Paradoks Religiusitas

Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa (Taurat), Daud (Zabur), Isa (Injil), dan Muhammad (Al-Quran), dianugerahkan, serta didesain untuk umat manusia agar dapat menjalani kehidupannya dengan penuh arti, sebagai makhluk yang paling mulia.

Ajaran dari kitab suci sudah menjadi aksioma, bahwa agama mengajarkan kebaikan, dan mustahil mengajarkan keburukan, apalagi saling menyakiti. Ini berarti, manusia wajib memahami secara kognitif isi kitab suci yang mereka imani, membimbing mereka ke jalan yang benar.

Manusia dengan dimensi sosial, segala aktivitasnya melibatkan beragam interaksi dengan sesama, diperlukan signifikansi ilmu agama, serta akhlakul karimah, agar segala aktivitas serta kehidupan sosialnya, dapat berjalan sesuai norma yang ada. Pada gilirannya dapat membangun kasih sayang, persaudaraan, saling percaya, dan lain sebagainya.

Lebih dari itu, urgensi pemahaman ilmu agama (comprehension) juga sangat diperlukan, karena menyangkut soal kontinuitas. Kita dituntut secara konsisten mengamalkan, dan berusaha menghindari dekadensi yang berimplikasi pada kemerosotan moral.

Dewasa ini, kita diperhadapkan pada modernisasi, digitalisasi, dan hidup yang serba praktis, yang mana jika tidak bijak dalam memanfaatkan, maka dapat mengintervensi, bahkan secara perlahan merusak moral serta pola pikir, dapat pula memanipulasi pikiran menjadi sekuler. Melupakan tujuan utama hidup, yaitu mengabdi kepada Tuhan alam semesta.

Belum lagi dengan adanya spekulasi orang-orang, terhadap fenomena-fenomena kehidupan yang disangkutpautkan dengan akhir zaman, disebabkan tingkah laku manusia dewasa ini semakin absurd.

Aktivitas religi yang terasimilasi, menjadi budaya yang dipraktikkan dalam konsep islami, ada yang menjadikannya lahan beramal, ada juga yang menjadikannya profesi. Tak jarang juga agama dipolitisasi oleh suatu kelompok untuk tujuan tertentu. Pada realitasnya, tidak sedikit yang menyalahgunakan identitas serta image salehnya, hanya untuk memperturutkan nafsu dunia, yang pada akhirnya merugikan diri sendri.

Sering adanya dialog ataupun perdebatan antar umat Muslim yang menyangkut suatu ayat dalam Al-Quran yang cukup familiar, “Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-ankabut 45).

Mengapa ayat ini banyak membuat kaum muslim berpikir reflektif? jika menelaah fenomena tersebut berdasarkan pengamatan empirik, memang realitas mengindikasikan adanya suatu paradoks nyata yang cukup menguras pikiran (mind blowing). Bagaimana tidak, berdasarkan fenomena yang ada, begitu banyak pertentangan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama di dalam kehidupan kaum muslimin.

Sementara itu, timbul juga berbagai tanggapan serta reaksi publik terhadap isu-isu politik. Tidak sedikit orang yang berkomentar kritis nan pedas dipicu oleh kinerja pemerintah yang menurut mereka tidak mencerminkan makhluk yang beragama dan bertuhan. Salah satunya adalah kritik yang dilemparkan oleh Prof. Salim Said, di sebuah stasiun TV swasta, “Indonesia tidak maju karena di sini, Tuhan pun tidak ditakuti. Reaksi ini disebabkan karena pemerintah dianggap tidak patuh terhadap aturan yang dibuatnya sendiri, dan seolah bersikap apatis terhadap nilai-nilai Pancasila, yang mana salah satu isinya “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Suatu bangsa yang memiliki penduduk dengan jumlah pemeluk agama bermayoritas Islam. Dinaungi ajaran yang penuh hikmah yang terkandung dalam Kitab Suci Al-Quran, kemudian disempurnakan dengan akhlak luar biasa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, yang terabadikan dalam hadits yang sangat mudah ditemukan di zaman sekarang, sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak mempelajarinya.

Dengan semua itu, sudah seharusnya dapat membuat muslim berperilaku layaknya muslim yang sebenarnya. Namun, faktanya jauh dari ekspektasi. Dengan demikian, penduduk yang mayoritas beragama Islam, harusnya berakhlak islami bukannya saling menyakiti, menyulitkan, bahkan saling menumpahkan darah.

Manusia senantiasa diuji berkaitan dengan hawa nafsunya, yang mana terasa sukar dihadapi oleh kebanyakan insan di dunia. Kodrat nafsu yang tertanam di dalam jiwanya dikendalikan oleh norma-norma agama, di mana manusia dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu. Terlepas dari itu, persoalan ini sangatlah pelik bagi setiap manusia dikarenakan bahwa manusia diberi nafsu namun tidak dibenarkan melampiaskan secara ilegal apalagi dengan melampaui batas.

Hasrat hedonistik yang dimiliki manusia, apabila ini tidak diimbangi dengan kualitas iman yang mumpuni, maka bisa menjerumuskan mereka pada perbuatan tercela, cenderung membuat mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya.

Di sisi lain, prasangka positif melekat pada orang-orang yang secara konsisten mengerjakan amal-amal kebaikan dalam konteks ibadah kepada Tuhan. Namun, itu bisa saja seketika raib oleh inkonsistensi, serta penurunan kualitas iman, yang pada gilirannya prasangka positif seketika berubah menjadi prasangka negatif.

Adapun fenomena prasangka yang menjadikan stereotipe, yaitu kecenderungan mengagumi mereka yang berpenampilan religius, rajin sembahyang, sedekah, dan lain sebagainya. Semua itu akan memberi kesan alim atau dianggap saleh. Namun, prasangka itu hanya pandangan harfiah semata. Belum tentu mereka lebih baik atau sama sekali tidak pernah melakukan dosa daripada orang-orang yang kagum melihatnya, dan tidak memiliki tingkat konsistensi seperti itu. Kadang apa yang kita lihat bisa menipu.

Dapat pula kita saksikan di berbagai media online maupun media elektronik, tidak sedikit memberitakan perilaku demoralisasi, imbasnya merusak image positif seorang berpredikat saleh. Ketidakmampuan mensubordinat hawa nafsu, kontrol diri yang lemah, atau boleh jadi kualitas iman yang merosot, menjadi sebab terjadinya tindakan yang sangat tidak terpuji. Mirisnya, para korban adalah anak-anak di bawah umur yang notabene muridnya sendiri.

Untuk itu, sangat tidak objektif apabila menilai orang dari luar atau pemampilannya saja. Juga terlalu dini melabeli negatif orang lain hanya karena tidak berpenampilan religius. Ironi, seorang yang kelihatannya paham betul dengan ajaran agama, mirisnya, justru menunjukkan attitude yang tidak sesuai dengan identitasnya.

Namun, sungguh sia-sia perbuatan orang-orang yang mencari keuntungan atau pujian lewat ibadah. Padahal, ikhlas beramal karena Allah Swt. reward serta berkah niscaya akan didapatkan di dunia maupun di akhirat. Entahlah, mereka memang tidak tahu menahu, atau hatinya tertutup sekat ria.

Sumber gambar: crcs.ugm.ac.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *