“Jatuh cinta itu mudah! Tapi bagaimana jika cintamu diperhadapkan oleh adat? Inilah yang membuatnya sedikit rumit.”
Ikatan suci pernikahan, jika mengikuti syarat dan langkah berdasarkan agama Islam ataupun aspek modern lainnya, begitu singkat dan mudah. Contohnya, jika kamu punya calon, mahar dan kerabat sebagai saksi serta dipimpin oleh penghulu, maka kamu sudah bisa menikah. Namun, saat dihadapkan pada adat kebiasaan di kampung halaman kami, di Gantarangkeke, yang mewarisi pappasang tau toa (pesan leluhur) dan pa’gaukangna tau toa (aktivitas leluhur), maka ada 12 adat/syarat yang harus dilalui saat hendak melaksanakan pesta pernikahan.
Adat pertama dimulai dengan appassulu pangajai, yaitu menaruh hati pada pandangan pertama kepada calon kekasih, dengan menunjukkan adanya perasaan ketertarikan yang tiba sesaat setelah melihat sang calon, sebagian besar kalangan kita menyebutnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Di sini, ketelibatan pribadi sang laki-laki dan perempuan yang sebatas pandang, tidak saling mengetahui latar belakang masing-masing. Ini menjadi proses awal yang bisa saja sudah melibatkan kedua hati dari kedua pihak.
Kedua, langkah ini merupakan proses yang lumayan panjang, karena terjadi proses pencaritahuan identitas sang calon, berbarengan dengan proses perenungan yakin tidaknya terhadap seseorang ini, dengan harapan keberlanjutan hubungan dan melanjutkannya pada proses adatketiga, yaitu a’pesa-pesa.
Di tahap a’pesa-pesa, sang laki-laki akan menelusuri dan mencari tahu profil sang perempuan, atau pengenalan secara bertahap terhadap calon yang diinginkan. Pada proses ini, laki-laki menyelusuri—bukan stalking sembarangan, tetapi secara adat. Seperti, sang laki-laki akan menanyakan perihal si perempuan, melalui orang-orang terdekatnya, tetangganya, atau bahkan keluarganya langsung dan mengajukan tanya, seperti, “Nai lassukkangi?” (siapa yang melahirkan beliau?), “Nai bijanna tu ni issenga?” (siapa keluarga beliau yang dikenal?), ataupun, “Temai pammantanganna?” (di mana keberadaan tempat tinggal sang perempuan?) sampai menemukan identitas yang jelas sang calon.
Keempat, sipitangarri, yaitu proses pertemuan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menyatakan keinginan atau maksud hati. Proses ini, adalah pernyataan perasaan satu sama lain bermaksud ke arah serius. Bersamaan ini juga, akan berlanjut pada langkah adatkelima, yaitu menyampaikannya kepada orang tua/keluaga masing-masing. Ini sudah mengarah keinginan hati untuk meminang sang calon yang sudah sipitangarri ini melangkah ke adatkeenam, akkawaru.
Pihak keluarga laki-laki berembuk (akkawaru), dan menyelusuri silsilah atau bibi-bebet-bobot keluarga pihak perempuan yang berencana dinikahi. A’jangang-jangangna pihak keluarga calon saling mencari tahu tentang silsilah keluarga atau keturunan masing-masing.
Jika sudah saling menerima silsilah masing-masing, berlanjut pada sipitangarri kedua belah pihak dengan pertanyaan pihak laki-laki, contohnya, “Apakah perempuan ini sudah ada yang ammoli kana (pihak lain yang menginginkan sang perempuan) ataukah belum?” Jika pihak keluarga perempuan memastikan bahwa tidak ada pihak lain yang ammoli kana dan pihak laki-lakipun meyakini itu,makaakanberlanjut ke langkah adatketujuh, yaitu ammoli kana.
Pihak laki-laki menjanjikan kepada pihak perempuan bahwa, “La battu pole appa’nassa kana.” Atau melamar secara adat sebagai bukti keseriusan.Kemudian akkawaru (perundingan) kedua belah pihak mengenai syarat-syarat apa saja yang diajukan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, penetapan waktu, dan tempat segala proses ke depannya yang disepakati bersama (annassami erangna a’rurung temai kabayuanna).
Ada’ kedelapan adalah leko’ ca’di. Langkah ini adalah pemenuhan janji keluarga pihak laki-laki dan bukti keseriusan kepada pihak perempuan. Battumi nyikko’, berarti pihak laki-laki datang melamar secara adat kepada pihak perempuan, membawa kaluarga besar bermaksud annyikko’ sang perempuan dengan pannyikko’ (pengikat/secara tersirat pertunangan) berupa pemberian cincin, sebagai bentuk kepastian perempuan tersebutlah yang akan resmi nibuntingi (dinikahi).
Berbarengan dengan leko’ ca’di ini juga, dibicarakan mengenai doe’ panai’ (uang belanja), sunrang (mahar), dan apa saja yang akan dibawa (erang-erang) yang akan diberikan kepada pihak perempuan di allo karoakkanna atau hari akad pesta pernikahan, yang sudah ditetapkan bersama-sama oleh kedua belah pihak.
Setelah melalui langkah proses yang panjang di tahap sebelumnya, maka tibalah di langkah adatkesembilan, yaitu leko’ lompo atau naikmi kalenna, bertepatan dengan allo karoakkanna atau hari pesta pernikahan. Di hari pernikahan ini, pihak laki-laki akan membawa hal-hal yang telah dijanjikan di leko’ ca’di tidak terlepas dari syarat adat yang ada. Adat kami di Gantarangkeke, terdapat hal semacam syarat berupa sunrang, kali sunrang, cingkarra, dan doe’ panai’, yang akan dibawa pihak laki-laki sebelum akad pernikahan dalam pemenuhan syarat adat.
Dalam persyaratan adat Gantarangkeke, sunrang adalah mahar yang wajib dipenuhi pihak laki-laki, biasanya berupa seperangkat alat salat, mahar uang, atau tanah yang akan diberikan kepada pihak perempuan. Sedangkan kali sunrang adalah, syarat adat yang harus dibawa pihak laki-laki berupa kampu atau wadah yang berisi beras, uang ringgit/rupiah, gula aren, dan buah kelapa yang menjadi simbol status sosial seseorang yang akan menikah. Adapun cingkarra adalah cincin yang menjadi pakbelo-belo (hiasan), yang dipasang pada mulut jangang-jangang (ayam-ayaman yang biasanya dibuat dari lipa sa’be yang dianyam), menjadi salah satu unsur syarat pernikahan pemenuhan adat di Gantarangkeke. Dan doe’ panai’ atau uang belanja, juga sudah menjadi syarat adat yang umum diketahui.
Setelah semua syarat ini terpenuhi, maka dilangsungkanlah akad nikah yang menyatukan kedua insan menjadi bunting (pengantin), yang belum terlepas dari proses adat selanjutnya.
Langkah adatkesepuluhadalah nipattawara, ini adalah proses adat setelah akad pernikahan. Proses ini melibatkan bunting yangsaling berhadapan melakukan prosesi adat attawara. Kegiatan ini memuat doa dan gerakan terstuktur, mengikuti arahan pattawara (penengah/perantara) yang dipercaya akan memberikan keharmonisan bunting ke depannya.
Setelah semua rangkaian pernikahan, maka selanjutnya adalah adatkesebelas, yaknia’matoang. Di sini, pengantin perempuan membawa pammatoang (hadiah) untuk matoangna (mertuanya). Kemudian bunting ini kembali a’bangngi sibangngi (menginap selama 1 malam) di rumah pengantin perempuan, dan berakhir dengan adatkedua belas, yaitu a’balasa a’bangngi tallu bangngi (berbalas menginap selama 3 malam). Pengantin laki-laki akan membawa pengantin perempuan untuk menginap di rumah pihak laki-laki. Dengan itu, maka terpenuhilah 12 syarat pernikahan adat Gantarangkeke.
Adat di atas, adalah sebagian kecil penjelasan yang terangkum dalam tulisan ini. Beberapa syarat adat 12 sudah bergesekan dengan modernitas yang serba praktis, sehingga banyak mengalami perubahan ataupun modifikasi yang berbeda-beda, tapi tetap masih mempertahankan nilai pokok menurut adat Gantarangkeke. Ini membuktikan, masih melekatnya nilai adat dan upaya melestarikannya. Sebab hal itu kami percayai sebagai bentuk rasa syukur dan harapan yang mendalam terhadap pernikahan yang dianggap sakral dan berharap abadi.
Adat 12 syarat pernikahan ini sedikit rumit, tapi mengingat bahwa hal itu adalah adat kebiasaan yang diwariskan kepada kami di Gantarangkeke. Melestarikannya menjadi bentuk tanggung jawab dalam menjaga makna turun-temurun. Adat itu melekat karena pernikahan itu suci, meski dibalut dengan kepadatan prosesi yang membuatnya sedikit rumit, mingka ri patappakki ngerang mange ri kabajikanga.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 26-29.

Perempuan penyuka literasi dan kesenian, alumnus studi Bahasa dan Sastra Inggris UINAM. Small business owner. Telah turut serta menulis buku antologi cerpen: First Love (Manis, Pahit, Dingin) (2016).
Leave a Reply