“Lembur tidak dicatat, telat selalu diingat, pulang terlambat tidak dihitung, izin langsung ditandai.”
Mata sudah terjaga, kala toa mushollah Masjid BTN Thamrin Labandu mulai memperdengarkan suara Qori’ yang tidak asing bagi gendang telingaku, begitu asyik dan syahdu melantunkan ayat per ayat di Surah Al Kahfi.
Hal yang biasa saya lakukan pada pukul 04.00 WITA dinihari saat terjaga adalah mencoba membuka sepintas gawai, kira-kira apa saja kabar dan informasi yang pernah singgah saat mata terkelap 6 jam yang lalu, dari beberapa dan beragam informasi di deretan grup dan status WhatsApp, ada satu yang menarik perhatian, sebuah screenshoot yang ditempel menjadi status, “Asyiknya menjadi seorang guru. Lembur tidak dicatat, telat selalu diingat, pulang terlambat tidak dihitung, ijin langsung ditandai.”
Dari tulisan miring (italic) itu, muncul tanya, apakah ini layak ditafsir sebagai kritik halus terhadap realitas kerja guru? Ataukah ini menggambarkan keikhlasan seorang guru sejati?
Guru tidak menuntut pengakuan atas kerja kerasnya, meski waktunya banyak tersita untuk murid dan sekolah. Ia sadar, pahala dan balasan sejati bukan dari catatan administrasi, tapi dari Allah dan keberhasilan anak didiknya. Beberapa untai kata dari status tersebut menjadi inspirasi pribadi untuk mengurainya dalam bentuk tulisan.
Usai menunaikan salat Subuh berjamaah, di sudut ruang keluarga, sembari membuka laptop dan menatap layar kosong yang masih dalam keadaan perawan, belum terjamah oleh kata-kata. Benak dan pikiran saya, mulai meraba dan menakar kata, dan kira-kira kalimat apa yang harus bermula. Perlahan jari jemari saya mulai menekan beberapa tombol huruf, memulai dengan penjelasan dasar terhadap hakikat seorang guru, suka dukanya, sampai pada beberapa pendapat.
Menjadi guru bukan sekadar profesi yang dijalani demi mencari nafkah. Ia adalah panggilan jiwa, perjalanan batin, dan pengabdian yang suci. Di tangan seorang guru, ilmu menjelma cahaya, yang menerangi hati-hati muda yang haus pengetahuan. Di hadapan papan tulis yang sederhana, lahirlah masa depan, tumbuhlah semangat, dan bertunaslah harapan. Itulah keasyikan yang tak tergantikan, ketika setiap huruf yang diucapkan menjadi benih kebaikan, dan setiap langkah ke ruang kelas menjadi amal yang berpahala.
Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat mata murid berbinar karena memahami pelajaran yang baru saja dijelaskan. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan saat seorang murid berkata, “Terima kasih, Bu… Terima kasih, Pak Ustaz.” Saya memakai kata ustadz karena Penulis adalah salah satu Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMPN 2 Bantaeng.
Dari kalimat sederhana itu, seorang guru tahu, bahwa lelahnya tak sia-sia. Bahwa perjuangannya telah mengukir jejak kecil dalam perjalanan hidup orang lain. Dan di sana pula letak keasyikan menjadi guru, bukan karena pujian, tetapi karena merasa menjadi bagian dari tumbuhnya generasi yang berilmu dan berakhlak
Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik, pembimbing, dan teladan. Dalam setiap nasihat yang disampaikan, dalam setiap doa yang dipanjatkan, ada cinta yang tulus untuk masa depan bangsa. Kadang, seorang guru tak sempat menuntut balas, tak sempat mengeluh, bahkan sering kali luput dari sorotan. Namun sesungguhnya, setiap tetes keringatnya adalah saksi pengorbanan yang Allah hitung dengan balasan yang agung.
Betapa indahnya menjadi guru, sebab doanya disambut langit, dan kebaikannya dikenang bumi. Menjadi guru juga berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat. Di balik setiap pelajaran yang disampaikan, guru sebenarnya juga belajar memahami karakter, belajar bersabar, dan belajar mencintai tanpa pamrih. Terkadang menghadapi murid yang sulit diatur, atau tantangan zaman yang terus berubah. Namun justru di sanalah asyiknya: guru selalu dituntut untuk tumbuh, menyesuaikan diri, dan menemukan cara baru agar ilmunya tetap bermakna. Ia tidak sekadar mengajarkan rumus dan teori, tapi juga menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab.
Di ruang kelas yang sederhana, guru menjadi pelukis masa depan. Setiap coretan di tangannya adalah kuas, dan murid-muridnya adalah kanvas kehidupan yang akan mewarnai dunia. Kadang, warna itu belum tampak indah saat ini, tapi suatu hari nanti, ketika murid itu berhasil, ketika namanya disebut dengan bangga, guru akan tersenyum dan berbisik dalam hati, “Alhamdulillah, aku pernah menjadi bagian dari kisahnya.”
Asyiknya menjadi guru bukan terletak pada gaji, jabatan, atau penghargaan. Keasyikan itu lahir dari rasa syukur, dari kesadaran bahwa profesi ini begitu mulia di sisi Allah. Karena guru adalah jembatan ilmu, penerus risalah para nabi, dan penjaga peradaban. Dalam setiap langkahnya menuju sekolah, tersimpan doa agar ilmunya menjadi cahaya bagi dunia dan akhirat.
Menjadi guru memang tak selalu mudah. Ada letih yang tak terlihat, ada tangis di balik senyum, ada perjuangan yang tak semua orang pahami. Namun, bagi seorang guru sejati, semua itu indah, semua itu “asyik”, karena di sanalah letak kemuliaan: berjuang dengan hati, beramal dengan ilmu, dan mendidik dengan cinta.
Guru sejak dahulu dianggap sebagai sosok yang mulia, berperan penting dalam membangun peradaban manusia. Banyak tokoh besar dan penggagas pendidikan memberikan pandangan mendalam tentang makna seorang guru. Dari pendapat-pendapat merekalah, kita memahami betapa agung dan bermaknanya profesi ini.
Sebutlah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, menyatakan bahwa, “Guru adalah teladan, pemimpin, dan pembimbing.” Melalui semboyannya yang terkenal, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Beliau menegaskan bahwa guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi panutan dan pendorong semangat bagi muridnya. Dari Ki Hajar kita belajar bahwa keasyikan menjadi guru terletak pada kemampuan untuk menuntun tanpa memaksa, membimbing tanpa mendikte, dan menyalakan semangat tanpa harus berada di depan terus-menerus.
Sementara itu, menurut Driyarkara, seorang filsuf dan pendidik Indonesia, guru adalah “manusia pembangun manusia.” Maknanya begitu dalam: seorang guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk watak, jiwa, dan kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang utuh. Dalam pandangan ini, keasyikan menjadi guru terletak pada seni membentuk karakter, di mana setiap langkah kecil seorang murid adalah hasil sentuhan lembut seorang pendidik.
Lain halnya dengan tokoh dunia, seperti Albert Einstein, juga berpendapat bahwa, “Guru sejati adalah mereka yang membuat muridnya mampu berpikir.” Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas guru bukan sekadar memberi jawaban, tetapi menumbuhkan kemampuan untuk bertanya, merenung, dan menemukan makna. Di sinilah letak kebahagiaan seorang guru: saat muridnya mampu berdiri di atas pemikirannya sendiri.
Begitu pula dalam pemikir Islam, guru menempati posisi yang sangat tinggi. Imam Al-Ghazali menyebut guru sebagai “pewaris para nabi”, karena perannya menyebarkan ilmu dan kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah, para malaikat, bahkan makhluk yang ada di langit dan bumi akan mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan ilmu.”
Maka, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga ibadah dan jalan menuju rida Allah. Dari semua pandangan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa keasyikan menjadi guru bukan hanya pada rutinitas mengajar, melainkan pada nilai luhur yang menyertainya. Guru adalah penerang dalam gelapnya kebodohan, penuntun dalam pencarian arah, dan penjaga moral dalam perubahan zaman. Mereka bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga pembentuk peradaban.
Maka benar adanya, guru adalah pelita bagi dunia dan keasyikan sejati menjadi guru adalah ketika ia mampu menyalakan pelita itu di hati setiap generasi.
Sumber gambar: Meta AI

Guru PAI SMPN 2 Bantaeng. Anggota Komisioner Pemilihan Umum (KPU) Bantaeng, Periode 2018-2023.


Leave a Reply