Sebagai seorang relawan literasi yang sering berinteraksi dengan anak-anak di pesisir Desa Bonto Jai, saya menemukan pelajaran berharga tentang kehidupan dari cara mereka tumbuh dan beraktivitas.
Di tempat yang mungkin tampak sederhana bagi sebagian orang, di tepi laut dengan embusan angin asin dan debur ombak yang tak pernah henti, tersimpan kisah keteguhan, keceriaan, dan semangat belajar yang luar biasa dari anak-anak desa ini.
Bonto Jai adalah desa pesisir yang tenang, namun penuh kehidupan. Setiap pagi, sebelum matahari tinggi, anak-anak sudah bangun untuk membantu orang tua mereka. Ada yang menimba air, ada yang menyapu halaman rumah.
Kehidupan anak-anak di pesisir Bonto Jai adalah cerminan keseimbangan antara alam dan manusia. Mereka tumbuh dalam keakraban dengan laut, juga belajar untuk mencintai buku dan pendidikan.
Di antara gemuruh ombak dan aroma asin angin laut, mereka menulis kisah masa kecil yang penuh makna, kisah tentang keteguhan, kebersamaan, dan harapan yang lahir dari tepian pantai. Di sisi lain, kehidupan anak-anak di pesisir pantai Bonto Jai memiliki warna tersendiri yang tak dimiliki oleh anak-anak di perkotaan.
Setiap pagi, mereka disambut oleh semilir angin laut dan suara debur ombak yang menjadi musik alami kehidupan. Bagi mereka, laut bukan sekadar pemandangan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang mengajarkan banyak hal tentang kesederhanaan, kerja keras, dan kebersamaan. Terdengar tawa dan obrolan ringan antar teman sebaya yang memecah keheningan pagi.
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, mereka berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Mereka tahu bahwa pendidikan adalah harapan untuk masa depan, jembatan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi. Mereka berangkat ke sekolah dengan penuh semangat, bersama rekan-rekan sebayanya, sesekali mereka tertawa sambil melangkahkan kaki dengan mata berbinar ketika guru masuk kelas. Bagi mereka, belajar bukan beban, melainkan kebanggaan.
Ketika senja datang, langit jingga menjadi saksi tawa mereka yang lepas tanpa beban. Ada yang duduk di atas perahu, menatap matahari terbenam, ada yang bermain bola di atas pasir lembut, ada yang mencari kerang di pinggir laut, dan tak jarang mereka membuat permainan sendiri dari bahan seadanya.
Mereka tertawa lepas di bawah langit jingga, berlari menyambut ombak, dan saling berkejaran sambil berteriak riang. Di saat yang sama, ada juga yang ikut membantu orang tua mereka menjemur hasil tangkapan ikan, atau menata rumput laut yang baru dipanen. Ada pula yang berkumpul membaca buku di atas tangggul pembatas, sebagai tempat yang asyik untuk berimajinasi, mereka berlayar lebih jauh dari ombak yang tampak, menuju dunia pengetahuan dan cita-cita yang luas.
sebagai relawan literasi, saya juga sering menjumpai mereka di Perpustakaan Gemar Membaca Desa Bonto Jai, sebuah ruang kecil yang dibangun oleh pemerintah desa, dengan harapan menjadi tempat singgah bagi anak-anak pesisir untuk mengenal dunia lewat buku.
Di sana, mereka duduk melingkar, membaca cerita rakyat, atau menonton dongeng dari buku bergambar. Ada rasa kagum di mata mereka, setiap kali menemukan cerita baru. Dari kisah itu, mereka belajar bahwa dunia tak hanya seluas laut yang mereka lihat setiap hari, tetapi jauh lebih luas, penuh warna dan pengetahuan.
Kehadiran perpustakaan ini, menjadi sarana di tengah kesibukan pesisir. Anak-anak belajar menulis, menggambar, dan kadang mengikuti kegiatan literasi seperti cerita bergilir, di mana setiap anak menambahkan satu kalimat untuk membuat cerita bersama.
Dari kegiatan sederhana itu, tumbuh rasa percaya diri dan kemampuan berimajinasi. Mereka mulai berani bermimpi, ingin menjadi guru, dokter, pelaut, atau bahkan penulis. Mimpi-mimpi itu lahir bukan dari kemewahan, tetapi dari keberanian untuk berharap.
Namun, kehidupan di pesisir tak selalu mudah. Ada masa ketika ombak besar datang dan hasil laut berkurang, membuat ekonomi keluarga terganggu. Anak-anak melihat langsung perjuangan orang tua mereka yang tetap bersemangat meski di tengah keterbatasan. Dari situ, mereka belajar arti keteguhan. Mereka tahu bahwa hidup di tepi laut berarti siap menghadapi perubahan, seperti ombak yang datang silih berganti, tapi selalu membawa harapan baru di setiap paginya.
Anak-anak pesisir Bonto Jai juga tumbuh dalam kebersamaan yang kuat. Mereka saling membantu tanpa diminta, berbagi makanan, dan menolong teman yang kesulitan. Nilai gotong royong sudah mereka kenal sejak dini, bukan dari teori, tetapi dari kebiasaan hidup sehari-hari.
Di desa ini, semua anak serasa saudara, dan pantai menjadi halaman bermain tanpa ada batasan dan aturan yang mengikat seperti yang banyak dialami anak-anak di luar sana, kebersamaan yang tak pernah sepi dari tawa yang menjadi warna tersendiri yang tercipta di Bonto Jai.
Bagi saya, mereka adalah guru kehidupan. Dari anak-anak inilah saya belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu diukur dari banyaknya fasilitas atau kemewahan. Mereka bisa bahagia hanya dengan bermain layang-layang di tepi pantai, atau membaca satu buku bergantian dengan teman-temannya. Setiap kegiatan kecil memiliki makna besar bagi perkembangan mereka. Mereka tumbuh bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental dan sosial, menjadi pribadi tangguh yang mencintai desa dan lingkungannya.
Kini, banyak dari mereka yang mulai memahami pentingnya menjaga laut dan kebersihan pantai. Mereka sadar bahwa laut yang bersih berarti kehidupan yang lebih baik. Sikap peduli ini muncul dari kesadaran kolektif yang ditumbuhkan lewat kegiatan literasi dan teladan para pemuda desa.
Kehidupan anak-anak di pesisir Desa Bonto Jai adalah cermin dari keseimbangan antara alam, pendidikan, dan kebahagiaan. Mereka mungkin tidak tumbuh di tengah gemerlap kota, namun mereka tumbuh di tengah kasih sayang, semangat, dan kearifan lokal yang kuat. Mereka adalah generasi masa depan yang akan menjaga lautnya, mencintai desanya, dan membawa nilai-nilai kemanusiaan yang lahir dari pasir, ombak, dan buku-buku sederhana di perpustakaan kecil kami.
Dari pesisir Bonto Jai yang damai ini, saya belajar bahwa setiap anak memiliki lautnya sendiri, tempat mereka berlayar menuju masa depan. Dan tugas kita, para relawan literasi, adalah menjadi angin yang meniup layar mereka agar terus bergerak maju, meski ombak menghadang.

Akrab disapa Bung Leo, lahir di Bantaeng 16 April 1983. Aktivitas sekarang sebagai pengelola perpustakaan dan relawan literasi Desa Bonto Jai.


Leave a Reply