu saling mendikte, minim referensi. Mencitrakan capres pilihannya. Beradu argumentasi.
Secara masif dan aktif. Setiap elemen sama-sama menjual kesedapan bagi permen dan main fragmen. Celoteh pendukung saling melempar alasan dengan dalil antara asli dan palsu. Hingga dalil aqli atau uang dekil. Semua punya argumentasi yang kuat untuk membela calon yang dipilihnya satu dengan yang lain. Itu sama-sama merasa cerdas pendapat, akan tetapi culas bin cadas.
Seiring waktu bersamaan, berkenaan dengan pileg (pemilihan legislatif) semakin menampuk dan menumbuk suasana psikis para caleg, pendukung. Dengan segala proses yang menambah stres beberapa calon legislatif. Jatah kursi hanya halusinasi. Sekian ratus peramplop raib. Seolah menjadi aib baginya, hingga spekulasi masyarakat memperparah secara mental dan pikiran yang berujung bisa saja drop masuk rawat inap. Siluman amplop mencatat kerugian, terselip dengan lantip menyusun agenda selanjutnya. Ada yang gagal, dengan wajah tebal menabal mengelus dada.
Begitulah demokrasi di negeri bernama Indonesia. Segala cara dan upaya diberdayakan, dengan penuh tipu daya. Sebuah candu dari sekian episode dan periode. Bagai mengurai benang kusut. Yang stres menjadi depresi kalah bertarung, pemenang tidak lantas duduk tenang. Curiga menghampar dari yang berstatus sosial dan pendidikan menengah ke atas. Hingga mereka yang awam. Ikut berperan mencoreng demokrasi itu sendiri.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa realitas politik menuju pilpres 2024, hari ini, masih sangat dijejali ucapan ataupun pernyataan nirgagasan. Kata Hasan Gony di halaman Kompas pada tema “Dinamika Politik dan Kontestasi Nirgagasan”.
Tentu sangat mengkhawatirkan, sebab sudah tinggal beberapa bulan lagi, rakyat masih disuguhkan gimmik serta dramtikal, tanpa makna substantif.
Sampai saat ini, rakyat Indonesia masih menunggu keputusan, gerangan siapa ketiga capres ini, mau berbuat apa untuk rakyat, bangsa, dan negara ini lima tahun ke depan, jika nanti terpilih menjadi presiden.
Kredit gambar: detik.com

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply