Salah siapa, dan dosa siapa kata seseorang pada ustas di sebuah ruang diskusi. Ustas bingung jawab apa. Akhirnya dalil terhampar, tetapi terasa hambar. Demokrasi terkapar di tengah belantara perjalanan politik, dari lorong hingga ke pinggir jalan. Dari hulu ke hilir menenteng alasan, ini atas nama sedekah dan bukan sogok. Pemberi amplop berlalu tanpa permisi, cengar-cengir misi telah berjalan.
Minimnya tawaran gagasan. Jalan lain ditempuh. dan selipkan amplop adalah cara yang ampuh. Sepertinya cukup jitu. Salah satu kreativitas minus kualitas. Demi dukungan suara, caleg tunggang langgang menjadi tukang pencari dan sapu suara.
Di ruang lain bagai petarung bebas, adu rayu dengan kompilasi, janji dan transaksi. Banyak amplop bersebaran. Transaksi di depan mata. Kita diam dengan segala kepengecutan. Masyarakat menuai panen di musim pesta politik sekali dalam lima tahun, kapan lagi. Adakah caleg? Seseorang berteriak di ujung lorong. Bersahutan, riuh menawarkan pilihan sesuai dengan harga.
Akhirnya lebur demi asap dapur dari kultur, lingkungan masyarakat, telah terbiasa dan menjadi sindrom akut. Meskipun para kontestan jauh dari ekpestasi dan prestasi. Antara survei dan manuver apik setiap konstestan politik. Sebuah implikasi telah berjalan dengan intimidasi, membangun narasi dengan mantra visi-misi penuh manipulasi.
Salah siapa? Pertanyaan itu lagi. Pembiaran, kebiasaan! Atau entah apalah namanya. Ini realita, melata hingga depan mata. Tatkala hukum dikulum, saat etik berubah “trik/taktik”. Nurani telah tergadai. Tanpa peduli strata sosial dan pendidikan. Semua larung terkepung dalam sebuah tempurung yang sama.
Demokrasi yang kebablasan. Tersisa hanya serpihan integritas, dijamah oleh para elit. Seperti kata seorang peneliti LIPI, Siti Zuhro, para elitlah yang beperan mundurnya sebuah nilai demokrasi. Dengan demikian para kontestan ini kehilangan identitas dan kualitas untuk menjadi seorang pemimpin dan wakil rakyat.
Di tema yang sama pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tony Rosyid, menambahkan, pembagian amplop untuk “serangan fajar” merupakan penyakit sejak dulu. Saya kemudian berimajinasi. Namun, terlanjur nasi menjadi bubur. Demokrasi di tepi jurang. Seraya membawa kita sebatas berhalusinasi untuk sebuah upaya tipu daya kesejahteraan dan penuh janji-janji manis.
Teringat judul film perjuangan tahun delapan puluahan “Serangan Fajar”. Apakah itu peristiwa di antara fajar dan pagi, para pejuang bertarung demi harga diri bangsa. Di situasi ini para siluman menyelinap menukar receh pilihan, berjuang demi elit, tetapi mengibuli masyarakat. Masyarakat ikut alur, rezki nomplok katanya. Datang tak diundang pergi tak diantar. Mereka tidak peduli nurani dan harga diri terjual murah hanya sehari. Sementara para siluman amplop berlalu, misi telah terlaksana.
Demokrasi belum terkonsolidasi yang ciri-cirinya, saya kutip di laman detikNews. Bahwa demokrasi bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama, ada penegakan hukum berjalan baik, pengadilan yang independen, pemilu yang adil dan kompetitil, serta civil society yang kuat, hingga terpenuhinya hak-hak sipil ekonomi, dan budaya warga negara.
Sementara budaya hanya hadir sebagai ruang populis yang pragmatis. Padahal di sana ada tatanan kemanusiaan, ideologi, integrasi sosial, pengetahuan, imajinasi, ide, dan hamparan solusi. Dalil agama menggema, tetapi sama saja. Elit dan masyarakat pula sudah menjalin kontrak romantisme politik, nego, tawar menawar harga tancap gas.
Begitu rawan, serta krusial. Sebab absennya masyarakat sipil yang kritis. Kalaupun ada itu juga sepertinya hanya segelintir. Atau buruknya kaderisasi partai politik tanpa melihat kualitas kader. Ditambah masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban (kesadaran etik/diri) masyarakat, masalah pelanggaran berlalu di hadapan kita semua. Ini persoalan dan permasalahan yang sudah basi di masa lalu.
Sambil menikmati suasana tenang dengan secangkir kopi. Berharap esok yang menang senang, yang kalah tetap tenang. Sesekali mengingat, perjalanan demokrasi bangsa besar ini, dalam sebuah perjalanan panjang sejarahnya dengan tiga peristiwa orde. Menghiasi parade peradaban permasalahannya. Kelak mampu keluar dalam krisis demokrasi dan krisis sosial. Bangkit menuju capaian cita dan mimpi bersama, sebagai negara berkemajuan bersaing dengan negara lainnya. Bukan antipati, saling mengurai kritik berbau hujatan, tetapi menawarkan solusi bukan ilusi.
Kopi sore kali ini sisa setengah, beberapa seduhan dan seruput saya hampir luput. Kecemasan tetiba hadir. Apa yang harus diceritakan dalam jejak demokrasi pada generasi, yang kelak akan melanjutkan, jika proses awal demokrasi secarut marut ini?

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply