Tahajud Sang Aktivis: Spiritualitas yang Membela

Tahajud Sang Aktivis adalah sebuah novel kontemplatif yang menggugah. Novel karya Saprillah ini mengisahkan perjalanan batin dan spiritual seorang pemuda bernama Zaki yang terlahir dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan ortodoks. Ia tumbuh dalam lingkungan yang kaku, penuh aturan, dan nyaris tanpa ruang untuk bertanya atau menyuarakan kegelisahan.

Lingkungan keluarga yang semestinya menjadi ruang untuk bertumbuh dan berlindung justru berubah menjadi tempat yang sunyi dan menyesakkan. Dalam kesunyian itulah, Zaki mulai menggugat banyak hal, tentang makna hidup, keadilan, dan hakikat kemanusiaan.

Dorongan batin untuk mencari makna di luar batas-batas rumahnya membawa Zaki menapaki dunia aktivisme. Ia mulai menjauh dari tuntunan agama yang dirasanya terlalu kaku dan rigid, lalu memilih berpihak pada kaum tertindas, menyuarakan ketidakadilan, dan membela mereka yang terpinggirkan.

Ia menyusuri lorong-lorong gelap kota, menyatu dengan denyut nadi rakyat kecil, dan menyaksikan langsung luka-luka sosial yang selama ini tersembunyi di balik tembok kemapanan. Namun idealisme yang membara dalam dirinya itu justru dipandang sebagai bentuk pembangkangan oleh keluarganya.

Keputusannya untuk berpihak pada yang lemah dianggap mencoreng martabat keluarga. Zaki pun diusir, terasing dari rumah yang dulu membesarkannya, kini menjadi tempat yang menolak keberadaannya.

Namun takdir mempertemukannya kembali dengan rumah. Kakeknya, seorang ulama kharismatik dan pemimpin tarekat yang dihormati masyarakat, wafat. Zaki pulang, bukan sebagai anak yang kembali dalam pelukan, melainkan sebagai tamu yang asing di tanah kelahirannya sendiri. Di sinilah, babak baru perjalanan spiritualnya dimulai.

Pada malam ketujuh takziah, Zaki diminta menyampaikan ceramah. Dalam suasana yang penuh haru, ia mengungkapkan bahwa tidak semua kematian berarti lenyapnya kehidupan. Menurutnya, ada manusia yang tetap hidup meski jasadnya telah terkubur; karena kebaikan, ketulusan, dan jejak perjuangannya terus mengalir dalam ingatan, doa, dan perilaku para murid, pengagum dan jemaahnya.

Dalam konteks kearifan lokal Mandar, manusia semacam ini diistilahkan dengan ungkapan penuh makna: mate dibatang, tammate di pau-pau. Jasad boleh berkalang tanah, namun nilai dan kebaikannya tetap hidup, mengalir dalam ingatan dan tindakan orang-orang yang ditinggalkan. Bagi Zaki, sang kakek adalah perwujudan sejati dari petuah Mandar tersebut, sosok yang hidupnya menjadi cahaya, menerangi banyak jiwa, bahkan setelah kematian merenggut raga.

Jika ditelaah lebih jauh, fenomena semacam ini juga tampak pada sosok Gus Dur, tokoh bangsa yang meski telah lama berpulang, namun jejak pemikiran dan keberaniannya membela kaum lemah, serta kelapangan hatinya masih terus hidup dalam percakapan, ingatan, dan perjuangan banyak orang.

Melalui perenungan itu, Zaki mulai memahami bahwa spiritualitas sejati bukanlah sekadar rangkaian ritual yang mekanis, melainkan keberpihakan yang tulus pada kemanusiaan. Ia menyadari bahwa iman tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan yang membela kaum lemah dan tertindas.

Inilah yang membuat novel Tahajud Sang Aktivis menjadi karya yang istimewa. Keistimewaannya terletak pada keberanian penulisnya menantang batas-batas konvensional dalam memahami agama. Saprillah tidak segan menggugah kenyamanan para pemikir fikih dengan menyodorkan kenyataan bahwa tidak semua persoalan sosial dapat dijawab melalui pendekatan hukum agama semata.

Ia membuka ruang bagi pembaca untuk merenungi sisi-sisi kehidupan yang tak hitam-putih, melainkan dipenuhi warna abu-abu yang menuntut kehadiran empati, daya imajinasi, dan kesediaan untuk mendengar dengan hati yang terbuka. Dalam hal ini, Zaki menjadi cermin dari kegelisahan banyak anak muda hari ini, mereka yang ingin beragama dengan hati, bukan sekadar dengan hukum; yang mencari Tuhan bukan hanya di kitab, tetapi juga di wajah-wajah manusia yang terluka.

Menariknya lagi, akhir cerita novel Tahajud Sang Aktivis ini tidak mudah ditebak. Ia tidak menawarkan penyelesaian yang manis, melainkan membuka ruang tafsir dan perenungan. Novel ini secara halus mengkritik cara pandang sebagian aktivis yang terjebak dalam dikotomi hitam-putih, tanpa menyelami kompleksitas realitas. Ia mengajak pembaca untuk tidak cepat menghakimi, melainkan belajar menyelami.

Melalui tokoh Zaki, pembaca diajak memahami bahwa empati bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja, melainkan buah dari imajinasi yang terlatih. Dalam proses menyelami kehidupan orang lain, Zaki belajar bahwa memahami bukan sekadar melihat, tetapi membayangkan dengan hati, menempatkan diri dalam posisi orang lain dengan penuh kesadaran dan kelembutan.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Afifah Ahmad dalam bukunya, Ngaji Rumi, Kitab Cinta dan Ayat-ayat Sufistik, yang menyatakan bahwa untuk benar-benar memahami orang lain, kita perlu bertanya: Bagaimana jika aku berada di posisinya? Sebuah latihan batin yang menuntut kepekaan, kesediaan untuk diam, dan keberanian untuk merasa.

Untuk menumbuhkan imajinasi semacam itu, menurut Afifah Ahmad, ada banyak jalan yang bisa dilakukan, bisa dengan membaca karya sastra, menyimak cerita rakyat, menonton film, bermain teater, hingga berdzikir, seperti yang dilakukan Zaki dalam perjalanannya menyikapi makna-makna tersembunyi di balik realitas.

Pada akhirnya, Tahajud Sang Aktivis bukan hanya kisah tentang seorang pemuda yang mencari Tuhan di jalanan, tapi juga tentang kita semua yang sedang belajar menjadi manusia seutuhnya: berpikir jernih, dan bertindak dengan kasih. Karena itu, Tahajud Sang Aktivis adalah novel yang menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang relasi antara agama, sosial, dan kemanusiaan.

Ia bukan bacaan ringan, melainkan ajakan untuk merenung, menyelami, dan memahami dunia dengan cara yang lebih dalam. Meski tidak sempurna secara teknis, novel ini menawarkan pengalaman membaca yang transformatif dan penuh makna.



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *