“Kalau petir sudah berbunyi dari Gunung Lompo Battang dan lempuyang muda muncul, itu tanda musim tanam datang. Tapi kami tidak bisa langsung tanam. Harus musyawarah dulu. Kalau belum ada kesepakatan, jagung satu biji pun tak boleh masuk tanah.”
Desa Labbo berada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Letaknya di pegunungan, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Daerah ini berbukit, berhawa sejuk dan lembap, dengan curah hujan yang tinggi. Tanahnya subur dan cocok untuk menanam kopi, serta umbi-umbian. Hasil bumi inilah yang menjadi sumber hidup warga. Tapi di Labbo, hasil panen tidak bisa langsung diambil begitu saja. Semua harus dibicarakan lebih dulu lewat tudang sipulung, musyawarah warga yang menjadi aturan tidak tertulis dalam kehidupan sehari-hari.
Di Labbo, orang tua, anak muda, laki-laki, dan perempuan berkumpul dan berdiskusi bersama dalam tudang sipulung. Mereka bicara soal kapan mulai tanam, kapan panen, bagaimana membagi lahan, hingga cara menyelesaikan perselisihan. Tidak ada pemimpin rapat, tidak ada pengeras suara. Tapi semua mendengarkan satu sama lain. Semua keputusan disepakati bersama, dan dipatuhi bersama, walau tak ada yang mencatatnya.
“Semua orang bisa bicara, semua orang didengarkan,” kata Hasri, warga Labbo yang lahir tahun 1980-an. “Tidak ada fasilitator. Tidak ada pemimpin rapat. Tapi semua saling percaya. Tokoh-tokoh tahu kapan harus bicara, tahu kapan harus diam.”
Bagi warga Labbo, tudang sipulung adalah tradisi yang hidup. Istilah ini berasal dari bahasa Bugis “tudang” berarti duduk, “sipulung” berarti bersama. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dulu, bahkan sebelum Belanda datang. Di masa lalu, orang berkumpul untuk membahas cara bertani, mulai dari memilih bibit, mengolah tanah, hingga membagi hasil panen. Mereka percaya, tanpa kesepakatan bersama, hasil tani tidak akan membawa berkah.
Lama-kelamaan, tudang sipulung tidak hanya dipakai untuk urusan pertanian. Musyawarah ini juga dipakai untuk menyelesaikan masalah sosial, mengatur kehidupan kampung, bahkan ikut memengaruhi cara pemerintahan bekerja. Di masa kerajaan Bugis-Makassar, seperti Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo, musyawarah juga dilakukan untuk membuat keputusan penting. Perjanjian Tellumpoccoe pada tahun 1582, misalnya, disepakati lewat musyawarah antara tiga kerajaan Bugis yakni Bone, Soppeng, dan Wajo.
Di Bantaeng sendiri, tradisi musyawarah dikenal dengan nama accidong landang. Maknanya hampir sama dengan tudang sipulung yaitu duduk bersama untuk mengambil keputusan. Namun, istilah ini kini jarang disebut, bahkan oleh masyarakat Bantaeng sendiri. Padahal, forum ini dulunya menjadi ruang penting pengambilan keputusan di Kerajaan Bantaeng, melibatkan raja dan dua belas pemangku adat. Hal ini dijelaskan oleh salah satu budayawan Bantaeng, Imran Massualle, putra Raja Bantaeng ke-35, Karaeng Massualle, dalam acara Diskusi Kampung Budaya pada 27 Desember 2024.
Terlepas dari perbedaan istilah antara Tudang Sipulung dan Accidong Landang, pengaruh Bugis memiliki sejarah panjang dan mengakar di Kabupaten Bantaeng. Persamaan ini tidak lepas dari hubungan lama antara Kerajaan Bantaeng dan kerajaan-kerajaan Bugis, terutama Bone dan Wajo.
Wilayah Pesisir seperti, Lasepang, Rappoa hingga Lumpangang menunjukkan keterkaitan langsung dengan interaksi politik dan militer antara Kerajaan Bone dan Bantaeng. Salah satu peristiwa penting adalah pernikahan antara Arung Palakka, Raja Bone, dengan I Makkawani Daeng Talele dari Bantaeng. Pernikahan ini memperkuat hubungan antara kedua kerajaan dan memfasilitasi perpindahan penduduk Bone ke wilayah Bantaeng, khususnya di daerah-daerah tersebut. Di Lasepang hingga Lumpangang bahasa Bugis masih digunakan sampai sekarang. Bukan hanya karena keturunan, tapi juga karena budaya Bugis memang hidup di sana. Selain dari jalur pernikahan, masuknya budaya Bugis ke Bantaeng juga datang dari jalur dagang.
Migrasi masyarakat Bugis dari Wajo ke wilayah dataran tinggi Bantaeng lebih dipengaruhi oleh faktor perdagangan dan perantauan, bukan interaksi langsung antar kerajaan seperti Bone dan Bantaeng. Hal ini sejalan dengan karakteristik masyarakat Wajo yang dikenal sebagai pelaut dan pedagang ulung. Mereka sering merantau untuk mencari peluang ekonomi baru, dan Bantaeng menjadi tujuan strategis karena letaknya yang menguntungkan untuk perdagangan.
Dari semua proses itu, pernikahan, perpindahan penduduk, hingga perdagangan, bahasa dan budaya Bugis perlahan menyatu dalam kehidupan masyarakat Bantaeng. Di Labbo, kita bisa melihatnya lewat tudang sipulung. Nilai-nilai Tradisi ini masih dipraktikkan sampai hari ini. Ia bukan hanya warisan masa lalu, tapi cara warga menjaga hidup bersama, di ladang, di rumah, dan di kampung.
Tudang Sipulung dalam Bertani dan Konsep Gotong Royong Sejak Lama
Warga berkumpul di kolong rumah panggung atau di atas tikar sederhana. Di situlah musyawarah berlangsung sambil menikmati kopi panas dan pisang dari kebun sendiri. Pembicaraan dimulai dengan santai. Orang yang paling dituakan membuka percakapan. Setiap orang boleh berbicara tanpa ada yang memotong atau mendominasi. Semua pendapat didengarkan.
Mereka lalu membuat jadwal kerja bergiliran yang disebut a’leleang. Membagi hari, untuk saling membantu antar satu petani dengan petani lainnya. Hari ini di ladang Hasri, besok di ladang Daeng Sumang, dan seterusnya. Tak ada bayaran, hanya kepercayaan bahwa pekerjaan akan ringan jika dilakukan bersama.
“Hasil Tudang Sipulung kami sederhana,” kata Hasri. “Hari ini tanam di kebunku, besok di kebun tetangga. Bergilir begitu sampai selesai.”
Dalam budaya bertani, masyarakat Labbo sangat menghormati benih jagung. Sebelum ditanam, para perempuan melakukan ritual khusus untuk menghormati benih. Di malam hari, mereka menyimpan benih terbaik di benteng polong atau tiang utama rumah, bersama daun sirih dan daun dinging-dinging (cocor bebek) dan lampu minyak. Ritual ini menunjukkan bahwa benih bukan benda biasa, tapi sumber kehidupan yang harus dihargai. Inilah yang memulai kerja bersama di ladang.
“Benih tidak boleh dilangkahi, karena itu diletakkan di tiang tengah, diberi pelita, dan ditutup dengan kain putih,” terang Hasri. “Saat benih diangkat ke atas kuda untuk dibawa ke kebun, tidak boleh ada yang berbicara kotor atau berisik. Semua harus diam.”
Pada proses penanaman, biasanya sepuluh petani pergi ke ladang. Mereka bekerja bersama dalam sistem Mammesa. Dengan cangkul, mereka membuat lubang tanam dengan jarak yang tepat, tanpa penggaris, hanya menggunakan perasaan yang sudah terlatih. Setiap gerakan mereka adalah pengetahuan turun-temurun. Gotong royong benar untuk membuat lubang, menanam benih, semuanya bekerja seirama.
Di tengah ladang, mereka membangun pondok dari bambu setinggi empat meter. Dari situ mereka menjaga tanaman dari serbuan monyet dan babi hutan. Tak ada senjata, hanya teriakan dan suara yang cukup mengusir hama. Di sela tanaman jagung, mereka juga menanam umbi lokal seperti tasabbe atau ganyong, untuk cadangan pangan.
“Terkadang jagung tak sempat dipanen karena habis diserbu hama,” kata Hasri.
Bagi warga Labbo, jagung bukan sekadar makanan. Ia menjadi pengingat akan pentingnya gotong royong. Saat panen berhasil, pemilik kebun akan membagi hasilnya dengan tetangga yang kurang beruntung. Jika benih langka, mereka meminjamkannya dengan janji akan mengembalikan setelah panen, bukan dengan uang, tetapi dengan benih baru.
Jagung disimpan di atas para-para tempat yang dibuat khusus di atas lagit-langit rumah untuk penyimpanan hasil bumi seperti jagung. Satu keluarga biasanya menyimpan untuk kebutuhan mereka sampai musim tanam berikutnya.
Tudang Sipulung bukan hanya untuk urusan bertani. Di Labbo, tradisi ini menyatukan warga saat masa sulit. Ketika harga beras melambung tahun 1970-an, warga bergantung pada jagung yang mereka simpan, tidak dijual keluar kampung. Saat terjadi konflik, baik sengketa lahan maupun perselisihan politik, Tudang Sipulung menjadi tempat berdamai. Di sini, semua duduk bersama, berbicara, dan belajar mengendalikan diri. Bukan saling menyalahkan, tapi saling memahami. Bukan ego pribadi yang diutamakan, tapi kepentingan bersama.
Perubahan mulai terasa sejak akhir 1980-an, kopi mulai menggantikan jagung. Harga kopi yang lebih menguntungkan mengubah segalanya. Uang tunai menjadi lebih penting daripada menyimpan benih. Kebutuhan baru muncul. Biaya sekolah, pengobatan, dan gaya hidup modern. Ladang jagung berubah menjadi kebun kopi. Tasabbe, umbi lokal yang biasa ditanam di sela jagung, perlahan lenyap. Begitu pula benih jagung lokal yang semakin langka.
Gotong royong semakin jarang. A’leleang (kerja bergiliran) tidak lagi rutin dilakukan. Petani yang dulunya saling bantu, kini lebih memilih menyewa buruh tani. Ada yang datang dari desa tetangga, ada pula yang sudah langganan datang saat musim tanam. Alam pun berubah, musim tidak lagi bisa diprediksi. Petir sering datang di waktu yang tidak tepat, dan lempuyang tidak lagi bisa dijadikan penanda musim tanam.
“Dulu, sebelum menanam, kami harus bermusyawarah dulu. Tanya pada tetua kampung, cari hari baik, diskusi dengan semua warga,” kenang Hasri. “Sekarang? Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri.”
Nilai-Nilai yang Tetap Hidup
Tudang Sipulung mungkin telah berubah, tapi semangatnya tidak pernah benar-benar hilang dari kehidupan warga Labbo. Masih terlihat dalam cara mereka berbicara, bekerja, dan berinteraksi sehari-hari. Bagi mereka, hidup harus dijalani bersama-sama, keputusan harus melalui musyawarah, tanah adalah ruang kehidupan yang harus dijaga, dan makan bersama tetap menjadi momen penting untuk mempererat hubungan.
Pada tahun 2019 hingga 2021, warga Dusun Bawa’ kampung yang terletak di bagian utara Labbo, berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung menghadapi masalah serius. Kebun kopi mereka yang ditanam di dalam hutan mulai menurun hasilnya karena curah hujan yang terlalu tinggi. Lalu mereka menggelar pertemuan-pertemuan kampung, para petani akhirnya menemukan solusi. Mereka sepakat menanam jahe merah dan porang di antara kebun kopi mereka. Tanaman baru ini tidak hanya membantu mereka bertahan dari perubahan iklim, tapi juga memberikan penghasilan tambahan.
“Ketika kopi kami gagal panen beberapa tahun terakhir, kami berkumpul dan mencari jalan keluar,” cerita Sumang, seorang petani kopi di Kampung Bawa’. “Akhirnya kami sepakat menanam jahe dan porang di sela kebun kopi. Hasilnya? Kami bisa terus bertahan.”
Kita mungkin tidak bisa mengembalikan Labbo seperti dulu. Tapi kisahnya memberi pelajaran penting. Di tengah krisis iklim, inflasi pangan, dan kehancuran ekosistem, dunia sedang mencari cara hidup baru. Atau mungkin, cara hidup lama yang telah lama kita tinggalkan. Tudang Sipulung, Accidong Landang, atau apa pun namanya, memiliki nilai dan semangat gotong royong mungkin bisa menjadi jawabannya. Sebuah jalan kembali ke kebersamaan, kedaulatan, dan etika ekologis yang lahir dari tanah sendiri.
Bahan bacaan:
- Abdullah, Anzar. Kerajaan Bone dalam Lintasan Sejarah Sulawesi Selatan: Sebuah Pergolakan Politik dan Kekuasaan dalam Mencari, Menemukan, Menegakkan, dan Mempertahankan Nilai-Nilai Entitas Budaya Bugis.
- Adrian Ibrahim, dkk. Tinjauan Teologis Tudang Sipulung dalam Tradisi Bugis-Makassar dan Implikasinya terhadap Hubungan Islam-Kristen di Sulawesi Selatan.
- La Sakka. Historiografi Islam di Kerajaan Bantaeng. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, 2014.)
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 112-114.

Lahir di Bantaeng, 7 Juli 1992, bekerja di Balang Institute sejak 2019. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan 2009. Beralamat di Kampung Sarroanging, Desa Mappilawing—Eremerasa—Bantaeng.
Leave a Reply