Energi Fusi Literasi Politik dan Politik Literasi

Hukum habits itu kembali bekerja dalam diri ini di ruang mewah ber-AC, tepatnya di forum pelaksanaan kegiatan Lauching dan Bedah Buku Merakit Literasi Politik dan Politik Literasi, yang sekaligus merupakan kegiataan perayaan Milad Boetta Ilmoe Rumah Pengetahuan yang ke-14 tahun, dan dipusatkan di Hotel Ahriani Bantaeng.

Salah satu anasir hukum habits (kebiasaan) adalah “Apa pun yang dibiasakan seringkali melahirkan intuisi atau sejenis percikan inspirasi.” Judul tulisan ini, “Energi Fusi Literasi Politik dan Politik Literasi” adalah hasil dari percikan tersebut.

Sejak kurang lebih tiga pekan yang lalu, buku Merakit Literasi Politik dan Politik Literasi karya Sri Rahmi yang akrab disapa Bunda Rahmi (penulis buku juga adalah seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang masih aktif) ini, saya menerimanya sebagai “kado literasi” dari Kak Sulhan Yusuf, selaku editor sekaligus paman dari penulis buku.

Sejak awal menerima buku ini, saya berniat untuk membuat satu tulisan sebagai bentuk apresiasi—bukan sekadar sebagai resensi buku. Namun, sebagaimana pelaksanaan lauching buku ini dengan berbagai pertimbangan sehingga barulah dilaksanakan.

Saya pun memandang bahwa hari ini adalah momentum yang tepat untuk memulai tulisan ini, apatah lagi judul yang inspiratif ini, barulah pula terbersit sebagai hasil dari proses algoritmik, selain sebagai hasil dari hukum habits.

Buku yang terbit melalui Liblitera Press bekerjasama Boetta Ilmoe, tahun 2023 dengan ketebalan 166 halaman (xviii + 148 hlm.) ini, sebenarnya bermuara pada dua hal yaitu “Literasi Politik” dan “Politik Literasi”.  Keduanya inilah yang dirakit—harus memang dirakit dan sebaiknya siapa pun ikut merakitnya—untuk mengonstruksi kesadaran literasi tinggi sebagai upaya menghidupkan kembali spirit yang dimiliki para founding fathers, sehingga mampu membawa bangsa ini, di balik keterbatasannya, melewati pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

Membaca judul buku karya Bunda Rahmi ini, saya teringat dengan dua hal inspiratif dan dahsyat dari buku karya Diana Whitney & Amanda Trosten-Blooom, The Power of Appreciative Inquiry (2007), yaitu “energi fusi” dan “hukum heliotropic”. Sehingga, secara filosofis antara “literasi politik” dan “politik literasi” sebaiknya bukan sekadar dipandang sebagaisesuatu yang dirakit dari aktivitas “merakit”.

Beyond, melampaui dari itu, keduanya adalah energi fusi.  David L. Cooperrider, Ph.D (Whitney & Bloom, 2007) menegaskan, fusi adalah sumber kekuatan bagi matahari dan bintang, yang dihasilkan ketika dua elemen bermuatan positif digabungkan menjadi satu. Saya pun memandang bahwa yang dimaknai sebagai (hasil) dari energi fusi ini, melampaui dari relasi, dinamika, dan interaksi dalam bingkai simbiosis mutualisme.

Literasi politik dan politik literasi bertemu, maka itulah energi fusi yang sangat dibutuhkan hari ini, di mana proses dan dinamika politik sedang dalam keadaan “brutal”. Begitu pun demokrasi oleh dan berdasarkan refleksi seratusan ilmuwan sosial politik, sampai pada kesimpulan “Demokrasi tanpa demos”.

Dalam konteks kehidupan publik secara umum, sebanyak apa pun persoalan yang dialami, saya bisa menyimpulkan, jika ingin menemukan satu kata kunci sebagai solusi, maka jawabannya adalah literasi. Sedangkan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam bingkai kehidupan dan sistem demokrasi, segala persoalan tentunya bisa terselesaikan dengan pendekatan literasi politik.

Ketika penguasa mempraktikkan satu model “berkuasa yang tidak benar”; politisi mempraktikkan politik kotor, tanpa kecuali politik uang dengan berbagai variannya; pemilih tidak cerdas dalam memilih dan tidak mampu mengkristalisasikan konsepsi kedaulatan rakyat dan derivasinya, pemilih berdaulat; maka sesugguhnya itu adalah wujud nyata dari lemah atau rendahnya literasi politik. Agar atmosfir kehidupan demokrasi Indonesia tidak menampakkan cuaca ekstreem seperti ini, maka syarat utamanya adalah literasi politik.

Senada dengan yang dijelaskan oleh Bunda Rahmi dengna baik dalam bukunya tersebut, maka literasi politik akan mampu melahirkan satu model “berkuasa dengan benar”. Akan mampu melahirkan para politisi yang tidak berputus asa dan tetap sabar mempertahankan idealismenya yang sudah lama diperjuangkan melalui ruang-ruang perkaderan dan dinamika aktivisme yang sarat dengan ideologi perjuangan, untuk tidak terjerumus dalam lembah “kebrutalan politik” yang ikut merusak tatanan politik dan demokrasi.

Literasi politik akan mampu membangun nalar kebangsaan agar the love of power (cinta kekuasaan) tidak mendominasi, sehingga nilai-nilai Pancasila pun sulit untuk tumbuh subur. Literasi politik akan memperkuat kesadaran warga, masyarakat, rakyat bahwa kedaulatan itu berada di tangannya.

Indonesia yang diandaikan sebagai kapal-kebangsaan adalah miliknya dan menjalani hidup di dalamnya. Kesadaran terakhir ini, tentunya warga atau masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah pemilih tidak akan serta-merta menggadaikan dirinya, menyerahkan kendali kapalnya, melepaskan masa depannya, hanya dengan transaksi politik uang, yang jika disadari dan dikalkulasi harga dirinyanya lebih murah ketimbang sebiji permen relaxa.  

Literasi politik akan mampu pula memberikan titik terang tentang seperti apa yang dimaknai pula sebagai korupsi demokrasi atau prinsip demokrasi yang dikorupsi. Yudi Latif mengutip pandangan Montesquieu “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstreem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”

Sebagaimana pandangan dan kekhawatiran Montesquieu di atas, hari ini terjadi di mana-mana. Banyak yang hanya bermodalkan uang, dan kekuasaan orang tua atau keluarga yang berada di belakangnya, sehingga merasa pantas menjadi pemimpin.

Melalui literasi politik yang matang, hal yang seperti ini tidak akan terjadi, jika ada yang merasa pantas merasa jadi pemimpin, tetapi hanya mengandalkan hal-hal material-pragmatis, maka kesadaran politik masyarakat yang tinggi, tentunya tidak akan memberikan ruang kepada mereka untuk melenggang ke singgasana politik yang pada ujung bisa disinyalir akan mempraktikkan model “berkuasa yang tidak benar”.

Literasi politik bisa dimaknai sebagai satu energi atau satu elemen yang bermuatan positif. Hanya saja dalam konteks kehidupan bangsa dan negara Indonesia hari ini, hal tersebut belum berjalan terlaksana dengan baik.

Literasi, tanpa kecuali literasi politik, masih harus terus diperjuangkan, karena berdasarkan data statistik tingkat kesadaran, itu masih sangat rendah. Untuk memperkuat hal tersebut, dan pandangan ini salah satunya bisa dipahami dari buku Bunda Rahmi, maka harus ditunjang dengan politik literasi.

Literasi, tanpa kecuali literasi politik seharusnya menjadi perhatian serius, berada dalam ruang kesadaran dan kebijakan para pemangku kebijakan. Literasi dan literasi politik harus dipandang secara ideologis dan konstitusional sebagai bagian dari upaya “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang telah menjadi cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari kesadaran ideologis dan konstitusional tersebut, diterjemahkan secara operasional melalui ruang kebijakan menjadi program dan kegiatan strategis, yang tidak hanya berhenti sampai pada target realisasi program dan anggaran, melainkan diupayakan kelak menjadi budaya atau habitus yang memengaruhi sikap dan perilaku atau singkatnya memengaruhi nalar dari elit sampai akar rumput.

Jika ini terjadi, terwujud atau terlaksana maka di sinilah salah satu indikator kematangan dan kesuksesan dari politik literasi, akan memperkuat literasi politik tanpa kecuali yang digerakkan oleh warga atau masyarakat secara sukarela sebagai bentuk kesadaran, tanggungjawab, dan “perlawanan batiniah”-nya melawan berbagai ketimpangan, problematika, dan kebrutalan yang terjadi.

Kebahagiaan bertemu kebahagiaan, kebaikan bertemu kebaikan, positif bertemu positif, literasi politik bertemu politik literasi, maka inilah yang dimaknai energi fusi yang dahsyat sebagaimana pandangan Coorperrider. Sebagai energi fusi maka kita pun harus memanfaatkan pandangan dari Whitney & Bloom tentang hukum heliotropic.

Hukum heliotropic menggambarkan bahwa tumbuhan, orang-orang, dan organisasi apa pun akan bertumbuh dan berkembang dengan baik ketika mengarah ke sumber cahaya atau sumber energi. Energi fusi di atas, literasi politik dan politik literasi, adalah sumber energi yang sangat dahsyat dan seharusnya kita sebagai anak bangsa yang ingin atau memiliki harapan untuk perbaikan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik, maka kita semua harus ikut terus merakit keduanya.


Comments

One response to “Energi Fusi Literasi Politik dan Politik Literasi”

  1. Karya kakanda telah membuka jendela baru bagi saya untuk berpikir, dan hal itu melahirkan pertanyaan di benak saya yaitu:

    Bagaimana memberikan dasar kesadaran kepada pemuda yang “bodo amat” Dengan kondisi bangsa dan negeri nya?

    Pertanyaan ini yang kemudian telah memantik keingintahuan dan semangat belajar saya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *