Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar pada 3 November 2025, terhadap perkara PT Huadi Nickel Alloy Indonesia vs 20 buruh, bukan sekadar kekalahan satu kelompok pekerja.
Putusan tersebut mencerminkan persoalan yang jauh lebih serius, bagaimana lembaga peradilan dapat dengan mudah mengabaikan bukti negara, data jam kerja, serta kesaksian ahli, lalu memutus berdasarkan konstruksi hukum yang rapuh dan membahayakan martabat buruh.
Majelis hakim dalam perkara Nomor 30/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Mks memilih jalan yang sulit dipahami akal sehat maupun logika hukum. Fakta-fakta persidangan yang seharusnya menjadi nyawa sebuah putusan justru sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan mereka.
Hasbi Assidiq, kuasa hukum buruh, menegaskan, “Putusan ini menunjukkan ketidakprofesionalan Majelis Hakim dalam menangani perkara. Mereka mengabaikan fakta bahwa memo internal ‘insentif kelebihan jam kerja’ nilainya jauh lebih rendah dari ketentuan upah lembur yang sudah jelas diatur dalam PP 35 Tahun 2021.”
Penetapan Negara yang Diabaikan
Perkara ini berawal dari temuan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan, yang mengeluarkan lebih dari 15 penetapan resmi yang memerintahkan PT Huadi membayar kekurangan upah lembur kepada para buruh. Penetapan ini adalah produk hukum administratif yang mengikat. Ia lahir dari kewenangan negara, bukan pendapat, bukan interpretasi subjektif.
Namun dalam putusannya, majelis hakim menyatakan penetapan tersebut “tidak mengikat.” Sebuah pandangan yang bukan hanya salah secara yuridis, tetapi juga memberi sinyal bahwa pengadilan dapat menihilkan hasil pemeriksaan negara sendiri.
Jika penetapan pengawas saja bisa dibatalkan begitu saja, apa lagi yang tersisa dari sistem pengawasan ketenagakerjaan? Lalu untuk siapa negara menerbitkan penetapan, jika pada akhirnya pengadilan tak mengakuinya?
Hasbi menambahkan, “Lebih jauh lagi, Majelis menutup mata terhadap keterangan Pengawas Ketenagakerjaan, yang sebelum menerbitkan penetapan telah berulang kali meminta data jam kerja dan slip upah dari perusahaan—dan perusahaan tidak pernah menyerahkannya. Anehnya, justru penetapan pengawas itu yang dinyatakan ‘tidak prosedural’ hanya karena perusahaan sengaja tidak memberikan data.”
“Ini jelas menyimpang dari hukum acara PHI. Jika pihak yang diminta data mengabaikan permintaan, maka secara hukum mereka telah melepaskan haknya. Tidak boleh kemudian kesalahan itu dibalik dan dibebankan kepada Pengawas. Pertimbangan Majelis dalam perkara ini sangat berat sebelah—mereka menutup mata terhadap pelanggaran perusahaan, dan pada saat yang sama meremehkan kewenangan pengawas dengan menyimpulkan bahwa penetapan tersebut cacat prosedur. Padahal yang tidak menghormati proses adalah perusahaan itu sendiri,” tegas Hasbi.
Gugatan Kabur, tapi Dimenangkan
Majelis hakim juga menyatakan bahwa gugatan perusahaan kabur (obscuur libel). Perusahaan tidak merinci secara jelas apa yang mereka klaim sebagai pengganti upah lembur, termasuk tidak menjelaskan siapa menerima apa, kapan, dan berapa besarnya.
Dalam hukum acara perdata, jika gugatan kabur, maka satu-satunya putusan yang logis adalah menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Namun yang terjadi justru sebaliknya: gugatan kabur itu dikabulkan sebagian dan dijadikan dasar untuk menolak tuntutan buruh.
Ini adalah paradoks hukum yang berdampak langsung pada hak-hak pekerja. Majelis hakim seolah membuka pintu bagi perusahaan: cukup ajukan gugatan tidak lengkap, asal framing-nya tepat, pengadilan dapat tetap mengabulkannya.
Bukti Buruh Diabaikan
Dalam persidangan, pihak buruh menunjukkan perhitungan upah lembur bulanan menggunakan formula resmi PP 35/2021. Bukti-bukti itu ditunjang oleh slip gaji, jadwal kerja, hingga rincian jam kerja yang menunjukkan buruh bekerja 12–15 jam per hari, sementara tungku smelter beroperasi 24 jam tanpa henti.
Kesaksian dari pejabat Disnaker Kabupaten Bantaeng dan Disnaker Provinsi Sulawesi Selatan juga sejalan: perusahaan tidak pernah memberikan data absensi dan slip gaji kepada pengawas, sebuah pelanggaran prosedur yang seharusnya menjadi beban hukum berat bagi perusahaan.
Tambahan lagi, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa istilah “insentif shift 40%” tidak dikenal dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia dan tidak bisa menggantikan upah lembur.
Seluruh bukti ini tidak dibantah secara substansial oleh perusahaan. Namun ironisnya, bukti sekuat ini tidak mendapatkan tempat sama sekali dalam pertimbangan hakim.
Jika bukti tidak dipertimbangkan, jika saksi ahli diabaikan, jika penetapan pemerintah dihilangkan, apa yang tersisa dari asas “pemeriksaan pembuktian yang bebas dan menyeluruh”?
Perjanjian Bersama yang Dijadikan Alat Pembenaran
Majelis hakim juga menggunakan Perjanjian Bersama (PB) tanggal 27 Februari 2025 sebagai alasan menolak tuntutan buruh, seolah-olah PB tersebut menghapus seluruh hak buruh, termasuk lembur. Padahal, PB itu secara eksplisit hanya mengatur pemutusan hubungan kerja, bukan hak upah lembur yang merupakan bagian dari hak normatif dan tidak dapat dinegosiasikan.
Menggunakan PB untuk menutup akses ke hak lembur sama saja dengan mengatakan “Jika buruh sudah menandatangani PB, maka seluruh pelanggaran masa lalu dianggap selesai.”
Ini adalah logika berbahaya yang berpotensi menjadi jalan pintas perusahaan untuk menghapus pelanggaran ketenagakerjaan.
Preseden Buruk untuk Ribuan Buruh
Kasus ini bukan hanya milik 20 buruh Huadi. Ini adalah sinyal serius bagi buruh di seluruh kawasan industri, terutama di Bantaeng, bahwa lembur bisa dinyatakan tidak ada, penetapan pengawas bisa diabaikan, bukti jam kerja bisa dihapus begitu saja, dan skema internal perusahaan bisa menggantikan undang-undang dan peraturan turunannya seperti PP 35/2021.
Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Tapi dalam perkara ini, ia gagal menjadi benteng, dan justru menjadi pintu masuk bagi legitimasi eksploitasi.
Putusan PHI Makassar ini menunjukkan satu hal, bahwa kebenaran faktual tidak otomatis menjadi kebenaran hukum, ketika lembaga peradilan memilih untuk tidak melihatnya.
Di depan Pengadilan Negeri Makassar pada hari putusan itu, banyak buruh menunduk, menangis, atau menatap kosong ke gedung yang menjulang kokoh. Bagi mereka, ini bukan sekadar kekalahan hukum. Ini adalah penolakan atas jerih payah, keringat, dan kenyataan hidup yang mereka bawa ke ruang sidang.
Keadilan seharusnya hidup di balik tembok pengadilan. Namun dalam perkara ini, tembok itu berdiri kokoh sendirian, sementara keadilan mengering seperti kemarau yang panjang.

Lahir di Bantaeng, 7 Juli 1992, bekerja di Balang Institute sejak 2019. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan 2009. Beralamat di Kampung Sarroanging, Desa Mappilawing—Eremerasa—Bantaeng.


Leave a Reply