Di daerah Kabupaten Bantaeng, terdapat tradisi yang masih bertahan dan sakral hingga saat ini, khususnya di Kecamatan Gantarangkeke. Tradisi tersebut bernama Pesta Adat Gantarangkeke. Pesta adat yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas atau rangkaian tindakan masyarakat yang bertahap dalam jangka waktu tertentu, untuk mendapatkan berkat dan perlindungan bagi wilayahnya, begitulah keyakinan masyarakat setempat. Bagi masyarakat di luar Gantarangkeke, banyak yang belum mengetahui bahwa pesta adat ini, yang terdiri dari beberapa tahapan dalam pelaksanaannya.
Pesta Adat Gantarangkeke memiliki beberapa tahapan. Pertama, Akkawaru atau upacara penyucian, dilaksanakan oleh kerajaan untuk menyucikan serta melindungi kerajaan dari malapetaka dan hal-hal negatif lainnya. Pada zaman dahulu, bagian terpenting sembayang Akkawaru adalah pawai kerajaan yang mengelilingi ibu kota kerajaan. Dahulu, sebagai bagian upacara, raja sendiri disucikan melalui upacara mandi. Tetapi, pada zaman sekarang arak-arakan dilakukan oleh masyarakat dan kepala desa dengan mengelilingi wilayahnya untuk meminta perlindungan bagi desanya.
Kedua, Kalau ri Pa’jukukang, yaitu upacara adat yang berpusat pada tanah menjorok ke laut. Masyarakat akan berkumpul untuk menangkap dan mengeringkan ikan hasil tangkapannya. Pada upacara ini, penduduk berkumpul untuk menangkap dan kemudian mengeringkan ikan yang didapatkannya. Setelah itu, Raja Gantarangkeke beserta kepala daerahnya berpesta dengan memakan ikan hasil tangkapannya.
Ketiga, Angnganre Ta’balana’, yaitu upacara persembahan makanan kepada Karaeng Loe (penguasa daerah), dilanjutkan dengan pesta makan bersama. Masyarakat mempersiapkan persembahan khusus untuk Karaeng Loe yang bernamak kaloli’ yang khusus dibuat dan dimakan dalam upacara ini. Pada zaman dahulu, kegiatan ini dilakukan di Balla Lompoa ri Gantarangkeke, sekarang ini dilakukan di Balelung Balla. Berbagai pertunjukkan dilakukan oleh masyarakat pada tahapan ini, seperti pertunjukkan silat, adu ayam, tarian, dan permainan ayunan yang dilakukan oleh para gadis bersama tamu-tamu yang hadir.
Melihat antusiasme masyarakat Gantarangkeke yang begitu tinggi, tradisi Pesta Adat Gantarangkeke masih terus dipertahankan. Bagi masyarakat maupun para leluhur, tradisi ini memiliki makna yang penting. Mereka meyakini bahwa Pesta Adat Gantarangkeke mengandung nilai-nilai berharga, baik dari segi asal-usul maupun proses pelaksanaannya yang terus dijaga hingga saat ini. Nilai-nilai tersebut mencakup nilai religius serta nilai sosial dan budaya.
Nilai religius dari Pesta Adat Gantarangkeke menurut masyarakat Gantarangkeke adalah, dalam menjalankan tradisi ini masyarakat dapat selalu mengingat untuk selalu bersyukur dan terus berdoa, serta mengajarkan kepada masyarakat agar selalu beriman dan meminta segala sesuatu kepada Tuhan.
Selain itu bagian dari adat istiadat, Pesta Adat Gantarangkeke diyakini dapat menjadi tempat memohon barakka’ (keberkahan). Berdoa, bersyukur, dan meminta keberkahan melalui tradisi pesta adat ini merupakan nilai ibadah yang dikerjakan dengan niat tulus dan bersungguh-sungguh, untuk memperoleh anugerah Allah Swt., dengan mengawali tradisi dengan membaca basmalah.
Selain nilai religius, Pesta Adat Gantarangkeke memiliki nilai sosial budaya. Menurut masyarakat Gantarangkeke, nilai sosial budaya dari tradisi tersebut yaitu, mempererat hubungan silaturahmi dan menjaga persatuan masyarakat, dalam spirit kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Masyarakat Gantarangkeke secara bersama-sama mendukung pelaksanaan tradisi ini dari awal hingga akhir, yang sekaligus menjadi sarana mempererat tali silaturahmi antarwarga. Bagi mereka, Pesta Adat Gantarangkeke bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Setiap tahapan dalam tradisi ini telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, sehingga tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan mereka. Tradisi ini menjadi simbol penjagaan terhadap kelestarian dan kearifan lokal yang khas bagi masyarakat setempat.
Karena itu, masyarakat Kecamatan Gantarangkeke terus menjaga tradisi ini sebagai warisan budaya mereka. Antusiasme dan semangat yang tinggi dari warga menjadikan tradisi ini tetap hidup dan tidak mudah tergerus oleh zaman, sekaligus menjaga eksistensi kearifan lokal di tengah perkembangan modern.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 18-20.

Lahir di Makassar, 28 Oktober 2002. Anak pertama dari pasangan suami istri Waryono Wongso dan Hasniaty. Menempuh pendidikan formal pertama pada tahun 2008 di SD Inpres Borong, selesai pada tahun 2014. Pada tahun yang sama, melanjutkan sekolah di SMP Negeri 19 Makassar, selesai tahun 2017. Lalu melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 12 Makassar. Setelah penulis menyelesaikan studinya pada tahun 2020, memutuskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yakni Universitas Islam Negeri Alauddin
Leave a Reply