Tingkah laku simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan bisa muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, menceritakan kembali mitos, mementaskan isi mitos, melakukan upacara adat, menari sebagai gambaran tata alam, cara khusus menanam atau memanen padi, mengadakan selamatan, dan lain-lain.
Pesta adat sendiri adalah rangkaian kegiatan yang diatur oleh adat, biasanya berkaitan dengan peristiwa penting yang rutin terjadi di masyarakat. Upacara ini lahir karena dorongan batin manusia untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib. Di saat seperti ini, manusia dikuasai oleh rasa keagamaan. Karena itu, segala hal yang terlibat dalam upacara—baik benda, orang, maupun tempat—dianggap sakral.
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta “buddhaya”, jamak dari “buddhi” yang artinya akal atau budi. Kebudayaan mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan akal manusia. Dalam arti luas, kebudayaan mencakup keyakinan, ideologi, lembaga sosial, teknologi, kondisi geografis dan demografis, serta kebiasaan kolektif masyarakat.
Salah satu bentuk kebudayaan tersebut bisa dilihat dalam tradisi masyarakat Gantarangkeke, termasuk istilah Ma’juku’. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun oleh keturunan Raja Gantarangkeke, dan dijaga oleh pinati (pelaksana adat), seperti Puang Juku yang menjaga Rumah Adat Balla Lompoa Pajukukang.
Pelaksanaan Ritual
Pesta adat Gantarangkeke kembali digelar oleh masyarakat Bantaeng pada hari Rabu, 16 Februari 2025. Pesta tahunan ini merupakan warisan dari Kerajaan Gantarangkeke sejak abad ke-14. Menariknya, ritual ini sangat kental dengan nuansa Islam, karena waktunya mengikuti kalender Hijriah, yakni setiap pertengahan bulan Syakban.
Pada tanggal 17 Syakban 1434 H (16 Februari), warga berkumpul di Kampung Dampang, Kelurahan Gantarangkeke. Di tempat yang penuh dengan situs sejarah ini, masyarakat menyaksikan pertunjukan tari-tarian, tabuhan gendang, dan petikan kecapi.
Salah satu pertunjukan yang mencuri perhatian adalah seni bela diri khas Makassar bernama a’manca. Di arena sekitar 5×5 meter, para pendekar silat menunjukkan jurus-jurusnya yang menarik dan menghibur. Ribuan warga menyaksikan pertunjukan ini.
Selain a’manca, ada juga atraksi a’raga (sepak takraw tradisional), a’longga (seperti permainan egrang), dan cangke (melempar kayu). Semua pertunjukan ini diawali dengan tari paolle, diiringi gendang dan kecapi. Jumlah pengunjung saat itu mencapai ribuan orang.
“Setiap tahun selalu ramai. Kami selalu datang menonton karena hiburannya tradisional dan unik,” kata Haji Alam Nur, Kabag Humas dan Protokol Pemkab Bantaeng. Ia menambahkan bahwa dalam acara ini, selalu hadir juga utusan adat dari daerah lain seperti Luwu, Gowa, dan Bone, walaupun tidak diundang secara resmi.
Rangkaian Acara dan Sejarahnya
Puncak pesta adat ditandai dengan berbagai pertunjukan permainan tradisional. Tapi sebenarnya, rangkaiannya sudah dimulai sejak tanggal 15 Syakban, yaitu dengan digelarnya pasar rakyat di pesisir Kecamatan Pajukukang, berlangsung selama empat hari.
Menurut Fiqih Luhulima, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantaeng, pesta ini awalnya berasal dari kebiasaan Raja Gantarangkeke yang rutin menangkap ikan di laut Pajukukang setiap pertengahan Syakban, saat musim paceklik. Tradisi itu dikenal sebagai Ma’juku’ dan diteruskan hingga sekarang oleh para ahli warisnya, termasuk Puang Juku selaku penjaga rumah adat.
Di lokasi pesta adat itu juga terdapat banyak situs sejarah peninggalan Kerajaan Gantarangkeke. Salah satunya adalah Passaungan Taua, tempat adu manusia sebelum masuknya Islam. Dahulu, para raja dari Gowa, Bone, dan Luwu membawa kesatrianya untuk bertarung di arena ini. Pertarungan seringkali berakhir dengan kematian karena menggunakan senjata tajam seperti badik. Seiring berjalannya waktu pertarungan manusia diganti dengan sabung ayam.
Selain Passaungang Taua, situs penting lain di kawasan ini adalah makam Tumanurung (raja pertama Gantarangkeke), Rumah Adat Balla Lompoa, dan pohon beringin terdapat saukang, tempat pertemuan para raja besar: Luwu, Gowa, dan Bone.
Pelestarian dan Harapan
Pemerintah Kabupaten Bantaeng terus berupaya melestarikan tradisi ini. Perbaikan infrastruktur dan situs-situs sejarah di kawasan ini sedang dibenahi. Tujuannya adalah agar Pesta Adat Gantarangkeke bisa menjadi daya tarik wisata dan kebanggaan budaya masyarakat Bantaeng.
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 15-17.

Lahir di Bantaeng, 02 September 1984, lulusan Sarjana Pendidikan agama Islam (PAI). Anak ke-4 dari 4 bersaudara. Alamat sekarang (2025) di Desa Pattallassang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Bekerja sebagai tenaga pendidik,dan kepala perpustakaan di Madrasah Tsanawiyah Ma’arif Puro’ro Bantaeng.
Leave a Reply