Ahad, 16 November 2025 di Gedung MULO, Makassar. Langit tampak bersih dan cerah, sejak pagi-siang, setelah sepekan terakhir hujan deras mengguyur Kota Makassar.
Semesta mendukung kata orang. Karena akan membincang sesosok tokoh wanita agung dalam sejarah. Kegiatan yang berlangsung pada hari itu, bisa berjalan lancar tanpa terkendala cuaca. Meski sebenarnya semua juga tahu, kalau saat ini sudah masuk musim penghujan. Tidak heran akan sering turun hujan. Kita perlu menyiapkan diri, untuk mengantisipasi situasi tersebut.
Satu demi satu peserta mulai berdatangan, berbaur dengan panitia yang sudah hadir satu jam sebelum waktu yang tercantum di pengumuman. Mereka sibuk memasang backdrop di atas panggung. Tampak artistik memenuhi seluruh area permukaan dinding.
Berbeda dengan acara-acara serupa lainnya, di mana judul kegiatan beserta foto pembicara yang biasanya terpasang di spanduk latar belakang. Kali ini hanya tulisan Arab Fatimah Az-Zahra yang terpampang jelas, dikelilingi ornamen-ornamen di sekitarnya.
Menurut Endi, penanggung jawab kegiatan dari Komunitas Mafatihul Jinan, sengaja formatnya seperti itu, guna menunjukkan bahwa fokus perbincangan adalah sosok bunda Fatimah Az-Zahra. Di samping itu, sosok Az-Zahra adalah panutan seluruh umat manusia, bukan hanya kalangan tertentu, atau sebatas logo-logo pendukung kegiatan.
Hal ini makin diperjelas dengan tampilnya pembicara-pembicara yang beragam dari berbagai latar belakang kelompok dan profesi. Seperti Sitti Nurliani Khanazahrah, seorang penulis dan akademisi. Ia mengajar sebagai dosen filsafat di UIN Makassar, Nurul Husnah Al Fayanah, S.Pd, Ketua Fatayat NU Kota Makassar. Ada dr. Yani Sodiqah, M. Kes., Sp.MK., berprofesi sebagai dosen Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran UMI, Makassar. Pembicara lainnya, A. Sri Wulandani, seorang aktivis perempuan yang bergerak di pemerintahan.
Saya sendiri, Mauliah Mulkin, sehari-hari beraktivitas di rumah, mengajar privat dan menulis. Sesekali diminta berbicara soal pendidikan dan pengasuhan anak. Kegiatan tambahan, sebagai Koordinator Free Palestine Network Kota Makassar.
Fathimah: Sumber ilmu, pendidik, aktivis, pemelihara jiwa-raga, dan simbol perlawanan
Fathimah sebagai putri Nabi saw. hidup bersama ayahnya, menemani dan mendampingi Rasulullah selama hampir di sepanjang hayatnya. Tentunya pikiran-pikiran dan perkataan Nabi banyak terserap ke dalam dirinya, sehingga kualitas kecerdasan dan akhlaknya tidak akan jauh berbeda dengan yang dicontohkan oleh ayahnya.
Ia tumbuh dalam naungan kenabian, di rumah yang menjadi pusat ilmu, tempat turunnya wahyu, pusat belajar dan berdiskusi dengan para sahabat. Bahkan tak jarang Fathimah menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah mengambil keputusan-keputusan penting berkenaan dengan kemaslahatan umat.
Dengan kecerdasan pengetahuan yang ia miliki, menjadikannya tempat rujukan perempuan-perempuan dalam majelis ilmu. Bukan saja menjadi sebuah ruang formal, tetapi ruang spiritual dan intelektual yang di dalamnya mengalir perpaduan wahyu, akhlak, dan hikmah.
Mereka bertanya soal hukum-hukum agama, seperti salat, taharah, atau persoalan keluarga lainnya. Dan Fathimah tidak hanya menjawab, tetapi mendidik dengan kelembutan namun penuh ketegasan, cerdas namun penuh penghargaan pada pendapat siapa pun. Tentu saja kesemua argumen yang ia sampaikan bersandar pada hujjah yang kuat.
Lalu bagaimana dengan aktivitas Fathimah selain mengurus rumah dan keluarga? Meskipun orang banyak mengenalnya sebagai perempuan suci, lebih banyak tinggal dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, akan tetapi aktivitas sosial politiknya pun, tak kalah luas dan besar pengaruhnya dalam sejarah Islam.
Dalam beberapa riwayat diceritakan, saat-saat Fathimah turut serta ke medan pertempuran, menolong ayahnya membersihkan luka-luka di wajahnya, serta melihat kondisi para pejuang lainnya. Jika diperlukan, pada kondisi suaminya berada di medan perang, ia sendiri akan keluar rumah, memenuhi kebutuhan harian yang diperlukan. Kadangkala ia berdiskusi dengan orang-orang dalam masalah-masalah politik, sosial, dan keagamaan.
Pidato-pidatonya menggugah para pendengarnya. Ia membicarakan berbagai hal terkait kebudayaan Islam, hukum, dan filsafat. Disebutkan dalam riwayat, pidatonya hanya setingkat di bawah pidato Rasulullah dan setara dengan pernyataan-pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib ra. dan kedua putranya.
Pembahasan lain kehidupan Fathimah Az-Zahra, bagaimana menjaga kesehatan keluarga dari aspek fisik dan psikis sehari-hari. Kesederhanaan dan apa adanya menjadi karakteristik kehidupan keluarga seorang utusan Allah. Begitu pun yang tercermin dalam kehidupan Fathimah dan keluarganya. Namun, walaupun berada dalam kondisi serba terbatas secara materi, tetapi tingkat spiritualitas yang tinggi mampu menyeimbangi hal-hal yang tampaknya kurang di mata manusia.
Di tengah kesibukan mengurus rumah, meski harus menggiling gandum dengan kedua tangannya sendiri, ia berusaha menyajikan makanan yang sehat walaupun apa adanya. Adapun perabotan yang minim, mendukung terciptanya lingkungan di dalam rumah tertata rapi dan bersih.
Meskipun berkekurangan, mereka tidak pernah memperlihatkan kondisi tersebut. Rumah tangga Fatimah Az-Zahra, merupakan contoh hidup sehat yang tidak terpengaruh kemewahan. Kesehatan fisik dan spiritual berjalan seimbang dan berdampingan, dalam naungan kasih sayang Allah Swt.
Pembahasan terakhir dalam diskusi, bagaimana bentuk perlawanan yang telah dilakukan oleh Fathimah. Ada dua kategori perlawanan yang dimaksud. Pertama, sebagaimana banyak diketahui dalam sejarah, putri Rasulullah dengan sepenuh keberaniannya, telah menuntut hak-hak yang direnggut darinya sepeninggal ayahandanya tercinta. Bahkan tidak terbatas untuk dirinya, ia telah melahirkan putra-putri pewaris keberanian, yang sangat dikenal dan dikenang dalam sejarah.
Kedua, melawan dalam diam dan sunyi. Lewat salat, zikir, dan munajat kepada Allah Swt, ia mendapatkan kekuatan rohani yang tak tertandingi. Begitu juga ketika ia meminta dimakamkan di malam hari secara rahasia, mengirimkan pesan kuat kepada seluruh kaum muslimin. Bahwa itu bukanlah pesan personal, melainkan sebuah pesan politik dan moral.
Fatimah mengajarkan, kemarahan tidak perlu ditunjukkan dengan luapan ekspresi amarah, tetapi justru ditunjukkan dalam keheningan yang teguh.

Konsultan Parenting. Telah menulis buku, Dari Rumah untuk Dunia (2013) dan Metamorfosis Ibu (2018)


Leave a Reply