Ada sebuah bukit di mana warga sekitar sering mendengar suara ledakan misterius saat dini hari, kala pagi masih buta. Suara tersebut terdengar dari atas bukit dan menjadi cerita turun-temurun di Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng.
Ada banyak peninggalan sejarah di Kabupaten Bantaeng, seperti situs prasejarah, kuburan tua, hingga senjata kuno. Salah satunya adalah meriam batu yang berada di puncak Bulu’ Panjang (Bukit Panjang), Labbo. Menurut Pak Bido, warga Dusun Bawa, meriam tersebut dulunya adalah senjata peninggalan Belanda yang kini telah membatu, saat itu digunakan untuk merebut dan mempertahankan wilayah tersebut. Tempat ini terletak di puncak bukit, di dekat sebuah pohon besar yang memiliki mata air di tengah batangnya.
Asal-usul nama Bukit Panjang sendiri, berasal dari tokoh bernama Karaeng Panjang, seorang yang dihormati dan memiliki banyak lahan di sekitar bukit. Nama “Bulu’na Panjang” melekat hingga sekarang. Di sekitar puncak, tanah itu dianggap sakral oleh masyarakat karena sangat subur, sehingga ditanami kopi, kayu manis, dan jagung. Beberapa warga percaya, jika membawa sesajen atau sekadar berdoa di sana, Tuhan akan memberikan rahmat-Nya, menjaga tanah tetap subur, menjadikan hasil panen berlimpah.
Menurut para warga, meriam ini memiliki kembaran di desa tetangga, yaitu di Pattaneteang, tepatnya di Bukit Daulu, Pattaneteang. Kedua batu itu saling berhadapan, seolah memang sengaja diarahkan untuk menyerang satu sama lain. Menurut Pak Nurdin, hal ini terkait perang perebutan wilayah antara Labbo dan Pattaneteang. Belanda, untuk menguasai daerah tersebut, membangun pertahanan di dua bukit strategis dan menempatkan meriam di sana. Tujuannya agar tidak ada pejuang Indonesia yang bisa mendekat tanpa terkena tembakan.
Batu itu diyakini sudah ada sejak tahun 1920-an, yang oleh masyarakat disebut sebagai tahun Temponippong. Meski, ada pula yang percaya bahwa batu tersebut merupakan peninggalan manusia purbakala. Pak Nurdin, yang juru kunci Bukit Panjang, menyatakan bahwa penjagaan terhadap bukit ini sudah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya, mulai dari Jaga, Sanggu, Tinja, Bakko, dan kini dirinya.
Jarak Bukit Panjang dari jalan raya sejauh 1,6 km. Jarak ini cukup dekat, apatahlagi akses menuju ke sana terbilang mudah: tanjakan tidak terjal, dan banyak pijakan kayu yang membuatnya mudah mencapai ke puncak bukit. Dalam sebuah ekspedisi awal tahun 2000-an, sekelompok tentara dan penambang emas mengatakan, pada kedalaman 120 m, ada emas tersembunyi yang jumlahnya belum bisa diketahui.
Lebih dalam, Pak Nurdin juga bercerita tentang keberadaan makhluk penjaga bukit, konon seekor lipan besar yang menurut cerita, suaranya menyerupai kuda. Warga percaya jika seseorang naik ke bukit dengan kesombongan (takabboro), ia akan mendapat ganjaran seperti penyakit. Karena itu, orang-orang yang naik ke bukit biasanya membawa rokok dan korek sebagai sesajen, serta menjaga sikap selama di sana.
Hal ini sudah saya temukan beberapa tahun, tapi baru saya angkat, karena bagaimanapun juga, cerita ini masih bisa dikatakan sebagai mitos karena belum ada penelitian laboratorium yang membuktikan hal itu. Namun, menurut saya, penemuan ini tetap unik, dua batu mirip meriam, berada di dua desa berbeda, dan saling berhadapan. Sesuatu yang sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Masyarakat percaya batu ini berasal dari masa Perang Dunia II, ketika Belanda masih menjajah Indonesia.
Beberapa tahun lalu, Bukit Panjang pernah mengalami kebakaran hutan yang menghanguskan sebagian besar wilayahnya. Anehnya, puncak bukit justru tidak terbakar. Warga pun meyakini tempat itu keramat, tak tersentuh api. Sedangkan sebagian lainnya menganggap bahwa di wilayah puncak, angin mengarah ke bawah, sehingga wilayah puncak tidak terkena kobaran api. Inilah dua sudut pandang berbeda: antara kepercayaan mistis dan kejadian alam.
Kini, perkembangan zaman dan teknologi membuat generasi muda mulai mengandalkan logika dan mengurangi kepercayaan terhadap mitos. Namun, budaya tradisional seperti ini tetap layak dijaga, karena mengandung nilai kearifan lokal yang penting. Tidak semua yang baru berarti baik, sebagaimana yang berasal dari masa lalu bermakna buruk. Butuh kearifan untuk melihat tiap sisi.
Sekitar tahun 1980, bukit ini ditanami jagung, tetapi gagal panen karena serangan hama dan angin kencang. Ibu Malang, warga Dusun Bawa, menceritakan bahwa seorang perempuan pernah mengambil kayu bakar dari puncak bukit. Beberapa hari setelahnya, angin kencang menerjang Dusun Panjang, Panjang Selatan, dan Dusun Bawa. Orang-orang panik, banyak rumah rusak parah, alam seolah marah. Setelah itu, para tetua membawa sesajen dan memanjatkan doa keselamatan kepada Karaeng Allata’ala, dan dua hari kemudian, angin pun berhenti, aktivitas kembali seperti biasa.
Daeng Upa, warga Dusun Bawa lainnya, mengatakan bahwa hasil panen dari sekitar puncak bukit, seperti kopi dan jagung harus dibawa ke puncak terlebih dahulu, sebelum dikonsumsi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan agar hasil bumi tidak mendatangkan malapetaka.
Ia juga bercerita tentang tentang seorang guru yang konon naik ke puncak bukit lalu menghancurkan benda sakral di puncak bukit. Setahun kemudian, ia meninggal dunia. Warga percaya bahwa kematian itu terjadi karena ulahnya, meski sebagian menganggapnya sebagai ajal biasa. Tidak ada kaitannya dengan tindakannya 12 bulan sebelumnya.
Merawat keyakinan terhadap mitos atau kepercayaan lokal seperti ini memiliki sisi positif. Alam tetap terjaga karena warga tidak berani menebang hutan sembarangan atau berburu hewan endemik yang dipercaya sebagai makhluk gaib, memburunya bisa mendatangkan malapetaka. Sehingga ekosistem bisa terjaga. Jika keyakinan budaya ini terus dipelihara, maka flora dan fauna Bukit Panjang dan bahkan di seluruh wilayah Bantaeng, akan tetap lestari hingga puluhan atau bahkan ribuan tahun. Ini menjadi bagian penting dari pengetahuan lokal yang bisa diwariskan kepada anak cucu kita kelak.
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 74-77.
Leave a Reply