“Ayo de’ ke Gantarangkeke, pergi mamiki lihat-lihat sama, siapa tahu ada yang mau dibeli,” ajak anak berusia 9 tahun kala itu.
Apa yang menjadi pemikiran anak-anak tentang kegiatan di tempat yang ramai? Tempat yang dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, jajanan, serta mainan. Tentu saja ingin pergi bersama teman-temannya untuk berkumpul, bermain, dan melihat banyak pertunjukan. Seperti menyaksikan orang yang melakukan gerakan indah dengan pakaian yang tidak biasa digunakan sehari-hari, ada juga orang yang sedang berkelahi yang kata anak-anak itu mengerikan, serta ditonton oleh banyak orang.
Kini, anak itu tumbuh dan mulai bertanya-tanya, apa makna dari Pesta Adat Gantarangkeke yang dilakukan setiap tahunnya?
Saya mulai mencari artikel dan mengulik buku-buku sejarah. Anak yang memasuki usia beranjak dewasa itu, akhirnya mengerti tentang pesta adat yang dilakukan setiap akan memasuki bulan Ramadan. Pesta adat yang mulanya dilakukan karena datangnya La Galigo, putra Sawerigading, mengikuti assaung tau yang dulu dilaksanakan, menjadikan bulan purnama sebagai pencahayaan. La Galigo adalah seseorang yang dikenal dan diangkat sebagai raja, karena konon datangnya membawa keberkahan.
Gerakan indah yang saya lihat dulu adalah Tarian Pakarena Paolle Bulang Lae (bulan purnama) oleh gadis-gadis yang sudah terlatih, yang diibaratkan keindahan wajah penarinya, seperti bulan purnama dan yang melihatnya akan terpesona.
Perkelahian yang saya tonton dulu adalah a’manca, dilakukan oleh para pamanca dengan jurus-jurus elok nan mengagumkan yang disaksikan oleh ribuan mata. Saya, remaja yang sedang beranjak dewasa, juga membaca tulisan tentang Gantarangkeke, baru mengetahui tentang pocci buttaya (pusar tanah), rarayya (darah), dan passaungang tau (tempat perhelatan). Menjadi salah satu tempat bersejarah, yang ada di dalam tempat Pesta Adat Gantarangkeke dilaksanakan.
Hal ini membuat saya semakin tertarik, mengulik lebih jauh tentang sejarah yang ada di daerahnya itu. Kini, menurut saya, melestarikan budaya adalah hal yang patut dilakukan oleh semua kalangan, termasuk Gen Z, agar senantiasa belajar banyak hal tentang budaya-budaya lokal yang ada di daerah, berdiskusi langsung dengan para pemangku adat, pegiat literasi, dan sesama pelajar, adalah langkah kecil menuju langkah besar.
Saya yakin, Gen Z yang ada di Bantaeng, dan tidak mengetahui tentang Pesta Adat Gantarangkeke. Minimal sekali seumur hidup harus datang untuk menyaksikan, sekaligus belajar banyak tentang sejarah yang ada di sana.
Keterbatasan buku, serta pengetahuan tentang budaya, membuat Gen Z yang sudah masuk ke lingkup yang lebih besar, banyak yang tidak mengetahui budaya lokal yang berada jauh di luar lingkup daerahnya.
Sepengalaman saya bertanya, tentang Pesta Adat Gantarangkeke ke teman yang berada di kecamatan yang berbeda, mereka mengaku tidak mengetahui tentang Pesta Adat Gantarangkeke. Seperti Nindi yang berasal dari Desa Barua, Kecamatan Eremerasa sewaktu saya wawancara, dia tidak mengetahui tentang Pesta Adat Gantarangkeke.
Ada juga yang mengetahui tentang pesta tersebut, tapi tidak pernah datang ke sana. Seperti salah satu teman saya yang bernama A. Muh Akbar Nur yang berasal dari Makkaninong, Kecamatan Pa’jukukang, ketika diwawancarai pada 17 Mei 2025 mengatakan, “Menurut saya Pesta Adat Gantarangkeke, bukan cuman sekedar pesta adat, tetapi juga wadah untuk menyambung silaturahmi. Meskipun belum pernah datang ke pesta adat tersebut, mendengar cerita dari orang-orang terutama dari orangtua saya, tentang pesta adat ini, membuat saya yakin pesta adat ini bukan sekadar pesta adat biasa, dan harus dilestarikan.” Dari sini dia meyakini, bahwasanya Pesta Adat Gantarangkeke akan terus ada dan dikenang turun temurun oleh masyarakat Bantaeng, serta tidak akan hilang apabila terus diperkenalkan oleh orangtua dan masyarakat dari berbagai kalangan.
Ada juga Gen Z yang sewaktu saya wawancarai, mengatakan belum pernah datang sama sekali, tetapi sangat bersemangat mendengar cerita tentang Pesta Adat Gantarangkeke, ia ingin turut ikut serta menjaga dan melestarikannya. Dia juga berharap, jika nantinya diberi kesempatan dia ingin berkunjung ke sana. Ini adalah pengakuan dari M. Siddiq Al-Fatanah, berasal dari Jl. Sungai Bialo Kecamatan Bantaeng, yang sewaktu diwawancarai mengatakan, “Saya tidak bisa banyak berpendapat karena belum pernah hadir secara langsung di pesta adat tersebut. Namun, menurut saya pribadi, pesta tersebut adalah salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan, karena sarat akan nilai-nilai islami dan nilai-nilai yang dapat mempererat silaturahmi antar masyarakat, terkhusus masyarakat di daerah Gantarangkeke. Sebagai bagian dari generasi muda, saya merasa penting untuk ikut andil dan memahami lebih dalam tentang pesta adat ini, melestarikannya agar tidak tergerus oleh zaman, dan jika diberi kesempatan, saya ingin berkunjung langsung dan menyaksikan Pesta Adat Gantarangkeke.” (Bantaeng, 17 Mei 2025).
Wahyuni Nadria Azizah yang berasal dari Bunga Biraeng, Pa’jukukang, mengaku di usianya yang menginjak 17 tahun, baru sempat datang ke Pesta Adat Gantarangkeke. Sewaktu diwawancarai dia juga mengatakan, “Menurut saya Pesta Adat Gantarangkeke merupakan acara adat yang menarik, bersimbol kebersamaan dan rasa solidaritas antar masyarakat.” (Bantaeng, 18 Mei 2025).
Setelah melakukan riset kecil-kecilan ke teman-teman, saya dapat menyimpulkan Pesta Adat Gantarangkeke adalah festival budaya yang harus terus dilestarikan oleh para penerusnya, termasuk Gen Z. Pesta adat ini juga merupakan tempat mempererat tali silaturahmi antar sesama, yang akan menguatkan tali persaudaraan dan sebagai Gen Z, harus ikut andil untuk belajar dan melestarikan Pesta Adat Gantarangkeke, agar tidak hilang tertelan oleh waktu. Saya juga mengajak para pembaca untuk meyakini, bahwasanya Pesta Adat Gantarangkeke bukan hanya tempat untuk melihat pertunjukan ataupun membeli jajanan, tetapi juga ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai bagian dari Generasi Z, saya merasa terpanggil untuk ikut melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal—khususnya Pesta Adat Gantarangkeke yang berasal dari kecamatan saya. Salah satu wujud nyata dedikasi tersebut adalah dengan menulis bersama rekan-rekan, di mana saya memilih mengangkat tema Pesta Adat Gantarangkeke dan memberinya judul “Perspektif Gen Z terhadap Pesta Adat Gantarangkeke.”
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 34-37.

Lahir tahun 2007. Kerap disapa Ayu, lahir dan tumbuh besar di Kabupaten Bantaeng, yang kini akan masuk ke perguruan tinggi. Memiliki hobi menulis serta membaca, telah menerbitkan buku berjudul Tasbih Rindu yang berkolaborasi dengan Ibu Siti Zuhraeni.
Leave a Reply