Nganre-Nganre ri Buakang: Catatan Seorang Ibu

Sejak menjadi ibu, banyak keputusan dalam hidup saya yang kini mempertimbangkan masa depan anak—bukan hanya hari ini, tapi hari yang jauh di masa depan. Salah satunya adalah tentang tempat tumbuh: di lingkungan seperti apa anak saya akan dibesarkan, dan nilai-nilai apa yang bisa kami tanamkan sejak dini.

Begitu pun dengan keputusan sewaktu akan memiliki anak. Jauh sebelum itu, saya dan suami sudah bersepakat: jika kelak kami dikaruniai anak, salah satu dari kami tidak akan bekerja di luar rumah. Setahun setelah kami menikah, Shanum lahir. Saya pun telah melepaskan pekerjaan beberapa bulan sebelumnya, dan berpindah domisili ke Bantaeng. Sebuah kabupaten yang dulu hanya saya kenal sebagai tempat lebaran, itu pun paling lama seminggu.

Sebagai anak kota yang besar di Makassar, hidup di desa adalah pengalaman baru sekaligus latihan ulang adaptasi. Namun, siapa sangka, justru di sinilah saya menemukan ruang paling ideal untuk membesarkan Shanum—ruang yang memberi napas lebih lapang, tanah lebih dekat, dan waktu yang tidak terus-menerus mengejar.

Sudah hampir sebulan ini saya kembali berkunjung ke Makassar, membawa Shanum. Satu hal yang baru saja saya sadari ialah privilege tinggal di desa. Setiap sore, Shanum memiliki jadwal keluar rumah. Entah pergi ke pantai, ke Lapangan Seruni, ataukah hanya pergi ke pelelangan ikan, melihat perahu bersandar dan menyaksikan tawa para nelayan. Berangkat bersama Ayah dan rombongan bapak-anak lainnya.

Sedangkan kala di Makassar, sore hari ia mulai rewel ingin keluar rumah. Namun, sudah dicoba beberapa kali, hal itu tidak memungkinkan. Arus kendaraan di depan rumah kami cukup ramai. Kebingungan akan tempat yang cocok untuk Shanum membuat kami mengajaknya ke mal. Namun, tempat itu sangat asing baginya. Ia tidak mau lepas dari gendongan. Barulah ketika di dalam Gramedia, ia turun. Mungkin, buku-buku yang bertebaran membuatnya merasa seperti di rumah sendiri. Shanum malah takut ketika berada dalam keriuhan Timezone. Berbeda dengan anak kebanyakan yang besar di kota. Salah satu kesyukuran kami juga saat ini.

Jauh sebelum rasa privilege itu muncul, saya sebenarnya sudah secara sadar ingin menjadikan alam sebagai ruang belajar dan bermain Shanum. Melakukan parenting dengan memaksimalkan potensi alam sekitar, seperti kegiatan outdoor di sore hari.

Ketika di rumah neneknya, saya sengaja melakukan grounding bersama Shanum. Tidak memberinya alas kaki ketika menjelajah di sekitar rumah. Kakinya memijak tanah, rumput, dan batu. Manfaat hal ini sangat banyak. Namun, masih banyak yang belum menyadarinya, bahkan mempertanyakan, “Kok tidak pakai sandal? Mana sandalnya?” Pertanyaan yang sering diajukan saat grounding. Saking bingungnya menjelaskan, saya memberi alasan berbeda pada setiap orang yang bertanya. Toh, terkadang orang bertanya bukan untuk tahu, tapi hanya sebagai basa-basi. Atau sekadar ingin berkata-kata.

Makin ke sini, rasanya semuanya terasa lucu. Orang kota setengah mati rela membawa anaknya lintas daerah hanya untuk bertemu air pantai. Rela membayar demi anaknya bermain pasir, belajar berkebun. Sedangkan orang desa ramai-ramai melarang anaknya untuk ikut berkebun. Ketika anaknya bermain pasir atau memberi makan ayam, mereka justru memarahinya dan melarang di kemudian hari. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari anak-anak yang serba dilarang bermain? Penggunaan gawai pada anak-anak justru dinormalisasi. Keringkasan—agar tidak repot dan tidak kotor—menjadi alasan praktis yang menyingkirkan nilai. Padahal, berani kotor itu baik.

Orangtua yang ingin anaknya tumbuh bersama alam dan tidak memberikan gadget seperti saya mungkin dianggap aneh. Ditambah lagi, tidak memberikan makanan kemasan, di saat hampir semua anak—yang bahkan belum cukup umur setahun—sudah menenteng kerupuk. Saya sempat mengira kehidupan kota sudah berpindah juga ke desa. Bedanya hanya keberadaan mal dan kemacetan lalu lintasnya.

Karena memang saya ingin mengenalkan Shanum dengan alam dan manusia. Maka makin senanglah saya ketika suatu waktu saya diajak oleh mertua untuk mengikuti kegiatan Nganre-Nganre ri Buakang. Secara kebahasaan, nganre-nganre berarti makan-makan, sedang buakang adalah saluran air/irigasi yang mengarah ke sawah.

Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan oleh warga Desa Tombolo, Kec. Gantarangkeke, Kab. Bantaeng, khususnya di Dusun Borong Ganjeng dan Kampung Beru, yang memang menjadi mayoritas pemilik sawah yang dilalui buakang.

Menurut warga, tradisi ini dilakukan pertama kali dilakukan oleh Galla Cendang, buyut di desa kami, seorang pemimpin di wilayah Gantarangkeke pada masanya. Tepatnya, wakil Karaeng Bantaeng di Gantarangkeke. Berdasar pada beberapa sumber, seperti dari Karaeng Imran Massualle yang kerap jadi penutur, muasalnya kerajaan Bantaeng itu dari 7 wilayah yang masing-masing dikepalai oleh pemimpin yang disebut Kare. Gantarangkeke-lah salah satunya, makanya wilayahnya tetap dipertahankan dan pemimpinnya tetap ada. Galla Cendang-lah salah satunya.

Saban tahun, di penghujung Desember, ketika langit tak secerah biasanya, mega berarak pelan seperti serdadu yang sedang berbaris, dan hujan jatuh lebih sering dan deras—warga desa menyambut waktu yang ditunggu-tunggu.

Namun, mereka tidak langsung terjun membajak sawah. Mereka mengawalinya dengan kerja bersama dan merapal doa di sisi sungai, di antara rerimbun bambu dan gemericik air sungai.

Hajatan dimulai dengan pengumuman di masjid beberapa hari sebelumya, memberi waktu bagi kaum perempuan berbelanja ke pasar untuk menyiapkan makanan terbaik. Satu rumah, satu rantang. Kaum lelaki berkumpul di sungai, di ujung irigasi yang mengular ke sawah. Mereka menyingkirkan sampah dan penghambat aliran air dengan perkakas yang mereka bawa.

Saat pekerjaan selesai, mereka berjalan ke ujung irigasi, tempat perjamuan dimulai. Puluhan rantang berjejer. Pelbagai jenis makanan menggugah selera ditata sedemikian rupa. Lalu, salah seorang tetua membakar dupa, duduk bersila, merapalkan doa keselamatan dan panen yang berhasil. Semua duduk hening, hanya ada suara angin dan asap dupa yang menarik di udara. Sebuah bentuk spiritualitas ekologis yang mengikat manusia dan alam dalam relasi saling jaga.

Setelah  amin paling akhir, piring kemudian dibagikan kepada para warga. Semua makanan telah berbaur, tidak ada lagi batas antara satu dan yang lain. Semuanya boleh dikonsumsi sesuai dengan selera masing-masing. Warga biasanya tidak memakan makanan yang dibawanya sendiri, melainkan mengambil makanan yang dibuat oleh orang lain. Di sinilah spirit kebersamaan dan kolektivitas warga.

Jika diamati lebih dalam, tradisi ini adalah perekat komunitas, menghidupkan rasa kebersamaan yang kian rapuh di era individualisme. Di tengah konflik kepentingan (bahkan politik lokal), tradisi ini tetap berlangsung. Menjadi ruang netral yang menyatukan warga di atas perbedaan.

Dari sisi ekologis, kegiatan ini adalah bentuk kearifan lokal dalam merawat lanskap agraris. Irigasi bukan sekadar saluran air, melainkan nadi kehidupan desa. Dengan membersihkannya secara bersama, warga tidak hanya menjaga panen, tapi juga menjaga harmoni dengan alam. Mereka menghormati tanah dan air sebelum mengolahnya.

Sebagai orangtua, saya melihat momen ini sebagai ruang pembelajaran penting bagi Shanum. Ia bermain di irigasi, berendam di air, dan tertawa bebas. Saya ikut tercebur. Orang-orang menatap heran, mungkin karena hanya saya dan Shanum yang menceburkan diri—dan itu mungkin terlihat aneh bagi mereka. Keterlibatan kami menjadi bagian dari niat lebih besar: membesarkan anak yang tidak tercerabut dari tanahnya, budayanya, dan alamnya.

Kelak, sebanyak mungkin tradisi yang berkaitan dengan pelestarian alam dan kehidupan komunal, saya ingin Shanum ikut terlibat. Karena saya percaya, mengenalkan anak sejak dini pada tradisi seperti Nganre-Nganre ri Buakang bukan sekadar mengenalkan budaya, tetapi juga mengajarkannya tentang tanggung jawab, kerja sama, rasa syukur, dan mencintai bumi tempat ia tumbuh. Di tengah dunia yang makin cepat dan asing, tradisi-tradisi ini menjadi jangkar: mengakar ke tanah, sekaligus membuka cakrawala jiwa. Semoga kelak Shanum dan generasinya menyadari tentang arti menjaga sesuatu yang lebih berharga dari diri sendiri.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 104-108.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *