Di sudut selatan Kabupaten Bantaeng, ada sebuah desa yang dikenal dengan keindahan pantainya, juga semangat warganya yang tak pernah padam. Itulah Bonto Jai, biasa juga disebut Desa To’ro Mattayya.
Desa ini adalah beranda Kabupaten Bantaeng, di balik debur ombak dan barisan pohon kelapa yang menari diterpa angin laut, ada sekelompok anak muda yang menjadi denyut nadi kehidupan desa. Mereka bukan sekadar penonton perubahan zaman, tetapi motor penggerak yang perlahan membawa Bonto Jai menuju arah yang lebih maju dan berdaya.
Pemuda di Desa Bonto Jai tidak hanya dikenal karena semangatnya dalam menjaga warisan budaya dan alam, melainkan juga karena kepedulian mereka terhadap pembangunan desa. Mereka tumbuh dari kehidupan yang sederhana, namun penuh makna.
Sebagian besar dari mereka adalah anak nelayan, petani rumput laut, dan buruh harian yang terbiasa hidup dengan kerja keras. Setiap pagi, mereka membantu orang tua ke laut, menjemur hasil tangkapan, atau turun ke sawah saat musim tanam tiba.
Namun, di balik aktivitas itu, tersimpan semangat belajar dan berbuat yang luar biasa. Di sela-sela waktu bekerja, mereka juga aktif mengikuti kegiatan desa, menghadiri pertemuan pemuda, atau mengisi waktu dengan kegiatan positif di perpustakaan desa Gemar Membaca, tempat yang menjadi pusat inspirasi dan ide-ide baru.
Di perpustakaan itulah, para pemuda sering berdiskusi tentang masa depan desa mereka. Mereka belajar menulis, berlatih berbicara di depan umum, bahkan mempelajari cara mengelola keuangan keluarga dan usaha kecil. Tak sedikit dari mereka yang kini menjadi pelopor kegiatan sosial, seperti membersihkan pantai, mengajar anak-anak membaca, hingga menghidupkan kembali tradisi permainan lokal seperti appadende dan permainan tradisonal lainnya, agar tidak punah dimakan zaman. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa membangun desa bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab generasi muda.
Kehidupan pemuda Bonto Jai tidak selalu mudah. Mereka dihadapkan pada tantangan zaman yang semakin kompleks: arus modernisasi yang cepat, keterbatasan lapangan kerja, serta godaan untuk meninggalkan desa demi mencari penghidupan di kota.
Namun, di tengah itu semua, banyak di antara mereka memilih bertahan dan berbuat sesuatu untuk tanah kelahirannya. Mereka menyadari bahwa membangun dari desa berarti membangun dari akar, dari tempat di mana kehidupan bermula.
Melalui program-program inklusi sosial dan literasi yang tumbuh di desa, para pemuda mulai menemukan jati diri mereka. Ada yang menjadi fasilitator pelatihan, ada yang aktif menulis artikel tentang desa, ada pula yang menjadi relawan literasi, mengajak anak-anak pesisir untuk mencintai buku. Mereka bukan hanya generasi penerus, tetapi generasi penggerak yang dengan langkah kecilnya telah menyalakan cahaya perubahan.
Gotong royong masih menjadi napas utama kehidupan di Bonto Jai, dan para pemuda menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi itu. Setiap kali ada kegiatan desa seperti lomba perahu dayung, kerja bakti, atau pelatihan warga mereka selalu tampil dengan semangat dan kebersamaan. Mereka sadar bahwa kekuatan desa terletak pada persatuan, dan bahwa masa depan Bonto Jai akan cerah selama mereka tetap berjalan bersama.
Kini, Bonto Jai bukan lagi sekadar desa pesisir yang tenang, tetapi telah menjelma menjadi desa yang penuh semangat belajar dan berinovasi. Di sana, para pemuda telah membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari kota atau pejabat, tetapi bisa lahir dari tangan-tangan sederhana yang mencintai tanah kelahirannya. Dengan semangat literasi dan kerja nyata, mereka menulis bab baru tentang desa, tentang harapan, keteguhan, dan cinta kepada tempat yang melahirkan mereka.
Sebagai relawan literasi, saya melihat sendiri bagaimana pemuda-pemuda yang berusaha menciptakan inovasi, memanfaatkan teknologi, dan menebar inspirasi. Mereka membuktikan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari desa, dari tangan-tangan muda yang berani bermimpi dan menjadikan pengetahuan sebagai senjata untuk melawan keterbatasan. Mereka percaya bahwa buku, pena, dan kerja keras bisa membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik. dan dari pantai yang tenang itu, dari desa kecil yang sarat makna, lahirlah generasi yang tak hanya bermimpi, tapi juga berbuat untuk menjadikan desanya lebih berdaya dan bermartabat.
Maka benar adanya, bahwa pemuda adalah ujung tombak pembangunan. Di Bonto Jai, mereka bukan hanya simbol harapan, melainkan bukti nyata bahwa desa yang digerakkan oleh pemudanya akan tetap hidup, tumbuh, dan maju, meski diterpa ombak perubahan zaman.

Akrab disapa Bung Leo, lahir di Bantaeng 16 April 1983. Aktivitas sekarang sebagai pengelola perpustakaan dan relawan literasi Desa Bonto Jai.


Leave a Reply