Keindahan Budaya yang Terkorbankan oleh Sampah

“Ri biringna lamalaka, tamparangna pakjukukang” “Attunu-tunu juku rikalullpai susayya”

Begitulah isi penggalan lirik lagu berjudul “Kalabiranna Butta Toa” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Udin pansel. Lagu ini menggambarkan satu di antara banyaknya budaya di Bantaeng, yakni Pesta Adat Pa’jukukang.

Tradisi yang berasal dari kebiasaan Raja Gantarangkeke yang rutin mencari ikan pada pertengahan bulan Syakban di pesisir pantai Pa’jukukang. Seiring berjalannya waktu, ritual penangkapan ikan tersebut berkembang. Pada awalnya hanya sekadar ritual penangkapan ikan oleh raja, dilanjutkan oleh ahli waris Kerajaan Gantarangkeke hingga pinati, kini berubah menjadi sebuah pesta adat yang melibatkan masyarakat Bantaeng. Kemeriahan pesta adat tersebut diisi dengan berbagai acara menarik, yakni pawai budaya, ma’juku, a’manca, Tari Paolle, dan pasar malam, sebagaimana dilansir laman Huadi Indonesia.

Menurut Budaya Indonesia 2010, dengan judul “Pesta Adat Pa’jukukang” menjelaskan bahwa Pesta Adat Pa’jukukang dimulai dengan persiapan oleh para tokoh adat yang terdiri dari 12 orang, termasuk Puang Juku dan pinati. Mereka bertugas menyiapkan perlengkapan, doa-doa, serta pengaturan lokasi, seperti Batu Samara yang dianggap sakral. Pada hari pelaksanaan, Puang Juku mengambil alat tangkap ikan, dibawa dari Gantarangkeke ke Nipa-Nipa, disambut warga dengan seruan, “Kalaukmi pajukuka,” sebagai penanda dimulainya pesta. Kemudian, dilakukan ritual penangkapan ikan secara simbolis di muara sungai, yang hasilnya dikirim ke Balla Lompo, menandai pembukaan resmi pesta adat.

Setelah ritual pembuka, kegiatan dilanjutkan dengan pemasangan simbol pesta seperti bendera dan spanduk bertuliskan “Tabe Sipakatauki”. Masyarakat kemudian menggelar berbagai pertunjukan budaya, seperti tari-tarian tradisional (Tari Paolle), seni bela diri khas Bantaeng (a’manca), hingga pasar malam yang menjual makanan khas daerah seperti kaloli’ (olahan beras yang dibungkus oleh daun aren). Kegiatan puncak ditutup dengan doa bersama dan sedekah makanan atau ternak kepada tokoh adat, sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan

berkah menjelang Ramadan. Seluruh rangkaian ini mencerminkan perpaduan kuat antara adat istiadat lokal dan nilai-nilai Islam.

Pesta Adat Pa’jukukang adalah salah satu acara budaya yang dilaksanakan untuk menyambut Ramadan. Kegiatan ini sering kali menjadi ajang berkumpulnya masyarakat untuk merayakan tradisi yang sudah turun-temurun, menjadi simbol rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. Pesta adat ini bukan hanya sekadar festival budaya, tetapi juga sarana untuk mempererat tali persaudaraan di antara warga. Namun, sayang seribu sayang, di balik kemeriahan tersebut, ada satu masalah yang tak kalah pentingnya untuk diatasi, yaitu sampah yang berserakan setelah acara selesai.

Setelah kegiatan budaya yang berlangsung meriah, pemandangan yang tak sedap justru muncul. Sampah yang ditinggalkan begitu saja di lokasi acara, menjadi bukti bahwa perhatian terhadap kebersihan dan lingkungan masih sangat kurang. Hal ini sangat kontradiktif dengan semangat yang diusung oleh kegiatan tersebut, yaitu menjaga keharmonisan dan kebersamaan. Bukankah budaya juga mencakup bagaimana kita menjaga alam dan lingkungan sekitar sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan?

Dulu, Pesta Adat Pa’jukukang dirayakan dengan penuh kemeriahan dan kearifan lokal. Setiap hidangan disajikan dengan wadah-wadah alami seperti daun pisang atau anyaman bambu, tanpa jejak plastik sedikit pun. Suasana terasa lebih bersih, alami, dan menyatu dengan alam. Namun, seiring berjalannya waktu, sampah plastik mulai mengambil peran buruk dalam perayaan tersebut. Penggunaan plastik untuk kebutuhan praktis semakin marak, meninggalkan tumpukan sampah yang mencemari lingkungan. Padahal, kehadiran sampah plastik ini bukan bagian dari budaya lokal kita, ia adalah fenomena baru yang merusak nilai-nilai asli kebersamaan dan keharmonisan dengan alam yang selama ini dijaga dengan penuh rasa hormat.

Tingginya jumlah sampah yang tertinggal di lokasi acara, menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan setelah acara. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah, mulai dari pencemaran lingkungan hingga dampak kesehatan bagi masyarakat. Acara budaya yang seharusnya menjadi simbol kebersamaan dan kearifan lokal, malah berpotensi merusak lingkungan apabila tidak diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya kebersihan.

Solusi untuk mengatasi masalah sampah yang tertinggal setelah acara budaya seperti di Pa’jukukang tentu tidaklah sulit. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memanfaatkan prinsip gotong royong, yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Bantaeng. Satu jiwa gotong royong yang sangat menonjol dalam ritual Pesta Adat Pa’jukukang adalah kerja sama warga dalam menyiapkan seluruh rangkaian acara, mulai dari penyediaan perlengkapan upacara, pengangkutan hasil tangkapan ikan, hingga pelaksanaan pertunjukan budaya. Semua dilakukan secara sukarela dan kompak tanpa pamrih, demi menjaga tradisi dan mempererat tali silaturahmi masyarakat.

Spirit Gotong royong ini bisa diterapkan dalam menjaga kebersihan selama dan setelah acara. Pihak penyelenggara bisa menyediakan lebih banyak tempat sampah di sekitar lokasi acara untuk memudahkan pengunjung membuang sampah. Selain itu, penting untuk memberikan informasi mengenai pentingnya kebersihan melalui spanduk, pengumuman, atau bahkan pengumuman lisan, agar peserta acara lebih sadar akan tanggung jawab mereka terhadap kebersihan.

Masyarakat bisa diajak untuk lebih aktif berpartisipasi dalam menjaga kebersihan. Salah satu cara untuk melibatkan mereka adalah, mengajak warga untuk ikut serta dalam kegiatan pembersihan setelah acara selesai. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembersihan ini akan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap lingkungan sekitar mereka, serta memperkuat nilai gotong royong yang sudah lama terpatri dalam kehidupan. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaran sosial bahwa kebersihan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya dari penyelenggara acara.

Tidak ada salahnya jika penyelenggara menambahkan acara kebersihan sebagai bagian dari tradisi itu sendiri. Kegiatan kebersihan ini bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan, seperti lomba pembersihan atau membuat acara kebersihan yang melibatkan seluruh peserta. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya merayakan budaya tetapi juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan yang mendukung keberlanjutan acara tersebut di masa depan. Kebiasaan ini bisa menjadi bagian yang melekat dalam festival Pa’jukukang, menciptakan kebersihan yang terjaga dengan lebih mudah.

Pesta Adat Pa’jukukang seharusnya menjadi contoh yang baik, tidak hanya dalam melestarikan budaya, tetapi juga dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Dengan menciptakan tradisi yang mengutamakan kebersihan, acara ini dapat membawa dampak positif tidak hanya pada pelestarian budaya, tetapi juga pada upaya melindungi dan merawat

lingkungan. Dengan kebersihan yang terjaga, festival ini akan tetap berlanjut untuk dinikmati oleh generasi mendatang tanpa mengorbankan kondisi alam yang menjadi bagian dari warisan kita.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 30-33.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *